Menuju konten utama

Teror kepada Little Rock Nine & Hari-Hari Mengerikan di Sekolah

Teror terhadap sejumlah pelajar Afrika-Amerika di Little Rock, Arkansas, adalah potongan kecil dalam riwayat panjang rasialisme di AS.

Teror kepada Little Rock Nine & Hari-Hari Mengerikan di Sekolah
Header Mozaik Little Rock Nine. tirto.id/Tino

tirto.id - Malam itu Elizabeth Eckford gelisah tak bisa tidur. Ia baru selesai menyetrika pakaian yang akan dikenakan esok hari untuk memulai kelas pertamanya sebagai siswi Central High School di Little Rock, Arkansas.

Malam sebelumnya, ia bersama ibunya menonton televisi menyaksikan bagaimana Gubernur Orval Faubus mengumumkan untuk mengirim pasukan Garda Nasional Arkansas ke Central High. Elizabeth berpikir pasukan tersebut akan menjaga perdamaian di sekolah.

Saat itu gelombang protes menjalar di mana-mana, menolak integrasi pendidikan antara siswa kulit putih dan kulit hitam. Padahal tiga tahun sebelumnya, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa segregasi rasial dalam pendidikan publik adalah pelanggaran konstitusi.

Tanggal 4 September 1957 pagi, segala persiapan untuk berangkat ke sekolah sudah lengkap. Ibunya memastikan kembali persiapan anaknya, mulai dari penampilan, buku-buku yang harus dibawa, juga uang saku untuk makan siang.

Sedangkan ayahnya masih terjaga. Ia selalu bekerja shift malam di stasiun kereta api Missouri dan harusnya, setiap pagi dipastikan tidur. Namun, malah terlihat mondar-mandir dengan cerutu di bibirnya yang tidak menyala.

Elizabeth pamit dan meyakinkan kedua orang tuanya agar tidak perlu khawatir. Seraya membacakan Mazmur 27, ia melangkah beberapa blok menuju halte pemberhentian bus. Sendirian.

Cacian yang Mengerikan

Tiba di pintu sekolah, Elizabeth diadang pasukan Garda Nasional Arkansas. Ia mencoba masuk melalui pintu lain, lagi-lagi beberapa pasukan mengadangnya.

Kali ini ia berhasil menerobos penjagaan, tetapi kerumunan massa menyambutnya dengan makian.

“Kembali ke tempat asalmu!”

“Pulanglah sebelum kau terluka, orang Negro! Kenapa kau tidak kembali ke hutanmu?”

Elizabeth kemudian sadar bahwa pasukan Garda Nasional Arkansas datang bukan untuk mendamaikan keadaan, melainkan untuk mencegah murid kulit hitam masuk ke kelas.

Mengenakan gaun putih, berkacamata hitam sembari menenteng buku, ia membalikkan badan untuk kembali ke halte bus. Kerumunan mengikutinya dari belakang.

“Kembali ke Afrika!”

Cemoohan datang dari mulut Hazel Bryan, seorang gadis remaja kulit putih yang di kemudian hari menjadi foto paling ikonik selama krisis di Little Rock. Foto tersebut diabadikan oleh wartawan lokal, Will Counts.

Cacian verbal terus melingkarinya, bahkan mulai mendekati perundungan fisik.

Ibunya telah mengajarkan bagaimana mengendalikan suasana dalam keramaian, carilah wajah paling familiar dan menunjukkan rasa empati.

Elizabeth mendekati seorang wanita, namun ia malah diludahi.

“Dua, empat, enam, delapan, kami tidak ingin berintegrasi! Dua, empat, enam, delapan, kami tidak ingin berintegrasi!”

Tiba di halte, ia duduk di bangku--di kemudian hari dikenal dengan bangku “Eckford”--untuk menunggu bus, beberapa massa masih mengerubunginya.

Seorang perempuan bernama Grace Lorch baru saja mengantar putrinya ke sekolah. Ia kemudian meleraikan massa.

“Dia hanya gadis kecil yang ketakutan. Enam bulan dari sekarang, kalian akan malu dengan apa yang sudah kalian lakukan,” ujar Lorch seperti dikutip Elizabeth Jacoway dalam bukunya Turn Away Thy Son:Little Rock, the Crisis That Shocked the Nation (2007).

Setelah dibantu Lorch, gadis pemberani berusia 15 tahun itu berhasil naik bus dan pulang menuju tempat ibunya bekerja. Sambutan hangat pelukan ibu cukup untuk melupakan segala ketakutan hari ini.

Little Rock Nine

Dalam file foto 27 September 1957 ini, dua petugas penerjun payung mengawal siswa kulit hitam dari Central High School di Little Rock, Ark. Sekolah ditutup untuk akhir pekan. (Foto/File AP)

Fase Integrasi

Pada tanggal 3 September 1957 malam, Daisy Bates, koordinator sekaligus Presiden National Association for the Advanced of Colored People (NAACP) bagian Arkansas, mengadakan pertemuan dengan beberapa remaja keturunan Afrika-Amerika--kemudian dikenal dengan Little Rock Nine—yang akan menjadi calon murid Central High School.

Hasil pertemuan itu kemudian sepakat bahwa para murid akan berangkat ke sekolah dari rumah Bates sekitar jam 8:30 pagi. Setelah itu mereka akan naik kendaraan bersama yang didampingi pendeta lokal.

Ketika pertemuan selesai, Bates baru sadar bahwa Elizabeth tidak hadir dan gagal dihubungi karena rumahnya tidak memiliki telepon.

Esok harinya, saat Bates dan delapan anggota Little Rock Nine tiba di sekolah, mereka tidak melihat Elizabeth. Mereka ditahan di pintu masuk oleh pasukan pengawal.

Seorang penjaga menyatakan bahwa atas perintah gubernur remaja Afrika-Amerika tersebut dilarang memasuki area gedung. Mereka pun balik arah untuk kembali pulang. Tidak ada perlawanan apapun seperti yang ditunjukkan oleh Elizabeth.

Sore harinya, Bates bertemu Elizabeth yang memelototinya sebelum meminta maaf.

Sebelumnya pada bulan Mei 1954, Dewan Sekolah Little Rock yang dipimpin Virgil Blossom telah membuat rencana integrasi secara bertahap dimulai dengan tingkat dasar. Namun karena orang tua siswa sekolah dasar adalah yang paling banyak menentang kebijakan tersebut, maka proses integrasi akan dimulai dari tingkat SMA pada musim gugur 1957, dilanjutkan dengan tingkat SMP pada 1960, dan tingkat SD pada 1963.

Murid-murid kulit hitam selama ini hanya diizinkan untuk bersekolah di dua lokasi, yakni SMP Dunbar dan SMA Horace Mann. Sementara bagi murid kulit putih, mereka bebas bersekolah di mana saja yang ada di Little Rock.

Untuk menyeleksi calon siswa yang akan masuk ke Central High, dewan sekolah melihat kembali nilai dan catatan para siswa selama sekolah di Dunbar dan Horace Mann.

Dari 200 murid yang terpilih, dipersempit lagi menjadi 80 murid. Virgil Blossom menyetujui angka tersebut untuk dipindahkan ke Central High pada tahun ajaran berikutnya.

Karena banyak ancaman yang menimpa calon siswa, juga kepada keluarganya, jumlahnya kemudian menurun menjadi 17 murid sampai akhirnya menyusut lagi hanya sepuluh siswa yang akan diizinkan untuk mendaftar di Central High School.

Kesepuluh siswa tersebut adalah Carlotta Walls, Elizabeth Eckford, Ernest Green, Gloria Ray, Jane Hill, Jefferson Thomas, Melba Patillo, Minnijean Brown, Terrence Roberts, dan Thelma Mothershed.

Jane Hill tidak diizinkan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi di hari pertama masuk sekolah. Alasan lain karena ayahnya mendapat ancaman pemecatan dari bosnya jika ia tetap bersekolah di Central High.

Little Rock Nine

Dalam file foto 2 Oktober 1957 ini, siswa kulit hitam pertama yang mendaftar di Central High School di Little Rock, Ark. (Foto AP/Ferd Kaufman, File)

Sembilan murid Afrika-Amerika ini tetap melanjutkan pendidikan meskipun mendapat serangan verbal dan fisik setiap hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Minnijean Brown diskors enam hari karena menjatuhkan nampan makan siang yang berisi cabai di atas kepala dua anak laki-laki kulit putih yang mengejek dan memukulnya. Kedua anak laki-laki itu, meski berulangkali mengejeknya tidak pernah mendapat hukuman dari sekolah.

Melba Patillo hampir saja buta saat seorang murid kulit putih melemparinya dengan cairan asam. Beruntung seorang penjaga sekolah membantu membilas cairan tersebut.

Ernest Green menuturkan dalam sebuah wawancara, selain ejekan dan pukulan, rutinitas yang selalu ia dan teman-temannya dapatkan adalah loker yang selalu diobrak-abrik secara berkala oleh siswa kulit putih.

“Saya yakin Dewan Sekolah pasti menghabiskan ribuan dolar hanya untuk mengganti buku-buku kami,” kenangnya sembari tertawa.

Setelah insiden hari pertama, atas saran Bates dan Dewan Sekolah, para siswa dilarang ke sekolah untuk sementara waktu sampai situasi kondusif.

Dewan Sekolah sempat mengajukan penangguhan integrasi, namun ditolak pengadilan. Insiden di Little Rock kemudian mendapat perhatian Presiden Dwight D. Eisenhower yang memanggil gubernur Orval Faubus pada tanggal 14 September.

Faubus berjanji akan melakukan proses integrasi pendidikan secepatnya dan mengganti pasukan Pengawal Nasional Arkansas dengan kepolisian Little Rock untuk mengendalikan massa yang masih bercokol di luar High Central.

Penentang integrasi datang dari berbagai penjuru yang didukung 19 senator dan 84 anggota kongres, delapan di antaranya berasal dari Arkansas. Akibatnya, aktivitas pendidikan di High Central terganggu.

Kepolisian sampai harus mengawal Little Rock Nine yang kembali ke sekolah pada 23 September melalui pintu samping gedung. Saat itu, seribu massa penentang integrasi mengepung sekolah menyebabkan empat wartawan kulit hitam terluka.

Dua hari kemudian, atas perintah Presiden Eisenhower, seribu pasukan terjun payung dari Divisi Angkatan Darat AS dikerahkan untuk mengawal Litte Rock Nine sekolah. Selama seminggu, pasukan ini akan mengantar mereka ke sekolah dan menjemput mereka untuk pulang.

1 Oktober 1957, tentara dari Garda Nasional Amerika mengambil alih untuk mengamankan sekolah. Hampir satu bulan, Elizabeth Eckford dan kawan-kawan belajar dalam pengawalan.

Demontrasi mulai menurun dan situasi mulai kondusif, kecuali di dalam sekolah, Little Rock Nine tetap mendapat ejekan dan pelecehan.

Dari sembilan anggota, hanya Ernest Green yang bertahan hingga kelulusannya pada 27 Mei 1958. Ia tercatat sebagai murid Afrika-Amerika pertama yang sukses menyelesaikan pendidikan di Central High School.

Tahun ajaran itu juga menjadi tahun terakhir bagi murid-murid kulit hitam dan kulit putih bersekolah. Mereka dilarang bersekolah setelah ketegangan rasial semakin memuncak.

Ada empat sekolah menengah di Little Rock yang akhirnya ditutup atas perintah Gubernur Orval Faubus, yakni High Central School, Hall High School, Little Rock Technical High School (khusus kulit putih), dan Horace Mann School (khusus kulit hitam). Akibatnya, 3.665 murid terlantar.

Kelompok dan organisasi dari dua kubu kemudian bermunculan. Mereka secara sukarela mendata murid-murid yang terlantar. Mereka membantu mencarikan sekolah alternatif.

Para murid kulit putih tidak kesulitan ketika masuk ke sekolah-sekolah umum maupun sekolah alternatif di Little Rock. Sementara sebagian besar murid kulit hitam tidak melanjutkan sekolah.

Namun secara umum dan perlahan, proses integrasi terjadi ketika empat sekolah menengah kembali dibuka pada 12 Agustus 1959.

Little Rock Nine

Dalam file foto 25 September 1957 ini, sembilan siswa Afrika-Amerika memasuki Central High School di Little Rock, Ark., dikawal oleh pasukan Divisi Lintas Udara ke-101. (Foto/File AP)

Kekerasan Rasial di Amerika Serikat

Kekerasan terhadap keturunan Afrika-Amerika memiliki sejarah yang cukup panjang di Amerika Serikat. Diawali dengan masa perbudakan sebelum negara adidaya itu mengumumkan kemerdekaannya tahun 1776. Budak-budak dari Afrika dibutuhkan tenaganya untuk membangun negara di bawah koloni Inggris.

Tercatat ada peningkatan jumlah budak kulit hitam dalam kurun waktu kurang dari satu abad. Menurut sensus tahun 1790, jumlah budak kulit hitam berjumlah 697.681 orang. Naik lima kali lipat 87 tahun kemudian menjadi 3.953.760 budak.

Abraham Lincoln tampil sebagai presiden terpilih pada 1860 yang menentang perbudakan, terutama di wilayah Selatan yang akhirnya menimbulkan Perang Saudara. Tiga tahun kemudian, sistem hukum AS melalui Amandemen Konstitusi Ketiga Belas melarang perbudakan di seluruh wilayahnya.

Selama masa rekonstruksi perang, beberapa perlindungan kepada warga kulit hitam diperketat. Budak-budak yang sudah bebas dapat menikmati hak mereka sebagai warga negara. Namun, karena sifatnya terbatas, perlindungan tidak menjamin adanya kekerasan lain yang dialami warga kulit hitam keturunan Afrika tersebut.

Pada abad ke-20, muncul ke panggung nama-nama tokoh yang memperjuangan hak-hak sipil warga kulit hitam.

Tahun 1955, Mose Wright, seorang kakek berani bersaksi di pengadilan melawan JW Miliam, orang kulit putih yang membunuh kejam cicitnya, Emett Till yang masih berusia 14 tahun. Till dibunuh hanya karena telah berbicara dengan seorang gadis kulit putih.

Di tahun yang sama, Rosa Parks menolak menyerahkan kursi busnya kepada seorang pria kulit putih di Alabama.

Marthin Luther King Jr. muncul sebagai orator ulung ketika berbicara dalam beberapa demonstrasi yang memancing Presiden John F. Kennedy mengusulkan Undang-Undang Hak Sipil. Tindakannya ini kemudian banyak memantik anak-anak muda kulit hitam untuk lebih berani memperjuangkan hak-haknya.

Dalam periode yang sama, muncul Malcolm X yang dalam pidato-pidatonya sudah tidak banyak menuntut keadilan masa lalu. Ia lebih banyak menyerukan kesetaraan kekuasaan bagi warga kulit hitam.

Naiknya Barack Obama menjadi Presiden AS sempat menjadi harapan para keturunan Afrika-Amerika agar sikap-sikap rasisme yang dilakukan, bukan hanya warga sipil kulit putih, tetapi juga oleh aparat negara seperti polisi kulit putih, sebisa mungkin dihentikan.

Infografik Mozaik Little Rock Nine

Infografik Mozaik Little Rock Nine. tirto.id/Tino

Ironisnya, gerakan Black Lives Matter justru lahir di era Obama, setelah kekerasan rasial dan pelecehan yang banyak menyasar warga kulit hitam. Gerakan tersebut dipicu pembebasan George Zimmerman yang sebelumnya menembak mati seorang murid kulit hitam berusia 17 tahun, Trayvon Martin.

Kekerasan rasial yang berujung kematian yang dilakukan oleh polisi kulit putih kemudian menambah panjang daftar korban warga kulit hitam, antara lain Michael Brown, Erci Garner, Rekia Boyd, Pamela Turner, dan George Floyd .

Donald Trump yang dianggap sebagai simbol “Supremasi Kulit Putih” terpilih menjadi pengganti Obama pada akhir Januari 2017. Tentu saja menjadi kekhawatiran bagi warga kulit hitam di seluruh AS. Menurut Vanity Fair, Trump pernah menyimpan buku pidato Adolf Hitler yang berjudul My New Order di samping tempat tidurnya.

Di Amerika Serikat, rasialisme bukan hanya terjadi kepada warga keturunan Afrika-Amerika, tetapi juga dilakukan kepada suku Indian, Latin-Amerika, Hispanik-Amerika, Eropa-Amerika, dan Asia-Amerika.

Dilansir BBC, kejahatan dan kebencian pada tahun 2019 berada dalam level tertinggi selama lebih dari satu dekade.

Novita Kurnia Putri merupakan salah satu korban tembak salah sasaran akibat kebencian terhadap ras Asia selama masa pandemi Covid-19. Sebelumnya, kekerasan juga menimpa warga keturunan Filipina-Amerika dan imigran Thailand.

Melba Pattilo dalam wawancara penutupnya mengatakan banyak pelajaran yang ia dapatkan dari krisis di Little Rock. Ia bisa mengetahui cara untuk lebih peduli pada orang lain karena menurutnya, ia tidak pernah punya niat untuk menyakiti siapapun seperti ia menyakiti diri sendiri.

Rasialisme menurutnya bukan hanya hitam dan putih. Ia juga merasa bahwa dirinya masih hidup sampai hari ini juga karena orang kulit putih.

“Jadi Little Rock mengajari saya untuk menghormati kehidupan manusia dan mengetahui bahwa saya tidak dapat memberikannya, jadi jangan ambil dan jangan menyalahgunakannya.”

Baca juga artikel terkait RASIALISME atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi