Menuju konten utama
Mozaik

Pangeran Merah, Elite Fatah & Otak Serangan September Hitam 1972

Dalam rentang panjang perlawanan Palestina terhadap Israel, Ali Hassan Salameh beraksi dengan gaya flamboyan. Ia otak serangan Olimpiade Munich 1972.

Pangeran Merah, Elite Fatah & Otak Serangan September Hitam 1972
Header Mozaik Ali Hassan Salameh. tirto.id/Tino

tirto.id - Ali Hassan Salameh lahir di tengah keluarga yang religius. Meski masih muda, namanya masuk ke dalam lingkaran elite Palestine Liberation Organization (PLO). Pada usia 30-an tahun ia bahkan menjadi tangan kanan Yasser Arafat dalam urusan keamanan.

Sosok yang dikenal sebagai Pangeran Merah ini menjadi orang yang paling dicari oleh Mossad setelah aksi yang dilakukan anak buahnya terhadap kontingen Israel pada Olimpiade 1972 di Munich.

Ali Hassan Salameh merupakan pria flamboyan yang berperan ganda sebagai agen rahasia Palestina dan Amerika Serikat.

Ironi Olimpiade Munich

Pada 1972, Jerman menjadi tuan rumah Olimpiade untuk kedua kalinya. Ajang olahraga terbesar di dunia itu dipusatkan di Munich, ibu kota negara bagian Bavaria yang terletak di selatan. Sebanyak 7.134 atlet dari 121 negara berpartisipasi dalam 195 pertandingan di 21 cabang olahraga mulai 26 Agustus hingga 11 September 1972.

Olimpiade 1972 seharusnya membawa pesan yang berbeda dari Olimpiade 1936 yang digelar di Berlin. Kala itu, Hitler menggunakannya untuk propaganda ideologi antisemit yang mengundang kecaman banyak negara, khususnya AS. Namun, teror kelompok Black September membuat rencana tersebut gagal total.

Sebagaimana Olimpiade 1936 yang sarat kepentingan politik, Pemerintah Jerman juga memanfaatkan Olimpiade 1972 untuk mempromosikan dirinya, kali ini sebagai negara yang demokratis, yang bertolak belakang dengan citranya yang militeristik dan rasis pada Olimpiade sebelumnya.

Untuk mendukung kampanye itu, tuan rumah menggunakan motto Die Heiteren Spiele (Pertandingan yang Ceria). Sementara logonya adalah pendar biru bernama Radiant Munich (Munich Berseri), yang menyimbolkan kebaruan dan kemurahan hati. Para petugas keamanan di sekitar penginapan atlet bahkan tidak dilengkapi senjata.

Hingga hari ke-10 sejak resmi dibuka, Olimpiade berjalan lancar. Beberapa insiden terjadi tapi tidak ada yang serius. Pada 5 September 1972 dini hari, ancaman yang sesungguhnya datang. Delapan pria anggota Black September menyelinap ke dalam Olimpic Village dan menyerang kontingen Israel di apartemen mereka.

Sebanyak 15 atlet Israel berhasil kabur, tapi 11 orang lainnya gagal menyelamatkan diri. Pelatih gulat Moshe Weinberg dan atlet angkat besi Yossef Romano berusaha merebut senjata pelaku dan melawan dengan pisau buah, tapi kemudian tewas tertembak. Sisanya yaitu sembilan orang atlet dan official dijadikan sandera.

Dalam sekejap, jaringan televisi yang meliput kemeriahan Olimpiade 1972 mengalihkan sorot kameranya pada krisis penyanderaan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, aksi teror diberitakan secara masif, langsung, dan global--sesuai harapan pelaku.

Kelompok Black September menyampaikan tuntutan yang tidak bisa dipenuhi otoritas Jerman, yaitu pembebaskan 236 rakyat Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Pihak Israel melalui Perdana Menteri Golda Meir menolak mentah-mentah tuntutan itu dan meminta Jerman bertanggung jawab terhadap keselamatan para sandera.

Campur Tangan Kissinger

Nun jauh di Beirut, Ali Hassan Salameh sang perancang serangan terus mengikuti perkembangan berita. Kala itu, ia baru berusia 33 tahun, tapi pengalamannya di dunia spionase tidak bisa diremehkan. Buktinya, tak lama setelah mendalangi aksi teror di Munich ia justru direkrut sebagai agen Central Intelligence Agency (CIA).

Salameh mengenyam pendidikan tinggi di Jerman dan mengikuti pelatihan militer di Kairo dan Moskow. Sebagai bagian dari kelompok militan di tubuh Fatah, faksi terbesar PLO, jabatannya tak main-main, yaitu kepala keamanan. Ia juga pendiri Angkatan 17, korps khusus yang menjadi perisai hidup pemimpin PLO, Yasser Arafat.

Lain itu, Salameh adalah sosok yang penuh kontradiksi. Seturut Annie Jacobsen dalam "Surprise, Kill, Vanish: The Secret History of CIA Paramilitary Armies, Operators, and Assassins" (2019:165), bertolak belakang dengan ayahnya yakni Syekh Hassan Salameh, sosok seorang sederhana dan religius yang jadi martir dalam Perang Arab-Israel, Ali Hassan Salameh dikenal bergaya hidup jetset.

Ia sering terlihat mengendarai mobil sport di jalanan Beirut sambil mengenakan kacamata hitam, arloji emas, kemeja setengah terbuka, dan tanpa keffiyeh. Ia secara teratur berolahraga di gimnasium Continental Hotel, biasa makan di restoran mahal, dan perokok berat.

Salameh menikah dengan Georgina Rizk, selebriti Lebanon yang dinobatkan sebagai Miss Universe 1971. Seolah menegaskan gaya hidupnya yang mewah, ia memilih Hawai untuk berbulan madu sebelum melanjutkan ke Disneyland. Sebagai olok-olok, Mossad menggunakan kode "Pangeran Merah" untuk menyebutnya.

Meski terlibat dalam serangkaian aksi teror, termasuk pembunuhan dua diplomat Amerika Serikat di Khartoum, Salameh justru didekati oleh agen CIA di Timur Tengah, Robert Ames. Melalui sebuah kesepakatan rahasia, Salameh bersedia menandatangani jaminan keselamatan untuk semua diplomat AS di Lebanon.

Kedekatan Salameh dan Ames tergambar dari perjalanan Salameh dan istrinya ke AS, termasuk mengunjungi kantor pusat CIA di Langley, Virginia, yang berjalan mulus berkat campur tangan Ames. Semua itu terjadi ketika Israel, sekutu paling dekat AS, memasukkan Salameh ke dalam prioritas utama target pembunuhan.

Tokoh kunci di balik kesepakatan rahasia tersebut adalah Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri AS dan pucuk pimpinan seluruh diplomat AS. Alih-alih menyeret Salameh ke meja hijau, Kissinger justru mengontak Yasser Arafat dan membuat deal yang menempatkan Pangeran Merah sebagai aset klandestin CIA.

Infografik Mozaik Ali Hassan Salameh

Infografik Mozaik Ali Hassan Salameh. tirto.id/Tino

Serangan Balik

Golda Meir murka setelah tahu semua sandera Israel tewas. Kemarahannya bukan hanya pada militan Black September, tapi juga otoritas Jerman. Meski tentara Jerman memiliki keterampilan dan peralatan tempur untuk menghadapi situasi seperti itu, konstitusi pasca perang memberikan wewenang bukan pada mereka, tapi polisi.

Masalahnya, polisi yang diterjunkan tidak memiliki spesialisasi formal sebagai penembak jitu. Lain itu, jumlah personel mereka kurang, penempatan di lapangan keliru, tidak dilengkapi radio untuk berkomunikasi satu sama lain, dan senjata mereka adalah senapan serbu, bukan senapan penembak jitu yang memiliki jangkauan jarak jauh dan dilengkapi kemampuan penglihatan malam.

Setelah Golda Meir dan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan, menyetujui operasi perburuan terhadap semua yang terlibat dalam pembantaian di Munich, unit pemburu rahasia di tubuh Mossad diaktifkan. Unit bernama Kidon yang berarti bayonet, segera meringkus anggota Black September yang terlibat dalam pembantaian di Munich.

Wael Zwaiter diberondong sebelas peluru di apartemen pribadinya di Roma. Mahmoud Hamsari tewas di Paris setelah bom yang disembunyikan di dalam teleponnya diledakkan dari jarak jauh. Anggota Black September lain yang bersembunyi di London didorong ke jalan raya persis sebelum bus berkecepatan tinggi melindasnya.

Ketika operasi itu terendus anggota Black September yang masih hidup, mereka merancang sebuah plot untuk membunuh Golda Meir yang rencananya akan bertemu Paus Paulus VI di Vatikan. Plot tersebut gagal dieksekusi sebab lebih dulu dibongkar oleh agen rahasia Mossad di Roma. Kendati demikian, pertemuan Golda Meir dan Paus Paulus VI urung dilakukan.

Pada 22 Januari 1979, sebuah bom dipasang di mobil yang ditumpangi Salameh. Di suatu ruas jalan di Beirut, bom itu meledak. Salameh, empat bodyguard, dan tiga pejalan kaki di dekatnya tewas.

Butuh waktu lima tahun bagi Mossad untuk membunuh tokoh kunci di balik tewasnya kontingen Israel di Munich. Sejumlah pihak meyakini jika bukan karena CIA, Pangeran Merah mungkin lebih cepat dihabisi.

Pada hari pemakaman, sekitar 20 ribu orang mengantarkan jenazah Salameh. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah kehadiran pemimpin PLO, Yasser Arafat.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Politik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi