Menuju konten utama
Mozaik

Pangeran Hijau, Putra Pendiri Hamas yang Jadi Mata-mata Israel

Mosab Hassan Yousef direkrut sebagai mata-mata oleh Shin Bet. Selama Intifada II (2000-2005), ia banyak menyuplai informasi kepada Israel.

Pangeran Hijau, Putra Pendiri Hamas yang Jadi Mata-mata Israel
Header Mozaik Mosab Hasan Yousef. tirto.id/Fuad

tirto.id - Mosab tak banyak berbeda dengan remaja Palestina lainnya. Ia pergi ke sekolah, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan melihat dari dekat perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Satu perbedaannya: ia anak seorang petinggi Hamas yang tengah bersinar.

Dalam memoarnya berjudul Son of Hamas (2009:33), Mosab Hassan Yousef menulis bahwa dirinya baru 18 tahun ketika diseret ke Rumah Tahanan Maskobiyeh di Yerusalem Barat. Ia tak mengira percakapannya di telepon dengan Ibrahim Kiswani, teman sekelasnya di SMA, tentang pembelian sepucuk pistol membuatnya dicokok IDF (Israel Defense Forces).

Jika bukan putra Syeikh Hassan Yousef, salah satu pendiri dan pucuk pimpinan Hamas, Mosab mungkin tidak akan menyita perhatian siapa pun di penjara.

Setiap hari selama berminggu-minggu ia ditanya tentang Hamas, struktur organisasi mereka, cara mereka mendapatkan senjata, dan kesediaannya untuk berkolaborasi dengan Shin Bet--badan keamanan Israel.

"Bagaimana jika aku terbunuh?” ujar Mosab, setelah beberapa kali dibujuk untuk menjadi mata-mata Israel.

Loai, seorang tentara berpangkat kapten, menatap lekat kedua matanya. Ia menjelaskan bahwa selama 18 tahun kariernya di Shin Bet, hanya satu agen di lembaga kontraspionase itu yang tertangkap.

Rata-rata orang yang dituduh sebagai telik sandi Israel ditangkap dan dibunuh pejuang Palestina karena mengundang kecurigaan mereka. Padahal, hampir semuanya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Israel. Jadi, menurut Loai, Mosab tak perlu mengkhawatirkan hal itu, lagi pula ia anak petinggi Hamas.

"Kami akan menutup rapat rahasiamu agar tak terendus. Kami juga akan melindungi dan menjagamu," Loai meyakinkannya.

Malang melintang di dunia intelijen membuat Loai yakin Mosab bisa menjadi aset berharga bagi Shin Bet. Ia mengerti, pertanyaan Mosab tentang kemungkinan terbunuh jika menyetujui tawarannya tidak menunjukkan penolakan tapi justru ketertarikan. Bagi Mosab, pertanyaan itu adalah titik balik dalam hidupnya.

Dibesarkan dalam nilai-nilai Islam dan perjuangan, Mosab tumbuh dengan nasionalisme yang membuncah. Namun, berminggu-minggu menjalani siang bersama interogator dan malam dengan siksaan fisik dan mental adalah sesuatu yang benar-benar menguji kesabarannya.

Di penjara yang dikenal dengan Rumah Jagal, yang selnya berukuran dua meter persegi, dengan udaranya yang lembab, lantai selalu basah, dinding berlumut, dan jamban yang tidak berfungsi, Mosab terus mengutuk dirinya sendiri yang membicarakan pembelian senjata api melalui telepon rumahnya, yang tentu saja sudah disadap IDF.

Tawaran kerja sama itu jelas di luar dugaan. Jika menerimanya, selain pelanggaran berat dalam agama, juga jauh lebih berbahaya ketimbang membeli senjata api. Namun, tangis para penghuni penjara dan lolongan mereka saat disiksa memaksa Mosab mempertimbangkannya. Ia tak ingin berakhir seperti mereka.

Di Tengah Pusaran Intifada

Dua bulan setelah keluar dari penjara, Mosab beberapa kali melakukan kontak dengan Loai dan menerima segepok uang berjumlah ratusan dolar. Semua ia terima tanpa tugas yang berarti. Ia hanya disuruh melanjutkan pendidikan dan membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Lain itu, Loai berjanji ayah Mosab yang masih mendekam di penjara akan dibebaskan.

“Agar kau bisa dekat dengannya,” imbuh agen Israel itu.

Sehari setelah kunjungan Ariel Sharon--calon Perdana Menteri Israel dari Partai Likud--ke Masjid Al-Aqsa pada 28 September 2000, Fatah memobilisasi massa di Tepi Barat dan Gaza untuk melakukan unjuk rasa. Bentrokan dengan polisi Israel tak terhindarkan. Sejak akhir bulan itu hingga lima tahun berikutnya dunia melihat Intifada kembali berkobar di Palestina.

Pada hari-hari menjelang kerusuhan, Mosab menemani ayahnya mengunjungiMasjid Al-Aqsa dan melihat dari dekat situasi di sana. Ia bertemu sejumlah tokoh penting, salah satunya Sekretaris Jenderal Fatah Marwan Barghouti, juga membakar semangat anggota Hamas dan aktivis mahasiswa untuk berdemonstrasi di Ramallah.

Pada saat yang sama, Mosab adalah satu-satunya sumber tepercaya milik Israel terkait semua pergerakan pejuang Palestina. Shin Bet menggunakan kode “Pangeran Hijau” untuk menutupi identitasnya. “Pangeran” karena ia anak seorang “raja” di tubuh Hamas, dan “Hijau” untuk menggambarkan warna bendera Hamas.

Ketika Intifada terus membara, Mosab makin sering berada di samping ayahnya yang mewakili Hamas sebagai organisasi terbesar dan terpenting, mengikuti pertemuan dengan tokoh-tokoh papan atas Palestina, termasuk Presiden Otoritas Nasional Palestina yang juga Ketua Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat.

Di luar pertemuan itu, tiap minggu ia mendampingi sang ayah dalam rapat kecil bersama Arafat dan Barghouti. Pertemuan-pertemuan tersebut adalah mesin untuk memastikan Intifada terus berjalan.

Mosab tidak selalu masuk ke ruang pertemuan, tapi ia memiliki akses penuh terhadap Syeikh Hassan Yousef ayahnya, juga buku catatannya. Dengan begitu, ia bisa terus menyuplai informasi pada Shin Bet tentang siapa, kapan, dan di mana operasi militer akan dilancarkan, juga bagaimana pola dan arah serangan dilakukan.

Pada tahun-tahun tersebut, hidup Mosab adalah ironi. Ayahnya menjadi tokoh Palestina yang paling populer di antara negara-negara Arab dan dikenal sebagai tokoh penting di balik Intifada kedua, sementara dirinya diam-diam menikmati kedekatan yang ganjil dengan Israel, musuh abadi rakyat Palestina.

Peran Mosab sebagai mata-mata semakin krusial pasca bom bunuh diri yang dilakukan oleh Daya al-Tawil. Mosab mengenal Daya sebagai pria dari keluarga yang sama sekali bukan muslim radikal: ayahnya komunis, kakak perempuannya berkewarganegaraan Amerika dan tidak berjilbab, ia sendiri tidak memiliki simpati terhadap Hamas.

Bom bunuh diri itu adalah yang pertama sejak Intifada kedua meletus. Ketika kabar kematian Daya tersiar, orang tuanya tidak habis pikir, demikian pula agen-agen intelijen Israel, bahkan salah satu pamannya yang merupakan petinggi Hamas. Bagi Mosab, serangan itu menunjukkan adanya sel militer yang beroperasi secara independen.

Meninggalkan Palestina, Pindah Agama

Di tengah kecamuk Intifada yang terus memanas, Loai juga pernah menugaskan Mosab untuk mengintai sebuah apartemen di pusat kota Ramallah tempat tinggal Maher Odeh, salah satu pimpinan Hamas. Tugasnya tidak mudah: mencari identitas tamu yang beberapa kali menemui Maher Odeh.

Malam hari, Mosab meluncur ke titik operasi. Tak berapa lama, sejumlah orang keluar dari apartemen Maher Odeh sambil menenteng AK-47 dan M16. Di area parkir, ia melihat mobil Chevrolet hijau dan BMW silver. Selang satu hari Mosab mendapat kabar bahwa orang-orang itu adalah Angkatan 17, pasukan elite yang menjadi perisai hidup Yasser Arafat.

Bagi Shin Bet, informasi yang dikumpulkan Mosab ibarat kepingan puzzle yang hilang. BMW silver itu adalah mobil yang beberapa bulan terakhir digunakan Brigade Martir Al-Aqsa untuk menyerang warga sipil Israel. Temuan tersebut mengonfirmasi bahwa Brigade Martir Al-Aqsa tidak lain Angkatan 17.

Infografik Mozaik Mosab Hasan Yousef

Infografik Mozaik Mosab Hasan Yousef. tirto.id/Fuad

Di mata Israel, informasi itu adalah bukti Yasser Arafat bertanggung jawab atas serangkaian teror terhadap warga Israel. Muncul kecurigaan dana operasional serangan tersebut bersumber dari donasi internasional.

Temuan Mosab selanjutnya digunakan oleh Pemerintah Israel untuk menyudutkan Arafat dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Setelah terlibat dan berperan penting dalam berbagai operasi, Mosab memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dan berencana tinggal di Amerika Serikat. Ketika berpamitan pada Loai, ia beralasan bahwa bagaimanapun perang tidak bisa dimenangkan dengan penangkapan, interogasi, dan pembunuhan.

“Musuh kita adalah gagasan, dan gagasan tidak peduli dengan serangan dan jam malam. Kita tidak bisa meledakkan gagasan dengan Merkava. Kau bukan masalah kami, dan kami bukan masalahmu. Kita seperti tikus yang terjebak di dalam labirin. Aku tidak bisa melakukannya lagi. Waktuku sudah habis," ujarnya dalam Son of Hamas (2009:101).

Pada 2008, setahun lebih setelah meninggalkan Palestina dan menetap di AS, Mosab membuat pengakuan bahwa dirinya telah berpindah agama. Ketika kabar tersebut sampai di telinga Syeikh Hassan Yousef, yang kala itu kembali mendekam di penjara, ia tak henti menangis, demikian pula ibu Mosab dan adik-adiknya di rumah.

Sewaktu ada kesempatan untuk berbincang melalui telepon dengan sang anak, Syeikh Hassan Yousef berkata bahwa apa pun yang terjadi, Mosab tetap anaknya dan bagian dari hidupnya. Ia mungkin punya pilihan yang berbeda, tapi tetap buah hatinya.

Mosab kagum dengan ketegaran ayahnya. Merasa saat itu adalah momen yang tepat, ia mengungkapkan rahasia besar yang selama sepuluh tahun ia sembunyikan dari siapa pun, lebih-lebih dari ayahnya: bahwa sepanjang Intifada kedua berkobar, ia adalah agen intelijen Israel.

Semua yang ia dengar dari tokoh-tokoh Palestina, tak terkecuali Yasser Arafat dan ayahnya sendiri, baik pada waktu senggang maupun di dalam ruang rapat, ia sampaikan kepada Shin Bet.

"Aku menyayangimu. Selamanya kau adalah ayahku," ujarnya mengakhiri percakapan.

Hening. Syeikh Hassan Yousef tak mampu berkata-kata.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Politik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi