Menuju konten utama

Pesan Politik Terselubung di Gereja dalam Pilkada DKI

Meskipun ada anjuran resmi dari PGI agar sikap gereja independen, sejumlah gereja ikut dukung-mendukung kandidat dalam Pilkada Jakarta.

Pesan Politik Terselubung di Gereja dalam Pilkada DKI
Foto Ahok dan Djarot terpampang di panggung Gereja GBI Kemayoran, Jakarta. FOTO/Andrey Gromico

tirto.id - Pastor Marcos Tampubolon naik ke panggung ketika lagu pujian sudah hampir selesai. Saat musik benar-benar berhenti, ia mengajak 200-an jemaat gereja berdoa. Minggu, 26 Februari 2017, Marcos berkhotbah tentang tujuan hidup. Ia menceritakan kisah Nehemia yang membangun tembok Yerusalem.

“Nehemia sedih mengetahui tombok itu roboh. Dia tidak kemudian meminta raja untuk memperbaikinya, dia bekerja sendiri. Dia mengajak orang untuk membangun bersama, dia mengeluarkan uang sendiri, tidak minta pemerintah,” kata Marcos.

Menuturkan ulang kisah Nehemia yang rela mengeluarkan uang dan tenaga untuk membangun tembok Yerusalem, membuat Marcos teringat sosok Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama.

“Wah, keren itu (Nehemia), saya kok jadi ingat Ahok, ya.”

Marcos adalah pastor Gereja Bethel Indonesia (GBI) PRJ yang beribadah di gedung Mall MGK, Kemayoran. Dalam ibadah 2PM yang dipimpin Marcos, nama Ahok terdengar tidak sekali. Ia menyebut Ahok dua kali sebagai contoh teladan dalam khotbah. Di dalam doa penutup, nama Ahok kembali disebut oleh pendoa.

“Berkati juga dua pemimpin kami, Bapak Basuki Tjahaja Purnama dan Bapak Djarot, Engkau berikan kebijaksanaan dalam memimpin Jakarta,” ucap pendoa. Saat nama Ahok disebut dalam doa, foto Ahok dan Djarot muncul dalam layar besar yang menjadi latar panggung.

Tidak hanya Ahok yang didoakan oleh gereja. Dalam masa kampanye putara pertama Pilkada Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono dan Sandiaga Salahuddin Uno juga didoakan sejumlah pendeta. Foto keduanya saat didoakan menjadi viral di media sosial.

Sandiaga didoakan pendeta saat menghadiri undangan dari Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subiato, untuk bertemu dengan warga gereja pada akhir Desember 2016 di salah satu gereja di Rawamangun. Sandi menuturkan, saat itu pendeta mendoakan agar ia sukses dalam pertarungan Pilgub Jakarta. Sementara foto Agus bersama pendeta tidak diketahui di mana dan kapan foto itu diambil.

Gereja Independen

Politik dan kekuasaan bukanlah barang baru di dalam gereja. Dalam sejarahnya, gereja selalu dekat dengan kekuasaan dan politik. Pada abad ketiga, Kaisar Konstantinus I menetapkan Kristen sebagai agama resmi kerajaan Romawi. Sejak itu, gereja menjadi alat legitimasi politik bagi para raja penerus. Bahkan setelah kekaisaran Romawi jatuh, kerajaan-kerajaan di Eropa masih melanggengkan tradisi itu.

Legitimasi itu pula yang kini diperebutkan di Pilkada Jakarta. Dokumentasi foto atau video saat para kandidat didoakan oleh gereja menjadi alat untuk menunjukkan ada kedekatan si calon dengan gereja. Thus, warga gereja diharapkan mendukung salah satu calon yang dekat dengan gereja.

Bagi politikus, mungkin gereja sekadar alat untuk meraup suara. Namun secara institusi gereja sendiri sebenarnya memilih independen. Ini ditegaskan oleh Jeirry Sumampow, kepala humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

“Kami mendorong gereja agar independen. Karena godaannya sangat kuat ketika ada calon beragama Kristen maju dalam Pilkada seperti di Jakarta ini,” kata Jeirry saat ditemui reporter Tirto di kantor PGI di Salemba, 21 Februari 2017.

Memang diakuinya, ada saja yang berusaha menggunakan gereja untuk kepentingan politik. Misalnya, soal mendoakan tiga pasangan calon Gubernur Jakarta. Seharusnya, lanjut Jeirry, doa tidak dijadikan alat untuk menggalang dukungan politik. Namun faktanya tidak. Foto doa sengaja disebar di media sosial untuk membentuk opini publik, bahwa ada dukungan dari gereja untuk si kandidat.

“Kalau di Alkitab itu jelas dikatakan: kunci pintu, kunci jendela, baru berdoa. Itu artinya semestinya doa tidak perlu dipublikasikan ke mana-mana. Supaya tetap fungsinya, doa ya doa. Bukan untuk menggalang dukungan politik. Itu yang terjadi kemarin,” terangnya.

Dalam setiap gelaran pemilu, PGI selalu mengeluarkan pesan pastoral. Pesan pastoral ini adalah sikap gereja sekaligus seruan kepada warga gereja terkait pesta demokrasi itu. Pada Pilkada serentak 2017, PGI mengimbau agar warga memilih pemimpin tidak berdasarkan agama. Sebab pada dasarnya pemilu bukan ajang kontestasi agama melainkan mencari pemimpin publik.

“Pilihlah calon pemimpin yang memiliki: integritas, kejujuran, keberanian, dan komitmen melawan segala bentuk korupsi dan manipulasi, komitmen pada konstitusi, dan keanekaragaman bangsa, kemauan bekerja keras untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, serta komitmen untuk menopang pembangunan yang berwawasan lingkungan,” demikian pesan pastoral PGI pada 31 Oktober 2016.

INFOGRAFIK Politisasi tempat ibadah

Pesan Terselubung

Meski sudah ada peringatan agar gereja bersikap independen, tapi masih ada pesan-pesan dan kampanye terselubung di gereja. Redaksi Tirto mendapati bahan renungan pagi "Sabda Bina Umat" milik Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) bertanggal 10 Februari 2017. Isinya, menyinggung visi dan misi calon pemimpin DKI Jakarta. Dalam renungan pagi itu disebut calon pemimpin Jakarta yang merupakan pengikut Kristus.

“Tentu, ada visi dan misi yang hanya bersifat janji-janji semata, tetapi ada visi dan misi yang telah nyata dilakukan oleh calon tertentu, seperti salah satu calon pemimpin di DKI Jakarta yang notabene adalah pengikut Kristus,” tulis Sabda Bina Umat tersebut.

Mudah menerjemahkan pesan tertulis itu: dari tiga pasangan kandidat Pilkada Jakarta, hanya ada satu calon pengikut Kristus, yakni Ahok. Calon lain jelas pengikut Nabi Muhammad.

Hal serupa terjadi di gereja Katolik. Rut Helga, pegawai di salah satu stasiun televisi, pernah melihat dan mendengar khotbah yang menyinggung Pilkada Jakarta. Helga beribadah di gereja Santa Perawan Maria Ratu, Paroki Blok Q, pada pertengahan Oktober 2016. Di tengah khotbah, sang romo menyampaikan pesan secara halus supaya jemaat memilih Ahok lewat pertanyaan platonik.

Saat dikonfirmasi, Alfonsus Kuswardiyono, Wakil Ketua Paroki Blok Q tempat Gereja Santa Perawan Maria Ratu, mengatakan kegiatan itu bukanlah konsumsi publik. “Tidak bisa hanya melihat dalam konteks sepenggal seperti itu. Ini juga bukan konsumsi publik, tapi hanya internal,” katanya.

Ia juga membantah adanya khotbah yang disisipi pesan politik. “Saya sendiri tidak melihat,” ujarnya.

PGI sendiri pernah kecolongan ketika PGI Wilayah Jakarta didatangi pasangan Anies–Sandi saat berdiskusi dengan Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, pendiri partai Gerindra yang mengusung Anies–Sandi. Semula tidak ada agenda kedatangan kandidat ke kantor PGI Wilayah Jakarta. Namun Hashim membawa keduanya lalu diperkenalkan kepada pengurus PGI.

“Klarifikasi mereka dari PGI Wilayah Jakarta, diskusi itu tidak mengundang Anies-Sandi tapi Hashim. Hashim yang membawa Anies-Sandi. Nah kami tegur karena hanya satu pasangan calon yang dihadirkan,” tegas Jeirry.

Dalam keadaan tertentu, ujar Jeirry, gereja sebetulnya bisa mengambil sikap politik. Termasuk memberikan dukungan kepada salah satu calon gubernur di DKI Jakarta. Namun hal tersebut tidaklah mudah. Sebab harus ada alasan yang kuat.

“Kalau ada calon mengatakan secara terang-terangan mengatakan dia setuju dengan korupsi, atau melindungi koruptor, gereja bisa mengatakan jangan memilih calon seperti ini. Tapi dalam Pilkada DKI Jakarta belum ada urgensi itu,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam