Menuju konten utama
19 November 2014

Ahok alias BTP di antara Dendam, Fobia, dan Pencinta Sejatinya

Dipenjara atau tidak, mengapa tetap ada yang membenci BTP?

Ahok alias BTP di antara Dendam, Fobia, dan Pencinta Sejatinya
Ilustrasi Mozaik Basuki Tjahaja Purnama. tirto.id/Sabit

tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 19 November 2014, tepat hari ini 6 tahun lalu. Tiga tahun kemudian, ia divonis dua tahun penjara karena kasus penodaan agama. Lalu pada Januari 2019, ia bebas.

Ya, Basuki Tjahaja Purnama telah menjalani masa hukuman penjara selama 625 hari. Meski begitu, beberapa orang yang menjadi rival politiknya enggan melebur dendam.

Novel Chaidir Hasan atau Novel Bamukmin menyambut BTP bebas dengan kekesalan. Ia menganggapnya sekadar “sandiwara”.

“Belum ada yang pernah menyaksikan dari kalangan kami bahwa Ahok betul-betul ada dalam penjara. Saya tidak yakin Ahok dipenjara,” kata Bamukmin melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto.

“Saya tahu dalam penjara ada orang yang bisa setiap malam keluar, lho,” imbuhnya.

Saat menjadi sekretaris DPD Front Pembela Islam DKI Jakarta, Bamukmin pernah dipenjara selama tujuh bulan. Ia dinilai menghasut massa untuk bentrok dengan polisi saat demo tolak Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta pada 3 Oktober 2014. Ia berkata “Saya korban Ahok yang ada dalam penjara.”

Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Bamukmin getol melawan Ahok. Ia menjadi pelapor dan saksi persidangan atas kasus "penodaan agama" yang dituduhkan kepada Ahok.

Bamukmin juga mendukung spanduk berisi imbauan tidak menyalatkan jenazah orang yang memilih BTP sebagai gubernur. Ia menentang Pemprov DKI Jakarta yang mengimbau spanduk macam itu harus diturunkan. Menurut Bamukmin, jenazah pendukung BTP lebih baik diusir saja dari Jakarta.

Bamukmin adalah pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjadi gubernur Jakarta, lalu mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga dalam Pilpres 2019.

Dendam terhadap BTP masih disimpan rapi oleh Bamukmin. Kini ia menjadi juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212, perkumpulan dari para penggerak yang membentuk gelombang Aksi Bela Islam I hingga III untuk memenjarakan BTP.

Maka, meski BTP tak menagih hak pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, bagi Bamukmin, hukuman terhadap BTP terlalu rendah.

Dampaknya, kata dia, tak ada efek jera bagi orang seperti BTP dan ia menganggap makin banyak yang "menodai" agama.

“Kami kewalahan melaporkan penghina-penghina agama,” klaimnya.

Bamukmin meminta agar BTP tak terjun kembali ke jalur politik. Menurutnya, BTP rawan membuat suasana menjadi "gaduh." Bahkan ia menyebarkan stigma bahwa partai pendukung BTP merupakan partai "pendukung penistaan ulama" dan "kriminalisasi ulama".

Namun, Bamukmin juga tidak konsisten. Ia mengatakan, jika BTP terjun ke politik untuk mendukung kubunya yang mengusung Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019, dia berjanji akan menyambut baik.

“Pindah dong ke partai politik yang santun, membela ulama,” katanya. “Kami akan membina Ahok agar menjadi orang yang baik, yang sopan santun.”

Slamet Ma’arif, juga penggerak Aksi 212, menduga BTP akan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019. Saat itu ia bilang jika hal itu terjadi, justru elektabilitas Prabowo-Sandiaga naik dengan sendirinya--tanpa tolak ukur yang jelas.

Slamet adalah mantan juru bicara DPP FPI. Dia yang memastikan FPI siap mengerahkan dan mengorganisir massa untuk Aksi Bela Islam I hingga III. Dia didapuk menjadi ketua PA 212 menggantikan Ansufri Idrus Sambo yang dinyatakan bersalah karena mengorganisir massa untuk demo bela Hary Tanoe.

Slamet sempat menjabat sebagai wakil ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

Slamet mengharapkan agar ke depannya BTP “berhati-hati dalam bertindak dan berucap."

"Jangan sakiti kembali umat Islam. Ingat, lidahmu harimaumu,” katanya melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.

Dihubungi secara terpisah, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman menegaskan tak masalah menyimpan "dendam" kepada BTP. Asalkan, kata Habiburokhman, konteksnya jelas.

“Kalau kasus-kasus terhadap beliau yang belum berjalan, itu bukan dendam. Misalnya, kasus yang dulu dikait-kaitkan dengan Sumber Waras. Saya pikir kalau memang ada buktinya ya memang harus diselesaikan,” ujarnya, Rabu pekan ini.

Habiburokhman selalu berseberangan dengan BTP. Saat BTP cuti untuk Pilkada DKI Jakarta 2017, dia ke Balai Kota membawa nasi tumpeng, berharap BTP cuti selamanya.

Dia juga pernah berjanji akan terjun bebas dari Monas jika ada 1 juta KTP untuk mendukung BTP maju Pilkada melalui jalur independen. Namun, usai BTP mendapatkan dukungan 1 juta KTP, Habiburokhman mengingkari janjinya.

Saat Pilkada DKI 2017, dia mendukung Anies-Sandiaga. Lalu Habiburokhman menjadi anggota tim hukum dan advokasi BPN Prabowo-Sandiaga pada Pilpres 2019.

Baik Novel, Slamet, maupun Habiburokhman "mengawasi" BTP. Mereka menanti setiap tindakan dan ucapan BTP. Habiburokhman mengistilahkan, memantau proses “pemasyarakatan” BTP.

“Warga binaan itu berhasil melalui proses pemasyarakatan kalau mengakui kesalahan, menyatakan tidak akan mengulangi kembali, memperbaiki diri. Kalau tidak terpenuhi berarti gagal proses pemasyarakatan terhadap beliau,” terangnya.

Infografik Mozaik BTP

Infografik Mozaik Mereka yang Menjebloskan BTP Ke Bui. tirto.id/Sabit

Fans Setia Berharap BTP Jadi Mendagri atau Ketua KPK

Tiga tahun lalu, Nurul Indra mengadakan aksi tunggal bakar lilin untuk mendukung BTP, tepatnya Sabtu, 13 Juni 2017. Aksi itu digelar di depan RSUD M. Jamil, Padang, Sumatra Barat. Tujuh lilin yang dia nyalakan, sisa dari aksi serupa dua hari sebelumnya di Batam.

Aksi itu direspons oleh Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno yang men-tweet bahwa Sumbar tidak butuh lilin tapi ulama untuk menerangi. Irwan menjadi gubernur diusung PKS dan Partai Gerindra, partai yang juga mengusung Anies-Sandiaga.

Karena aksi lilin untuk Ahok itu, Nurul juga mendapatkan ancaman akan dibunuh.

Nurul tidak bisa menerima dengan lapang dada tindakan menghukum BTP. Sebab, meskipun itu keputusan hukum, menurutnya ada unsur ketidakadilan.

“Saya masih berpikir kemarin itu masih ada efek tekanan massa, diskriminasi etnis dan agama, politis. Itu efek dari editan Buni Yani. Pasal penodaan agama juga perlu dikaji ulang,” kata Nurul melalui sambungan telepon.

Nurul berujar, jika ada pihak yang menganggap BTP tak pernah mendekam di penjara, mereka harus menunjukkan bukti, tak hanya asal sebarkan hoaks. Selain itu, jika tak puas dengan masa hukuman yang menimpa Ahok, harusnya menempuh jalur hukum.

“Ahok, kan, semacam dibunuh karier politiknya. Saya berharap Pak Ahok menjadi Mendagri, kalau enggak ketua KPK. Dia tegas, berani,” ujarnya.

Rasyidin Nawi, pembina dan ahli waris Masjid Darussalam di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, adalah orang yang dijauhi lingkungannya karena mendukung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Rasyidin memprotes pengurus Masjid Darussalam yang menolak mengurus jenazah almarhum Siti Rohbaniah, perempuan berusia 80 tahun pendukung BTP.

Dia menilai "aneh" dengan beberapa orang yang masih enggan memaafkan BTP. Menurutnya, dendam itu tidak ada dasar hukumnya dalam Islam.

“Banyak yang benci Rasulullah tapi Rasul tetap menjadi pemaaf. Saya tetap dukung Ahok. Keluarga saya juga,” kata Rasyidin.

Meski Pilkada DKI Jakarta 2017 sudah berlalu, tapi hubungan Rasyidin dengan pengurus Masjid Darussalam masih buruk. Konflik horizontal akibat pesta demokrasi belum usai.

“Saya enggak mau kenal lagi dengan Ghofur, ketua RW, ketua Masjid Darussalam, sama Firman. Saya cuek saja kalau ketemu. Saya biarin sajalah, masjid masih banyak,” ujarnya.

Sementara bagi Rian Ernest Tanudjaja, mantan staf ahli hukum BTP, menilai bahwa pemidanaan BTP sangat kental muatan politisnya, salah satunya lewat tekanan massa. Namun, katanya, BTP dengan legawa menerima vonis hukum.

Ernest berkata harusnya masalah BTP sudah selesai. Tak perlu lagi ada dendam.

“Mari kita move on. Pak BTP pun sudah move on sebagai orang yang dalam tanda kutip dizalimi, dipenjara. Masak yang sudah menzalimi beliau tidak mau move on?” kata Ernest yang kini menjadi politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

“Jadi yang lebih penting itu meneruskan nilainya, perjuangannya, bukan sekedar menyambut lalu pesta-pesta,” ujarnya, menambahkan bahwa permintaan Ahok dipanggil BTP sebagai akronim: Bersih, Transparan, Profesional.

“Kami sangat ingin memberikan peluang pada BTP menghabiskan waktu dengan keluargalah. Untuk menggantikan waktu-waktu dia yang hilang waktu bekerja di Balai Kota dan mendekam di penjara,” ujarnya.

Muhammad Fathony, pendiri Teman Ahok, menganggap wajar ada orang-orang yang tetap kesal dengan BTP. Menurutnya, orang-orang itu memang sudah benci BTP sejak awal. Maka, apa yang dilakukan BTP bakal tetap dianggap salah.

“Kami senang banget Pak Ahok keluar. [Semoga BTP] menjadi orang yang lebih sabar. Lebih jujur,” kata Fathony.

Kini Teman Ahok telah berubah menjadi Sejuta Teman, dan Fathony menjadi koordinatornya. "Sejuta Teman" berafiliasi politik mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019.

“Menurut kami, Pak Ahok masih bisa berkarier untuk masa depannya. Harapannya, jangan ninggalin politik, sih. Karena memang politik ini butuh Pak Ahok."

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 25 Januari 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait BASUKI TJAHAJA PURNAMA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh