Menuju konten utama
21 Februari 1965

Dakwah Islam Malcolm X di Eropa

Tanah nan legam.
Pekikan menantang di
negri Paman Sam.

Dakwah Islam Malcolm X di Eropa
Ilustrasi Malcolm X. tirto.id/Gery

tirto.id - Nama Malcolm X barangkali hanya dikenal di Indonesia karena posisinya sebagai minoritas ganda: orang kulit hitam, Muslim Amerika, dan mati dibunuh di usia yang sangat muda pada 1965. Dia menjadi salah seorang martir pertama perjuangan kulit hitam di negeri Paman Sam pada era 1960-an, mendahului Dr. Martin Luther King yang ditembak pada 1968, dan pemimpin Black Panther Fred Hampton yang dibunuh di apartemennya setahun setelah Dr. King tewas.

Muslim kulit hitam di era Malcolm X adalah minoritas dalam minoritas. Hingga dekade 1960-an, Islam cenderung dipandang sebagai salah satu agama nenek moyang yang dianut sekitar 20-30 persen budak yang didatangkan ke Benua Amerika pada abad ke-16.

Keterkaitan antara perbudakan, kolonisasi Afrika, dan Islam sebagai agama bawaan ini juga mengemuka sebagai legenda yang sama di sejumlah kalangan kulit hitam di Karibia. Revolusi Haiti pada 1791, misalnya, dipercaya dipelopori oleh Boukman Dutty, seorang praktisi Voodoo—yang di Karibia dipahami sebagai agama hibrid orang Afrika, alih-alih santet—sekaligus Muslim.

Doktrin dan ritual Islam yang dipraktikkan Muslim kulit hitam AS sangat beragam, sinkretik, dan berbeda dari Islam arus utama sebagaimana yang jamak ditemui di belahan dunia lain hari ini. Nation of Islam, misalnya. Organisasi yang berdiri pada 1930 ini mempopulerkan Islam sebagai ajaran kuno yang perlu dipeluk lagi oleh warga kulit hitam. Dalam ideologi Nation of Islam, memeluk Islam berarti menjadikannya simbol perlawanan terhadap dominasi masyarakat kulit putih sekaligus sarana menziarahi warisan leluhur.

Meningkatnya kepopuleran Islam sejak didirikannya Nation of Islam berjalan seiring dengan perjuangan hak-hak sipil warga kulit hitam menuntut kesetaraan yang memuncak pada dekade 1960-an. Gereja-gereja kulit hitam juga tumbuh pesat di tangan sejumlah pendeta seperti Dr. King. Elemen lain yang tak kalah penting adalah dukungan Partai Komunis AS (CPUSA) terhadap perjuangan kulit hitam, serta kemunculan ormas-ormas militan seperti Black Panther. Pada akhir hidupnya, Dr. King berusaha menghubungkan perjuangan kulit hitam, sentimen anti-perang, serta perjuangan buruh.

Malcolm X menjadi anggota Nation of Islam pada 1946 ketika berada di penjara. Karena perbedaan prinsip politik dan perseteruan internal, ia keluar dari organisasi tersebut pada 1950-an. Sejak itu, ia ganti nama jadi Malik el-Shabazz. Di tahun 1964, setahun sebelum kematiannya, ia memutuskan masuk Islam Sunni, naik haji, dan melancong ke Eropa. Seandainya episode Perancis-Inggris Malcolm X tak pernah terjadi, barangkali dunia tidak akan mengenalnya.

Sang haji sendiri ingin memperluas perjuangan kulit hitam, dari isu hak-hak sipil, menjadi isu hak asasi manusia secara internasional. Dari diskriminasi di AS ke internasionalisme kulit hitam, melampaui perdebatan di dalam negeri yang ketika itu berkisar antara tema penghapusan diskriminasi dan integrasi dengan warga kulit putih, atau mendirikan lingkungan khusus dan terpisah yang hanya dihuni warga kulit hitam.

Melembutkan Citra dengan Islam

Malcolm X mendapatkan tiga kesempatan berbicara di hadapan audiens Eropa: di Paris pada 23 November, Oxford (3 Desember), dan akhirnya di London pada 11 Februari. Acara itu berlangsung bersamaan dengan pembukaan kantor OAAU (Organization of African-American Unity) di sejumlah ibukota seperti London, Paris, dan Amsterdam.

Saladin Ambar dalam “The Din of Malcolm: Projections of Islam in France and the United Kingdom, 1964–1965” yang diterbitkan Journal of Africana Religions pada 2015, menuturkan tiga motif utama lawatan Malcolm X ke Inggris dan Perancis.

Pertama, mengukuhkan posisinya sebagai tokoh (muslim) dunia, setelah hijrah dari Nation of Islam. Dia, tulis Ambar, ingin menghapus nama lamanya dan menambah titel haji. Kedua, menghaluskan citranya di tengah masyarakat Eropa, yang cenderung mengenalnya sebagai tokoh radikal yang menganjurkan kekerasan. Dan, ketiga, mendapatkan kesempatan untuk berbicara kepada komunitas-komunitas imigran asal Asia dan Afrika di Barat.

Paris mempertemukann Malcolm X dengan penulis kulit hitam Amerika Chester Himes dan Carlos Moore, penulis asal Kuba pendukung Castro. Ia diundang bicara di Salle de Mutualité, sebuah lembaga kultural yang dibangun Maxine Rodinson, seorang sosiolog Yahudi Marxis, guna mengorganisir solidaritas untuk Palestina di Paris. Audiens terbesar Haji Shabazz adalah imigran Muslim Afrika Barat yang ingin mengetahui kabar terbaru perjuangan orang kulit hitam di AS.

Seperti dicatat Ambar, ceramah sang haji sangat eklektik dan menjauh dari perihal ras di Amerika. Haji Shabazz justru membicarakan “kebijakan bantuan luar negeri Amerika, kelemahan taktik nirkekerasan, pemajuan kehidupan etnis yang berpijak pada model komunitas Yahudi di AS, pilihan-pilihan religius, pilpres 1964, serta prospek negara baru yang terdiri dari warga kulit hitam di Amerika.”

Karena tahu sebagian besar audiensnya sekuler, ceramah Malcolm X di Paris hanya sedikit menyinggung perpindahannya ke Islam.

infografik mozaik malcolm x

Beda cerita dengan Oxford. Di salah satu kampus tertua di dunia itu, Haji Shabazz sangat serius mempersiapkan ceramahnya. Ceramah Oxford ini kelak jadi salah satu karya Malcolm X yang paling dikenal. Pasalnya, acara tersebut disiarkan radio BBC—dan itu artinya suara sang haji menjangkau seluruh Imperium Britania dan negeri-negeri persemakmuran.

“Saya seorang muslim. [… ] Jika ada yang salah dengan itu, saya siap dikecam,” sang haji membuka ceramahnya, berbicara tentang “ekstremisme demi membela kebebasan.” Kali ini Islam tampil lebih mencolok dan digunakan oleh Malcolm X untuk mengimbangi citranya yang terlanjur buruk di media-media Barat sebagai aktivis kulit hitam. Di hadapan pemirsa Oxford, Islam dipaparkan sebagai suatu kekuatan humanis yang menyatukan subjek kulit hitam di seluruh dunia, sesuatu yang menurut Ambar, “terdengar asing [dari Islam] di zaman kita.”

Ceramahnya di London School of Economics (LSE) lebih radikal. Kampus dengan populasi pelajar asing yang tinggi yang sebagian besarnya berasal dari Dunia Ketiga itu memang jadi salah satu pusat protes menolak Perang Vietnam yang berlangsung hingga awal 1970-an di Inggris.

Di LSE, Malcolm X dengan bangga menceritakan identitas barunya sebagai seorang Muslim. “Hanya dengan menjadi Muslim, saya bisa tak peduli dengan warna kulit. Agama ini mengajarkan persaudaraan. Tapi saya harus realistis—saya tinggal di Amerika, sebuah masyarakat yang tidak percaya pada persaudaraan dalam artian apa pun,” ucapnya.

Akibat ceramahnya di bulan November, Haji Shabazz dilarang masuk ke Perancis. Departemen Luar Negeri AS dan Perancis sepakat agar ia dilarang berpidato di sana. Menurut Ambar, ini disebabkan situasi Perang Dingin dan suhu politik yang memanas di Dunia Ketiga ketimbang statusnya sebagai seorang Muslim.

Tak sampai dua minggu menginjakkan kaki di AS, pada 21 Februari 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, seorang anggota Nation of Islam memberondongnya dengan peluru. Usia Haji Shabbaz waktu itu baru 39.

Baca juga artikel terkait ISLAM atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani