tirto.id - Buku dan penjara adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Buku adalah jendela dunia, tempatmu bisa menjelajah jauh tanpa harus beranjak dari tempatmu duduk. Sedangkan penjara, jangankan untuk melihat dunia, melongok halaman depannya saja sudah susah.
Maka, tak heran jika Mohammad Hatta, wakil presiden terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, pernah berujar: Aku rela dipenjara asal bersama buku, sebab dengan buku aku bebas!
Hatta tak sekadar kecap. Ketika diasingkan ke Banda Neira, lalu ke Boven Digoel, Hatta yang dikenal tegas terhadap cara membaca (halaman tidak boleh dilipat, tidak boleh dicoret), membawa serta 16 peti buku. Saking banyak buku yang dibawa Hatta, salah seorang kolega sesama pengasingan bertanya, “Anda ke sini itu dibuang atau mau buka toko buku?”
Buku bisa memberikan apa yang tidak diberikan oleh penjara: kebebasan dan imajinasi. Di penjara, tempatmu dipaksa tidak boleh melakukan banyak hal, seringkali satu-satunya hal yang menyenangkan untuk dikerjakan adalah membaca.
Daniel Genis, penulis Rusia yang jadi subyek dalam artikel “A Prisoner’s Reading List” yang ditulis Alex Halberstadt untuk The New Yorker, berkata bahwa berada di penjara membuatnya bisa, “mengikuti apa yang selama ini jadi ketertarikanku.”
Sebelum membaca buku-buku yang jadi ketertarikannya, Genis menyebut beberapa judul buku tentang penjara dan pengasingan yang dia baca untuk mengenal “dunia” barunya. Dari Papillon karya Henri Charriere, The House of the Dead-nya Dostoyevsky, juga kumpulan cerita tentang Gulag yang disusun oleh Aleksandr Solzhenitsyn dan Varlam Shalamov.
Dari situ Genis mengikuti buku-buku yang menarik minatnya. Dari yang berbau politik macam biografi para diktator, novel Hunger-Knut Hamsun, hingga Lolita--karena Genis berkawan dengan seorang biksu yang dipenjara lantaran kasus pedofilia. Genis bahkan menyelesaikan buku yang terkenal alot untuk diselesaikan, macam In Search of Lost Time karya Marcel Proust dan Ulysses karya James Joyce.
Ayahnya, Alexander Genis, yang membawakan buku-buku untuk anak lelakinya. Ulysses, buku setebal 730 halaman yang ditulis oleh penulis Irlandia itu, adalah satu-satunya buku yang ia paksakan untuk dibaca oleh anaknya. “Karena menurutku, Denis tidak akan punya keinginan menyelesaikan buku itu ketika dia bebas.”
Benar saja. Ketika Halberstadt bertanya tentang buku-buku apa yang dibaca usai Genis bebas, dia menjawab dengan nada nyaris merasa bersalah, “Jujur saja, aku belum membaca satu buku pun sejak dibebaskan.”
Pemberani Hanya Mati Satu Kali
Ketika Nelson Mandela bebas pada Februari 1990, setelah 27 tahun dipenjara di masa apharteid, puluhan wartawan datang untuk mewawancara Mandela. Salah satunya Charlayne Hunter-Gault. Pada akhir 1960-an, Gault menulis untuk The New York Times, di desk metropolitan, tempatnya banyak menulis tentang komunitas kulit hitam.
Ketika bertemu Mandela siang itu, Gault mengawali dengan cerita dirinya yang memahami betapa berat perjuangan Mandela melawan rasisme. Gault lahir dan tumbuh besar di South Carolina, daerah selatan Amerika Serikat yang punya sejarah panjang rasisme sebelum era pergerakan hak sipil.
“Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, mata Mandela menyala lebih terang ketimbang yang aku lihat sepanjang siang. Dan untuk pertama dan terakhir kalinya hari itu, dia memberikan cuplikan kisah hidupnya semasa di penjara,” tulis Gault.
“Oh, apakah kamu tahu Nona Maya Angelou?”
Gault mengangguk. Angelou adalah penulis dan penyair sekaligus aktivis kulit hitam yang turut aktif di Gerakan Hak Sipil bersama Malcolm X dan Martin Luther King Jr.. Salah satu buku masyhur Angelou adalah I Know Why the Caged Bird Sings, otobiografi yang mengisahkan betapa sastra bisa mengalahkan trauma dan rasisme.
“Kami semua membaca bukunya ketika di penjara!” ujar Mandela, senang.
Mandela memang rakus membaca selama di penjara. Dia membaca novel, buku politik, hingga naskah drama Yunani klasik. Naskah drama itu juga kemudian dipentaskan, dan Mandela sempat beberapa kali naik panggung sebagai aktor.
Salah satu naskah drama favoritnya, yang juga melahirkan karakter favoritnya yang dia perankan di panggung, adalah Antigone karya Sophocles. Mandela memerankan Creon, sang penguasa Thebes. Sebagai naskah drama, Antigone mengisahkan tentang perebutan kekuasaan yang berakhir dengan darah. Buku ini kelak amat menginspirasi Mandela.
“Apa yang kuambil dari karakter Creon adalah bagaimana seharusnya kita bersikap kita dihadapkan dengan situasi pelik, dan bahwa seorang pahlawan adalah mereka yang tak patah arang dan hancur bahkan ketika berada di posisi yang amat bawah,” tulis Mandela.
Salah satu kisah menarik Mandela selama di penjara adalah tentang seorang tahanan yang menyelundupkan buku The Complete Works of William Shakespeare. Buku itu lantas dibaca bergiliran antar-tahanan, dan mereka punya kesempatan menuliskan nama di halaman favoritnya.
Mandela menuliskan namanya di lakon favoritnya, Julius Caesar, “Cowards die many times before their deaths; the valiant never taste of death but once.” Pengecut mati berulang kali sebelum benar-benar mati, seorang pemberani mati hanya sekali.
Kutipan itu mungkin juga layak disandingkan pada Basuki Tjahaja Purnama.
Terlepas dari pro-kontra kesalahannya maupun posisi di dunia politik, BTP membuktikan diri adalah seorang pemberani. Tak sekalipun ia mangkir dari panggilan polisi maupun pengadilan ketika didakwa menista agama, betapapun dia sibuk sebagai seorang gubernur, meski didemo oleh ratusan ribu orang. Dan tak sedikit pun dia terpikir untuk kabur dari proses pengadilan.
Sama seperti banyak tahanan nurani lain, BTP menulis dan membaca selama di penjara. Surat-surat yang dia tulis dengan tangan diunggah di akun Instagram yang dikelola oleh Tim BTP.
Salah satu buku yang pernah diunggah di Instagram adalah Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 - Pelengkap Nawaksara yang disusun oleh Budi Setiyono dan Bonnie Triyana. Kutipan pidato Soekarno tentang Pancasila juga dituliskan ulang oleh Basuki pada surat tertanggal 17 Januari 2019, tujuh hari sebelum dia bebas dari penjara.
Andreas Harsono, jurnalis dan peneliti Human Rights Watch, punya kisah tentang BTP. Suatu hari dia ditelepon kenalannya, yang kebetulan mengenal BTP. Saat itu BTP baru saja mengikuti pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2007 yang berakhir dengan kekalahan.
BTP lantas minta dikenalkan pada Andreas usai membaca tulisan Andreas, “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik”, yang mengisahkan tentang kericuhan rasial di Pontianak yang dimulai dari perkara sepele: mobil diserempet.
“Jadi kami sering ketemu, dia makan di rumah saya, kami juga sering berpergian bareng-bareng kalau ada keperluan yang sama,” ujar Andreas.
Di sela-sela obrolan itu, BTP pernah bertanya kepada Andreas.
“Sebaiknya aku mencalonkan diri jadi gubernur lagi atau ke politik nasional saja?”
“Sebaiknya ke politik nasional, supaya kamu belajar persoalan Indonesia.”
Pada Oktober 2009, BTP resmi menjadi anggota DPR dari Partai Golongan Karya mewakili Bangka Belitung setelah meraup 119.232 suara.
Tahu bahwa BTP suka membaca (“Dia tahu tulisan saya soal Pontianak dan minta ketemu, itu menunjukkan dia membaca.”), Andreas memberi beberapa buku untuk BTP. Pertama adalah 9 Elemen Jurnalisme, buku tentang jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach, mantan kepala biro The New York Times dan kurator Nieman Fellowship di Universitas Harvard.
Andreas juga memberi buku bunga rampai karyanya, A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Pernah pula, BTP justru meminta bahan bacaan padanya--sekaligus minta waktu untuk berdiskusi. Yang dibahas adalah In Religion’s Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia (PDF) yang ditulis Andreas untuk Human Rights Watch pada 2013.
“Itu tentang pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia, dan salah satu bahasannya ada tentang penodaan agama,” ujar Andreas.
Sekarang, setelah bebas Kamis kemarin, 24 Januari, karier politik BTP masih belum terbuka--meski sebagian pendukungnya minta BTP kembali berpolitik. Media-media menulis dia akan kembali berbisnis, atau punya talk show, mengisi seminar, juga menerbitkan buku.
“Dia cerita ke saya soal buku itu, soal pengalamannya mengurus Jakarta,” ujar Andreas.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam