tirto.id - Sylvia Rafael lahir di pelosok desa yang didirikan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) bernama Graaf Reinet, Afrika Selatan. Ayahnya keturunan Yahudi yang memilih agnostik, sedangkan ibunya menganut Kristen Calvinis. Sejak kecil, Sylvia dididik secara Kristen.
Hidupnya berubah setelah ia bertemu kerabat dekatnya dari Kiev, seorang penyintas Holocaust. Meski singkat, pertemuan itu membekas di hatinya. Setamat kuliah, tepatnya pada 1959, ia meninggalkan negaranya untuk menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah di Tel Aviv.
Seturut Ram Oren dan Moti Kfir dalam Sylvia Rafael: The Life and Death of A Mossad Spy (2014: 35), karena penampilannya menarik, kepribadiannya memikat, dan kecerdasannya di atas rata-rata, Sylvia segera mengundang perhatian seorang agen Mossad. Setelah beberapa pertemuan dan menerima tawaran untuk mengabdi pada Israel, ia segera menjalani pelatihan.
Rutinitasnya sebagai guru seketika berubah. Di sebuah apartemen rahasia, ia dididik berbagai keterampilan yang berguna dalam misi klandestin, seperti membaca peta, memahami foto udara, menyandikan pesan, dan bela diri. Ia dilatih membuntuti target, mendeteksi penguntit, menghindari orang yang mencurigakan, dan melarikan diri dari lokasi berbahaya.
Ia juga belajar memahami kode Morse, memasang jebakan, mengenali benda yang tampak seperti sabun tapi sebenarnya bahan peledak mematikan, menyembunyikan pemancar di balik timbangan badan, dan menggunakan cat kuku sebagai tinta yang tidak terlihat.
Di akhir pelatihan, Sylvia dikirim ke Kanada. Hanya dalam satu tahun, ia mengembangkan keterampilan fotografi dan menggunakan identitas palsu Patricia Roxborough, seorang fotografer profesional. Petualangan Sylvia sebagai agen rahasia Israel resmi dimulai.
Ia ditempatkan di Paris dan beroperasi di seluruh Eropa dan Timur Tengah. Pada 1969, ia berkenalan dengan Jon Swain, koresponden berita yang kemudian menjadi kekasihnya. Swain mengenang Sylvia, atau Patricia sebagaimana ia memanggilnya, sebagai fotografer wanita dengan "mata yang memancarkan segala macam pesona."
Dalam memoar singkatnya bertajuk "Fresh-Faced, I Fell into the Honey Trap Laid by Israel’s Mata Hari", Swain mengaku ketika Muammar Gaddafi merebut kekuasaan di Libya melalui kudeta tak berdarah, Sylvia membujuknya untuk terbang ke Tripoli dan menawarkan diri sebagai fotografer.
Swain setuju dan berpikir mereka akan menjadi tim yang hebat; dirinya mewawancarai Gaddafi, Sylvia mengambil fotonya.
Namun, rencana itu batal dilakukan sebab Swain gagal mendapatkan visa. Beberapa tahun setelah hubungannya dengan Sylvia berakhir, ia terperanjat saat tahu mantan kekasihnya menjadi headline di banyak media internasional. Lebih mengejutkan lagi, sang kekasih terseret skandal besar yang menyingkap identitasnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Tersandung Lillehammer Affair
Di Lillehammer, Norwegia, para eksekutor Mossad dengan ceroboh menembak mati Ahmed Bouchikhi, seorang tenaga kerja migran asal Maroko. Mereka mengira Bouchikhi, saat itu bersama istrinya yang tengah hamil tua, sebagai Ali Hassan Salameh, dalang pembunuhan 11 atlet Israel pada Olimpiade 1972 di Munich.
"Salah satu anggota tim pembunuh itu adalah Roxborough," tulis Swain dalam testimoninya,
Sebelum ikut memburu Salameh, Sylvia terlibat dalam berbagai operasi penting yang digelar Mossad. Pada akhir 1960-an pasca eksekusi Eli Cohen, superspy Israel yang hampir diangkat menjadi Wakil Menteri Pertahanan Suriah, Sylvia diterjunkan ke negara tersebut untuk melanjutkan misinya.
Kepiawaiannya menyamarkan identitas dan menumbuhkan kepercayaan orang-orang yang menjadi target operasinya bahkan membuka jalan baginya sebagai babysitter anak-anak Raja Hussein dari Yordania sewaktu Yasser Arafat berkonfrontasi dengannya.
Pada September 1970, setelah Palestine Liberation Organization (PLO) gagal menggulingkan Raja Hussein, para anggotanya melarikan diri ke Lebanon. Di sana, Sylvia mengatur pertemuan dengan Yasser Arafat dan menyadapnya. Ia juga mendapat kesempatan memotret kamp pelatihan militer rahasia milik PLO.
Sebagai mata-mata kelas kakap, Sylvia juga mengumpulkan informasi di Mesir, Yaman, dan Djibouti. Dalam pameran 47 foto hasil jepretannya 2023 lalu, tampak keberhasilannya mengambil gambar Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, penggantinya Anwar Sadat, dan pemimpin Aljazair Houari Boumediene dari jarak dekat.
Tak lama setelah Perdana Menteri Israel, Golda Meir, meluncurkan operasi Wrath of God, di mana Sylvia dilibatkan, satu per satu pelaku penyerbuan Munich ditemukan. Pada Oktober 1972, Wael Zuaiter yang tak lain juru bicara Fatah dan sepupu Yasser Arafat dieksekusi di Roma dengan 11 tembakan di tubuhnya.
Dua bulan kemudian di Paris, Sylvia bertemu Mahmoud Hamsari, perwakilan PLO di Prancis. Pada saat yang sama, seorang agen Mossad memasang bom di telepon rumahnya. Sewaktu Hamsari pulang, teleponnya berdering, dan ketika ia angkat, bom tersebut meledak.
Operasi Wrath of God berjalan senyap dan sukses sampai kemudian agen-agen Mossad tersandung kasus di Lillehammer.
Sebagai profesional di bidangnya, Sylvia memiliki firasat tidak baik dengan kelangsungan misi itu dan ragu dengan identitas targetnya, yang menurutnya sama sekali tidak menunjukkan gelagat seorang buronan. Ia tidak terlihat waspada, gugup, atau berusaha menyembunyikan diri.
Ketika firasat Sylvia terbukti, otoritas Norwegia segera meringkusnya. Ia dan empat mata-mata Mossad lainnya, yaitu Marianne Gladinkoff, Abraham Gehmer, Dan Aerbel, dan Zvi Steinberg, masing-masing berkewarganegaraan Swedia, Israel, Denmark, dan Brasil, dijatuhi hukuman 5,5 tahun penjara.
Sylvia akhirnya dibebaskan setelah menjalani hukuman selama 15 bulan berkat negosiasi pemerintah Israel dan otoritas Norwegia.
Kecewa pada Mossad
Semasa di penjara, Sylvia menulis sepucuk surat untuk rekan satu tim yang juga seniornya, Abraham Gemer.
"Sesuatu dalam diriku hancur setelah peristiwa di Lillehammer. Itu mengikis keinginanku untuk terus mengabdi bersama orang-orang yang sangat kuhormati," tulisnya.
Kekecewaan Sylvia sangat beralasan, sebab untuk misi sebesar itu timnya mengidentifikasi target hanya berbekal foto buram. Lain itu, mereka baru menyadari orang yang mereka kira Salameh bisa berbahasa Prancis, sesuatu yang tak mereka dapati dalam profilnya.
Di samping keraguan yang menguat sebab tak satu pun bodyguard ada di sekitar target, pimpinan operasi yang juga ragu mengalami cedera kaki, dan digantikan agen lain yang mengesampingkan keraguan tersebut. Di tangan eksekutor Mossad, Bouchikhi meregang nyawa setelah tubuhnya tertembus 14 peluru.
Setelah kegagalan dalam misi itu, Sylvia mengalami guncangan hebat. Mossad, yang terkenal berkat keberhasilannya dalam berbagai misi rahasia, nyatanya melakukan kesalahan fatal dan sangat bertentangan dengan citranya selama ini.
Jalan hidup Sylvia, sekali lagi, berubah haluan setelah ia menolak melanjutkan karier di Mossad dan memilih berumah tangga. Selama di penjara, diam-diam ia menjalin asmara dengan pengacaranya yang berkewarganegaraan Norwegia, Annæus Schjødt, yang usianya terpaut 20 tahun dan sudah berkeluarga.
Setelah Sylvia bebas, keduanya pindah ke Israel sebelum kembali ke Norwegia pada 1978. Pada 1992, mereka memutuskan tinggal di Afrika Selatan, negara asal Sylvia. Setelah berjuang melawan kanker, agen top Israel itu meninggal pada 2005. Sesuai permintaan terakhirnya, tubuhnya dikremasi di Afrika Selatan dan dikebumikan di Israel.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi