tirto.id - Sabtu, 30 September 2000, Jamal Al-Durrah mengajak putranya, Muhammad Al-Durrah, pergi ke pasar lelang mobil bekas di pusat kota Gaza. Karena tidak ada harga dan model yang cocok, keduanya memutuskan kembali pulang dengan naik taksi.
Hari itu adalah hari kedua dimulainya Intifada II (2000-2005) yang disulut kunjungan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, ke Temple Mount di Yerusalem Timur pada 28 September 2000 dengan pengawalan polisi Israel sebanyak 2000 personel.
Hal itu menimbulkan pergolakan di Tepi Barat dan Gaza. Rakyat Palestina dan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) menilai kunjungan tersebut sangat provokatif dan bentuk ancaman pendudukan Israel terhadap Yerusalem Timur.
Situasi yang kian memanas membuat sopir taksi tidak berani ambil risiko. Ia menghentikan laju kendaraannya di Salah al-Din Road. Jamal dan Muhammad terpaksa melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya di kamp pengungsi Bureij dengan berjalan kaki.
Saat keduanya memasuki persimpangan Netzarim, suara tembakan mulai terdengar dan menjadi tanda dimulainya pertempuran di wilayah tersebut. Mereka lalu berlindung di balik sebuah tong air beton setinggi 70 cm yang berada di trotoar jalan, tepat di tengah antara pos militer IDF dengan pos pasukan penjagaan pejuang Palestina.
Selama kurang lebih 45 menit, keduanya tertahan dan tidak dapat mencari tempat berlindung yang lebih aman. Sekuat tenaga, Jamal berusaha menjadi tameng untuk anaknya yang semakin ketakutan.
"Saya mengangkat dan melambaikan tangan meminta mereka (IDF) berhenti [menembak]. [...] Saya bisa melihat para tentara di menara tetapi mereka tidak berhenti menembak," ujar Jamal sebagaimana ditulis Harriet Sherwood dalam The Guardian.
Dalam sebuah video Middle East Eye, tidak lama kemudian ledakan terjadi di dekat keduanya diiringi kepulan asap hingga menyebabkan Muhammad tewas, terbaring di pangkuan ayahnya yang terkulai lemas bersandar di dinding.
"Ketika dia (Muhammad) jatuh di pangkuan, saya menyadari bahwa dia sudah meninggal. Detik-detik terasa seperti berjam-jam, berhari-hari," kenang Jamal dikutip kembali dari Harriet Sherwood dalam The Guardian.
Setelah itu, ketegangan belum mereda. Beberapa ambulans sulit masuk ke persimpangan Netzarim. Akhirnya ada satu ambulans yang berhasil mengevakuasi ayah dan anak tersebut. Namun, saat pintu ambulan dibuka, sopirnya tewas ditembak tentara Israel. Perjalanan menuju rumah sakit Ash-Shifa digantikan petugas medis lainnya.
Dilaporkan The Telegraph, sore harinya Muhammad dimakamkan di belakang kamp Buirej. Ayahnya yang selamat menderita beberapa luka tembak di sisi kanan tubuhnya.
"Sehari kemudian saya dirujuk ke rumah sakit di Yordania untuk perawatan [lebih lanjut]," ujar Jamal kepada Nour Abu Eisha dalam Anadolu Agency.
Kesaksian Talal Abu Rahma
Momen penembakan Muhammad Al-Durrah terekam dalam lensa kamera Talal Abu Rahma--fotografer asal Palestina yang bekerja untuk stasiun televisi nasional Prancis, France 2--yang saat itu berada tepat di seberang Jamal dan Muhammad.
"Sebelum ledakan, anak itu masih hidup tetapi terluka. Saya pikir luka pertama adalah di kakinya. Tetapi setelah asap [dari ledakan] bergerak, dia berbaring di pangkuan ayahnya yang bersandar di dinding, tidak bergerak. Anak itu mengeluarkan darah dari perutnya," ungkapnya kepada Aljazeera.
Dalam Palestine Center for Human Rights, ia menyebut dirinya merekam peristiwa tragis itu selama 27 menit. Menurutnya, kematian Muhammad Al-Durrah disebabkan tembakan dari pos IDF. Alasannya, lokasi tentara IDF sangat memungkinkan untuk menembak anak tersebut.
"Pos-pos Palestina tidak menjadi sumber penembakan, karena penembakan dari pos-pos tersebut telah berhenti setelah lima menit pertama, anak dan ayahnya tidak terluka saat itu," ujarnya.
Mengutip kembali Aljazeera, beberapa waktu kemudian, setelah Jamal dan Muhammad dibawa ambulans, ia meninggalkan persimpangan Netzarim untuk menyerahkan hasil rekaman videonya kepada Charles Enderlin, kepala biro France 2 di Yerusalem yang memiliki kewarganegaraan ganda Israel-Prancis.
Selanjutnya, rekaman video 27 menit itu disiarkan pada hari yang sama oleh France 2 pada pukul 8 malam selama 55 detik dan disaksikan oleh jutaan pasang mata di dunia. Sejak tu, Jamal dan Muhammad menjadi simbol Intifada II, korban kebrutalan Israel terhadap warga sipil Palestina.
Dalam Blood Libel: the Ritual Murder Accusation at the Limit of Jewish History (2012) Enderlin menyebut bahwa pemotongan rekaman video dilakukan didasari kode etik France 2 dan demi kesopanan.
Penyelidikan Israel
Diberitakan BBC News, beberapa hari berikutnya, Israel melalui IDF merespons tayangan tersebut dengan permohonan maaf atas peristiwa yang menimpa Jamal dan Muhammad. Giora Eiland, kepala operasi militer Israel, mengatakan bahwa tembakan tersebut tampaknya berasal dari pos tentara Israel di Netzarim.
Sikap itu tidak diterima sepenuhnya oleh IDF. Pekan berikutnya, atas perintah Mayor Jenderal Yom Tov Samia--Komandan IDF di wilayah selatan--militer Israel melakukan penyelidikan langsung di lokasi penembakan.
Hasilnya, mereka menyebut posisi pos militer Israel di persimpangan Netzarim sangat tidak memungkinkan untuk melakukan tembakan secara langsung kepada Jamal dan Muhammad.
Banyak pihak meragukan hasil penyelidikan IDF.
"Tentara Israel telah melibas lokasi pembunuhan, menghancurkan bukti fisik termasuk tong beton dan dinding yang dipenuhi peluru yang terlihat di latar belakang rekaman France 2," tulis Ed O'Loughlin dalam The Age.
Mengutip The Jerusalem Post, meski demikianpenyelidikan itu setidaknya memengaruhi Giora Eiland. Pada 2005, ia mencabut pernyataannya.
Dua tahun berselang, atas persetujuan kantor Perdana Menteri, kantor Pers Pemerintah Israel secara resmi menyebut bahwa IDF tidak bertanggung jawab atas kematian Muhammad Al-Durrah.
Kolonel Shlomi Am-Shalom--wakil komandan kantor juru bicara IDF--mengklaim telah menulis surat yang ditujukan kepada France 2 melalui Duta Besar Prancis untuk Israel, meminta rekaman video lengkap berdurasi 27 menit untuk pembuktian lebih lanjut.
Klaim tersebut sangat diragukan. Sebab, France 2 dan Charles Enderlin menyatakan tidak pernah menerima surat dari Duta Besar Prancis untuk Israel.
"[Jika surat permintaan itu benar ada] kami telah mengatakan berkali-kali bahwa kami siap untuk melakukan investigasi independen yang mengikuti standar internasional," tegas Enderlin dikutip kembali dari Harriet Sherwood dalam The Guardian.
Selain itu, di saat yang bersamaan, Kepala Direktur Kantor Pers Pemerintah Israel, Danny Seaman, "menggambarkan peristiwa [tersebut] sebagai 'sandiwara'," tulis Martin Patience dalam BBC News.
Seorang dokter yang dilibatkan dalam penyelidikan, Dr. Yehuda David, mengklaim bahwa luka tembak di tubuh Jamal adalah luka yang pernah ditanganinya pada tahun 1994. Menanggapi itu, Jamal menggugatnya ke pengadilan. Hasilnya, Dr. Yehuda David dinyatakan telah melakukan pencemaran nama baik.
Namun, pada 2012, atas bantuan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, vonis tersebut dibatalkan. Tak berhenti, Jamal mengajukan banding dengan diiringi pernyataan Dr. Rafi Walden--wakil direktur rumah sakit Tel Hashomer--yang menyebut bahwa luka di tubuh Jamal sangat berbeda dengan luka yang dideritanya pada tahun 1994.
Namun, pernyataan tersebut tidak mendapat tanggapan lebih lanjut. Sehingga, klaim Dr. Yehuda David tetap "dibiarkan berdiri tak tertandingi," tulis Larry Dafner dalam majalah +972.
Diberitakan The Jerusalem Post, pada 2012, Israel kembali melakukan penyelidikan dengan membentuk Komite Khusus Investigasi Rahasia yang dipimpin Direktur Jenderal Kementerian Strategis, Yossi Kuperwasser, atas perintah Menteri Pertahanan, Moshe Ya’alon.
Hasil penyelidikan kemudian dilaporkan pada 2013. Mereka menyebut Muhammad Al-Durah tidak terluka sama sekali dan masih hidup. Selain itu, menurut mereka, rekaman video yang disiarkan France 2 penuh kebohongan. Sebab, klaim mereka, di detik akhir video, anak laki-laki itu terlihat masih dapat menggerakkan tangan.
Menanggapi laporan tersebut, Jamal menanatang Israel untuk melakukan investigasi internasional. Ia bersedia menggali kembali makam anaknya "untuk pemeriksaan patologis, termasuk, jika perlu, tes DNA untuk membantu memperjelas keadaan kejadian tersebut," tulis Alistair Dawber dalam Indepent.
Di Meja Pengadilan
Sebelum Israel mencabut pernyataan dan meragukan rekaman video yang disiarkan France 2, pada 2004 Philippe Karsenty--pendiri lembaga pengawas dan pemeringkatan media Prancis bernama Media Ratings--telah lebih dulu mempermasalahkannya.
Mengutip The Jerusalem Post edisi 24 Mei 2008, selain menyebut suntingan video penuh rekayasa, ia menyeru kepada France 2 untuk memecat Enderlin. Sebagai tanggapan, pihak France 2 dan Enderlin menggugatnya ke pengadilan di Paris, Prancis.
Pada 2006, setelah melalui proses panjang, Karsenty divonis telah melakukan pencemaran nama baik dan diwajibkan untuk membayar denda sebesar 5.380 dolar AS.
Dua tahun berikutnya, Karsenty mengajukan banding dan berhasil membatalkan vonis pengadilan sebelumnya. Ia dimenangkan setelah Enderlin hanya dapat menampilkan rekaman video dengan durasi 18 menit dari 27 menit yang dimintanya.
Mengutip laman Acrimed, putusan tersebut menyulut protes dari Persatuan Jurnalis Nasional di Prancis (Syndicat des Journalists) dan memberi dukungan kepada France 2 serta Enderlin dalam mengajukan kasasi pada tahun 2012.
Setelah proses kasasi berakhir pada 2013, Karsenty kembali divonis melakukan pencemaran nama baik dan didenda sebesar 7.000 euro.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi