Menuju konten utama
5 Desember 2013

Nostalgia Nelson Mandela dan Museum Apartheid

Nyanyi merdeka.
Ujung tombak dibungkus
kain Madiba.

Nostalgia Nelson Mandela dan Museum Apartheid
Ilustrasi Nelson Mandela. tirto.id/Gery

tirto.id - Sambil sesekali menyengkeram ujung gaun mininya, mendiang Amy Winehouse tampil khusuk bernyanyi malam itu. Padahal, seminggu sebelumnya, ia tumbang dan dirawat rumah sakit karena mengidap gejala awal emfisema. Siapa sangka, diiringi Soweto Gospel Choir, suara serak Amy yang khas tetap bikin ribuan penonton ikut joget.

Ia sangat menghayati lagu Free Nelson Mandela karya komposer Jerry Dammers. Sesekali Amy berputar-putar. Di ujung lagu, ia kian semangat menari: mengangkat kedua tangannya bergantian sesuai irama—tidak terlihat seperti orang yang baru saja sakit.

Nyanyian Amy itu diputar berulang-ulang di Museum Apartheid, ketika saya mengunjunginya tepat dua Senin lalu. Ia jadi salah satu latar suara yang mengiringi para pengunjung mengelilingi tempat wisata unggulan di Johannesburg itu.

Amy menyanyikannya secara langsung dalam konser ulang tahun Nelson Mandela ke-90 di Hyde Park, London, Juni 2008 silam.

Video acara itu bahkan ditampilkan di sebuah layar LED, kira-kira berukuran 42 inci, di salah satu pintu keluar museum. Tepat di sebelahnya: sebuah pamflet raksasa berisi sejarah singkat tentang kematian Mandela, presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih secara demokratis.

Nelson Rolihlahla Mandela wafat pada 5 Desember 2013—tepat hari ini empat tahun lalu—di usianya yang ke-95, karena infeksi saluran pernapasan. Mandela menyusul Amy Winehouse yang lebih dulu meninggal pada 2011.

Baca juga: Kutukan Meninggal di Usia 27

Bapak Bangsa Afrika Selatan

Mandela wafat Kamis malam di rumahnya, pukul 08:50 waktu setempat. Tak lama kemudian, Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma mengumumkan kematian pendahulunya tersebut. Mandela lalu dikuburkan sesuai dengan keinginannya di desa Qunu, tempat ia dibesarkan.

Sosok Mandela dikenal sebagai pemimpin berkarakter tenang dan penuh kedamaian. Pertama kali dunia mulai menyadari karismanya adalah ketika ia dipenjara dan menjadi simbol oposisi terhadap politik apartheid—segregasi ras di Afrika Selatan yang membuat orang-orang kulit hitam ditindas supremasi kulit putih. Hak politik orang-orang Afrika kulit hitam dirampas kulit putih yang membentuk pemerintahan berdasarkan warna kulit.

Pada 5 Agustus 1962, Mandela ditahan. Ia didakwa menghasut para buruh melakukan mogok kerja dan protes. Dakwaan lainnya adalah karena pernah meninggalkan negara tanpa izin. Di usia 44 tahun itu, ia divonis penjara seumur hidup. Tapi, meski raganya di penjara, perjuangan Mandela melawan apartheid terus berlanjut. Media dan para pejuang anti-apartheid membingkai sosoknya jadi simbol perjuangan yang kemudian menyita perhatian dunia internasional.

“Reputasi buruk” di mata pemerintahan kulit putih Afrika Selatan sudah lekat dalam sosok Mandela sejak ia masih mahasiswa. Ia mengambil jurusan hukum di University of Fort Hare dan University of Witwaterstrand, sebelum akhirnya bekerja sebagai pengacara di Johannesburg. Di kampus, ia belajar tentang kesetaraan sekaligus kekeliruan rezim apartheid di Tanah Afrika Selatan.

Pada 1943, Mandela memulai karier politiknya saat bergabung dengan African National Congress (ANC). Di sana ia makin menonjol ketika terlibat dalam Kampanye Bantahan Melawan Ketidakadilan Hukum (Defiance Campaign of Unjust Law) 1952 dan Kongres untuk Rakyat 1955.

Sebenarnya, pada masa-masa itu, Mandela beberapa kali hendak dijebloskan ke penjara karena dianggap menghasut, tetapi lolos dari dakwaan. Salah satunya dalam Pengadilan Pengkhianatan 1956—sebuah pengadilan yang mendakwa 156 orang dengan tuduhan mengkhianati negara.

Baca juga: Jejak Diaspora Leluhur Nusantara di Afrika

Penjara baru berhasil mengekang tubuhnya enam tahun kemudian. Kali ini, ia harus mendekam dalam bui 27 tahun lamanya.

Baru pada 1990, ia dibebaskan atas izin Presiden Frederik Willem de Klerk. Keputusan itu diambil de Klerk karena tekanan politik, baik dari dalam maupun luar negeri, dan di bawah ketakutan munculnya perang saudara antarras.

Lagu Free Nelson Mandela yang berjudul asli Nelson Mandela adalah salah satu bentuk tekanan tersebut. Dirilis pada 1984, lagu itu tak cuma berhasil masuk sepuluh besar tangga lagu di Inggris, tapi juga dinyanyikan sebagai lagu tema dalam setiap protes menuntut kebebasan Mandela. Kelak, Free Nelson Mandela kembali masuk tangga lagu ketika ia mangkat.

Bagi de Klerk, dilepaskannya sang simbol anti-apartheid dari penjara adalah jalan keluar terbaik. Empat tahun kemudian, sebagai puncak revolusi, Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan pertama berkulit hitam dan dipilih secara demokratis lewat pemilihan umum.

Baca juga: Belajar Tax Amnesty dari Nelson Mandela

Tak seperti revolusioner sukses yang lain, Mandela membuktikan sikap demokratisnya dengan menyerahkan kekuasaan pada penggantinya yang terpilih. Ia bukan tipikal revolusioner bak Fidel Castro atau Sukarno, yang ingin terus-menerus berkuasa. Sikap macam itu membuat kepemimpinan dan karakternya makin dipuja banyak orang. Dalam obituari Mandela di New York Times, ia dinilai sebagai tokoh hebat karena membawa sebuah revolusi dengan damai, tanpa perang dan konflik berkepanjangan.

Ia lantas dikenal sebagai Bapak Afrika Selatan, sebagaimana dicatat Museum Apartheid. Dalam sejumlah foto yang dipajang di sana, perayaan atas perjuangan Mandela terasa hikmat.

Semua informasi tentang kehidupan Mandela sejak lahir hingga wafat direkam di sana: foto-foto, video, karikatur, kliping koran dan majalah, serta beberapa barang pribadi yang pernah dipakai Mandela. Salah satu koleksi yang menonjol adalah Mercedes Benz W126 S-Class merah yang dihadiahkan pada hari ia bebas dari penjara.

Baca juga: Syekh Yusuf: Pahlawan Kita yang Dibanggakan Nelson Mandela

Museum Apartheid sendiri, sebagaimana namanya, dibangun untuk mengenang sejarah apartheid yang pernah berlangsung di bumi Afrika Selatan. Tak hanya berisi semua kenangan sentimental tentang Mandela, museum tersebut juga merekam apa saja yang telah direnggut oleh sejarah kelam segregasi rasial. Pengunjung akan diingatkan langsung sejak di loket tiket melalui pertanyaan: “Mau masuk sebagai orang kulit putih atau kulit hitam?”

Pintu masuknya memang ada dua: jalur masuk kulit putih dan jalur masuk kulit hitam. Keduanya didesain mencekam. Lampu redup. Kedua jalur dibatasi jeruji-jeruji yang mengingatkan kita pada kandang, serta foto-foto korban dan pejuang-pejuang apartheid. Dilengkapi dengan teks-teks singkat yang menjelaskan masa mencekam itu.

Namun, Museum Apartheid sendiri dikritik karena hanya menampilkan sekelumit orang-orang kulit putih anggota ANC dan organisasi anti-apartheid lainnya. Bahkan presentasinya mengeliminasi hampir semua peran Partai Komunis Afrika Selatan yang turut membantu pergerakan ANC. Nelson Mandela pernah bergabung di partai itu, dan menginisiasi Umkhonto we Sizwe (Tombak Bangsa)—sebuah gerakan militan berbasis Marxisme.

Lorong terpisah jeruji itu tak lama. Keluar dari situ, pengunjung digiring naik ke rooftop diiringi gambar orang-orang Afrika yang ada dalam cermin. Kegembiraan terlihat dari ekspresi mereka. Bagian ini seolah ingin menyiratkan bahwa orang-orang itu sedang berjalan ke masa depan cerah setelah apartheid runtuh.

Setelah itu, baru lah para pengunjung diperlihatkan sejarah terbentuknya demokrasi di tanah Afrika. Peran Mandela, tentu saja, sangat kentara di sana.

Baca juga: Presiden yang Mewujud dalam Akting Sang Aktor

Di depan layar LED tempat video Amy bernyanyi dan pamflet setinggi 2 meter yang menjelaskan kematian Mandela, ada sebuah meja tempat buku tamu. Di buku itu para pengunjung menuliskan nama, asal, dan kesan-kesan. Iseng, saya membolak-baliknya, membaca impresi turis-turis mancanegara itu terhadap Museum Apartheid. Tak sedikit yang menulis pesan khusus tentang kekaguman mereka pada Mandela sebagai Bapak Afrika Selatan.

Barangkali komentar Azikiwe Themba tak mewakili perasaan seluruh warga Afrika Selatan. Tapi pengunjung dari Durban ini punya gambaran tak berlebihan tentang mengapa Mandela layak disematkan gelar Bapak Afrika Selatan.

“Bagi kami, dia bukan sekadar pemimpin yang membawa semua orang keluar dari apartheid. Ia juga ayah yang mengingatkan dan selalu menginspirasi untuk memaafkan—optimis melihat hidup—dan fokus pada kebaikan di masa depan. Kupikir itu adalah pesan yang ditunjukkan Tata (ayah dalam bahasa Xhosa, suku Mandela), yang jarang ditunjukkan Bapak Bangsa lainnya.”

Baca juga artikel terkait NELSON MANDELA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Ivan Aulia Ahsan