tirto.id - William Thomas Stead, jurnalis investigasi asal Inggris, adalah salah satu penumpang kapal RMS Titanic--berlayar dari Southampton menuju New York--yang tewas di Samudra Atlantik pada April 1912.
Delapan belas tahun sebelumnya, ia pernah ke AS menghadiri acara Pameran Dunia di Chicago. Pengalamannya selama di AS ia tuliskan dalam buku yang disebut-sebut sebagai model penelitian jurnalistik investigasi berjudul If Christ Came to Chicago!: A Plea for the Union of All Who Love in the Service of All Who Suffer (1894).
Dalam buku itu pula ia mencatat tradisi makan siang gratis di saloon alias bar atau kedai minuman beralkohol yang dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat di kota tersebut. Salah satunya di bar bernama St. Lawrence House.
Orang-orang yang berkunjung akan mendapatkan sup panas dan roti secara cuma-cuma. Kala musim dingin tiba, bar ini menyediakan 36 galon sup panas dan 72 roti setiap harinya.
Kenyataan ini membuat kagum setiap orang asing yang berkunjung ke Chicago. Pasalnya, para pemilik bar dianggap lebih mampu membantu warga miskin melebihi apa yang diberikan oleh pemerintah kota.
Tradisi makan siang gratis di sejumlah bar di Chicago sejatinya bukan yang pertama dan satu-satunya di Amerika Serikat. Mengutip The New York Times edisi 20 Februari 1875, di kota Crescent, negara bagian New Orleans, hampir seluruh bar menyediakan makan siang gratis kepada para pelanggannya. Menu yang disajikan di antaranya sup, daging, dan sayur-mayur.
"Ribuan pria di kota ini, hidup sepenuhnya dari makanan yang diperoleh [secara gratis]," terang koresponden The New York Times.
Dalam satu kesempatan, koresponden itu masuk ke salah satu bar di jantung kota, tepatnya di Jalan St. Charles. Ia melihat orang-orang mengambil makanan secara prasmanan dengan beragam pilihan, seperti roti, mentega, kentang, tomat rebus, makaroni, sup kambing, daging sapi panggang, salad, garam, lengkap dengan saus tomat winchester.
Mereka yang datang berasal dari pelbagai kalangan, antara lain guru, kerani, pengacara, dokter, buruh, hingga penjudi. Dalam kondisi itu, kesenjangan sosial seolah lenyap.
Sementara di San Francisco, seseorang mendapatkan makanan siang gratis sebanyak yang diinginkan, setelah membeli minuman di bar.
"Dengan biaya kurang dari satu rupee sehari, seseorang dapat menghidupi dirinya sendiri secara mewah," tulis Rudyard Kipling dalam American Noted (1899, PDF).
Kedok Penjualan Minuman Beralkohol
Menurut Mark Edward Lender & James Kirby Martin dalam Drinking in America: A History (1982), penyediaan makan siang gratis di sejumlah bar hanyalah kedok penjualan minuman beralkohol. Pasalnya, sebagian besar makanan gratis yang disajikan rasanya sangat asin.
Selain itu, tak jarang daging sapinya terasa keras dan kentang yang terlalu encer. Untuk mendorong rasa makanan seperti itu, mau tidak mau, orang-orang harus merogoh koceknya--mulai 1 sampai 15 sen--untuk membeli minuman beralkohol yang merupakan satu-satunya minuman yang disediakan oleh bar.
Sedangkan di New York, "ketika mereka (pelanggan) memesan bir atau wiski, pelayan atau bartender akan membawakannya dengan sandwich. [Meskipun] secara umum, sandwich itu tidak bisa dimakan," tulis Darrel Hartman dalam "To Evade Pre-Prohibition Drinking Laws, New Yorkers Created the World’s Worst Sandwich"
Hal tersebut merupakan upaya bar untuk mengelabui undang-undang Raines yang diberlakukan pada tahun 1896 di New York. Isinya menaikkan biaya izin minuman beralkohol, menaikkan batas usia minum dari 16 tahun tahun menjadi 18 tahun, serta melarang penjualan minuman beralkohol pada hari Minggu--kecuali penjualan di hotel.
Seturut Jacob A. Riis dalam The Battle With The Slum (1902), makan siang gratis juga menimbulkan permasalahan sosial, yakni bertambahnya jumlah pengangguran dan gelandangan di kota bersangkutan.
Maka pada 1897, Pemerintah New York melarang penyediaan makan siang gratis dan menutup seluruh bar untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial yang lebih besar.
J. E. Stebbins dan T. A. H. Brown dalam Fifty Years History of the Temperance Cause (1874) menerangkan, pada akhirnya tradisi makan siang gratis di bar menuai polemik. Kelompok Pertarakan (Temperance Movement) yang didirikan pada abad ke-19, misalnya, secara total menentang peredaran minuman beralkohol.
Mereka enggan menyebut pemilik bar sebagai orang dermawan. Menurut mereka, keberadaan minuman beralkohol dalam tradisi makan siang gratis tak ubahnya pintu kematian untuk masyarakat.
Mengutip artikel berjudul "The Free Lunch Controversy of 1912", memasuki abad ke-20, Liga Anti-Bar terbentuk. Kelompok ini berhasil memberi tekanan lebih besar untuk menghentikan tradisi makan siang gratis.
Dampaknya, pada 1912, Pemerintah Los Angeles melarang setiap bar menyajikan makan siang gratis. Kebijakan yang sama kemudian diikuti kota-kota lain, seperti Chicago dan San Francisco, masing-masing pada tahun 1917 dan 1918.
Lebih lanjut, pada 17 Januari 1920, atas usulan organisasi yang sama, Pemerintah Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Volstead yang melarang pembuatan, penjualan, dan konsumsi minuman beralkohol dalam skala nasional.
Sejak itu, para pemilik bar di Amerika Serikat harus menutup usahanya. Namun, keadaan itu hanya sementara. Warsa 1933, Undang-Undang Volstead dicabut karena dianggap tidak mampu menegakkan kestabilan dan imbas dari Depresi Besar (Malaise).
Makan Siang Gratis di Sekolah
Tak hanya di bar, makan siang gratis juga dilakukan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga menengah. Philadelphia dan Boston menjadi dua kota pertama yang melakukannya sejak 1894.
Awalnya, program ini dipelopori dan dikelola oleh sejumlah organisasi kesejahteraan, seperti Women’s Educational and Industrial Union di Boston, dan Starr Center Association di Philadelphia.
Sebetulnya kedua organisasi ini memasang tarif sebesar 1 sen untuk makan siang pelajar. Meski demikian, program ini tetap mendapat tanggapan yang positif, khususnya dari para guru.
Selain untuk mencegah malanutrisi di kalangan pelajar, program makan siang juga dinilai "mengajarkan kebiasaan makan yang sehat kepada anak-anak dan membantu mereka belajar memilih makanan dengan bijak," tulis Emerlyn Rude, seorang pegiat sejarah makanan dalam majalah Time edisi 19 September 2016.
Setelah itu, secara bertahap sekolah-sekolah di kota lainnya mulai mengadopsi program yang sama. Memasuki tahun 1930, sebagai dampak dari Depresi Besar (Krisis Malaise), dengan dorongan kelompok liberal modern, Pemerintah Amerika Serikat mulai terlibat guna memastikan pemenuhan kebutuhan gizi untuk para pelajar.
Program ini mendapat pasokan dana dari lembaga-lembaga yang terikat dalam program New Deal yang digagas Presiden Franklin D. Roosevelt, seperti Federal Emergency Relief Administration, Federal Surplus Commodities Corporation, Surplus Marketing Administration, Work Progress Administration, dan National Youth Administration.
Hal ini berhasil memangkas biaya iuran makan siang di sekolah. Khusus pelajar dari keluarga berpenghasilan rendah bahkan dapat memperolehnya secara gratis.
Selain itu, program makan siang di sekolah menjadi solusi untuk menanggulangi kerugian para petani. Kala itu, pasokan bahan makanan untuk pelajar didapat dari kelebihan panen. Hingga pertengahan 1941, program makan siang di sekolah berjalan secara menyeluruh di Amerika Serikat dari tingkat dasar hingga menengah.
Memasuki masa Perang Dunia II, alokasi dana makan siang gratis di sekolah mengalami pengurangan. Namun, menyadari pentingnya asupan gizi para pelajar, pada 1943, atas usulan dari senator bernama Richard B. Russel Jr., Pemerintah Amerika Serikat mulai merancang Undang-Undang Nasional Makan Siang di Sekolah (National School Lunch Act).
Hal ini mendapat penentangan dari kelompok konservatif fiskal.
"[Mereka] menyamakan undang-undang ini dengan sosialisme yang merayap dan indoktrinisasi komunis," tulis Ashton Ellet, dkk. dalam "Food, Power, and Politics: the Story of School Lunch" (2002)
Namun, kritik yang dilayangkan tidak memengaruhi proses rancangan Undang-Undang yang akhirnya disahkan oleh Presiden Harry S. Truman pada 1946.
Mengutip kembali Emerlyn Rude, pada masa pemerintahan berikutnya, kebijakan dan alokasi dana makan siang gratis sekolah mengalami tarik-ulur. Pada 1981, misalnya, dengan dalih untuk mengurangi pemborosan anggaran negara, pemerintahan Ronald Reagan memangkas dana makan siang di sekolah sebesar 1,5 miliar dolar.
Tahun-tahun berikutnya, kebijakan Pemerintah AS terhadap program makan siang di sekolah terus berubah. Warsa 2010, diinisiasi Michelle Obama, Pemerintah Amerika Serikat berupaya meningkatkan kembali jumlah pelajar penerima makan siang gratis di sekolah melalui Undang-Undang Anak Sehat dan Bebas Kelaparan.
Meski mendapat banyak tanggapan positif, beberapa pihak mengkritik Undang-Undang tersebut sebagai bentuk pemborosan. Maka itu, seturut Ashton Ellet, dkk. dalam "Food, Power, and Politics: the Story of School Lunch" (2002), program ini menjadi isu politik yang hangat.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi