Menuju konten utama
Mozaik

Ahed Tamimi, Remaja Putri Palestina yang Menampar Serdadu Israel

Ahed Tamimi, nama gadis itu, menjadi buah bibir di berbagai media. Ia dianggap sebagai simbol baru perlawanan Palestina atas pendudukan Zionis Israel.

Ahed Tamimi, Remaja Putri Palestina yang Menampar Serdadu Israel
Header Mozaik Ahed Tamimi. tirto.id/Tino

tirto.id - Menggunakan ketapel sekadarnya, sekelompok pemuda Palestina melemparkan kembali gas air mata yang ditembakkan tentara Israel dari jarak sekitar 300 meter.

Aksi yang terjadi pada 28 Agustus 2015 itu merupakan protes rutin yang diadakan usai salat Jumat oleh warga Nabi Saleh, sebuah desa kecil di Tepi Barat. Selain para pemuda, terdapat juga perempuan dan beberapa anak remaja.

Mereka memprotes pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat yang dianggap ilegal menurut hukum internasional. Sejak 2009, permukiman Yahudi Halamish menyasar desa mereka untuk dianeksasi yang akhirnya melahirkan protes mingguan.

Lain itu, mata air yang jadi andalan penduduk untuk pertanian juga dikendalikan penuh oleh pemukim Yahudi. Mereka melarang warga Nabi Saleh untuk mengakses dan memanfaatkannya.

Aksi yang dilakukan penduduk Nabi Salih dikomandoi oleh keluarga besar Tamimi dan kerap berujung pada tindak kekerasan. Mereka merespons gas air mata, peluru karet, meriam air, dan amunisi yang dilontarkan tentara Zionis dengan batu-batu dan ketapel.

Unjuk rasa juga sering melibatkan para aktivis maupun wartawan dari mancanegara.

Tentara Israel melakukan pengejaran dan menangkap anak-anak, salah satunya Mohammed Tamimi. Ia bersikeras tidak ingin dibawa sambil menahan diri pada sebuah batu besar.

Beberapa perempuan berusaha membantu melepaskan anak tersebut dari cengkeraman tentara Israel. Mereka menjambak, memukul, dan mendorong sekuat tenaga agar anak itu bisa lepas.

Lalu muncul seorang gadis remaja berusia 14 tahun. Ia sempat didorong oleh tentara itu saat hendak menarik Mohammed. Sementara beberapa jurnalis mengabadikan momen tersebut, gadis itu kemudian menggigit tangan tentara Israel yang mulai kewalahan.

Ahed Tamimi, nama gadis itu, lantas menjadi buah bibir di berbagai media. Ia dianggap sebagai simbol baru perlawanan Palestina atas pendudukan Zionis Israel.

Carlos Stuff, seorang kartunis asal Brasil pernah membuat karikatur tentang insiden ini.

Lahir dari Keluarga Besar Aktivis

Nabi Saleh, sebuah desa Palestina di Tepi Barat, telah lama berada di garis depan dalam menentang perambahan pemukiman ilegal Israel.

Ahed Tamimi berasal dari keluarga yang dikenal aktif dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel dan memiliki kisah panjang dalam aktivisme politik perlawanan. Lahir pada 31 Januari 2001 di Nabi Saleh, desa berpenduduk sekitar 500 jiwa itu didominasi nama keluarga Tamimi.

Ayahnya, Bassem Tamimi, aktivis berpengalaman dan terlibat dalam berbagai protes sejak Intifada Pertama. Pada 2011, ia dipenjara dengan tuduhan mengorganisasi kelompok remaja untuk melemparkan batu pada tentara Israel.

Setahun kemudian, ia kembali ditangkap karena memimpin unjuk rasa melawan rasisme di sebuah supermarket Ramy Levy di Tepi Barat yang hanya menjual produk dan barang-barang Israel. Mereka juga sering memisahkan pengantongan bahan makanan untuk orang Arab dari kasir Yahudi.

Sementara ibunya, Nariman Tamimi, juga memiliki peran penting dalam perjuangan hak-hak Palestina dan telah ditangkap beberapa kali oleh otoritas Israel.

Ahed bukan satu-satunya anggota keluarga yang terlibat dalam aktivisme. Saudaranya, Waed Tamimi, juga pernah ditahan oleh Israel.

Latar belakang keluarga ini membangun karakter Ahed akan komitmen perlawanan terhadap pendudukan, serta perjuangan untuk hak-hak rakyat Palestina.

Mereka kerap dipisahkan satu sama lain karena seringnya penangkapan yang dilakukan oleh Israel. Bersama belasan rumah lainnya, rumah mereka juga sering diancam akan dibuldoser untuk dibangun permukiman Yahudi.

Sejak kecil, Ahed ingin menjadi pemain sepak bola dan hidup seperti anak-anak di belahan bumi lainnya secara normal.

"Saya ingin menjadi pemain reguler berusia 17 tahun," ungkapnya dalam korespondensi dengan Vogue.

Namun, masa kecilnya ternyata justru sering terlibat dalam kegiatan protes terhadap pendudukan Israel. Dia sering berdiri di garis depan menantang tentara Israel yang bersenjata lengkap dengan tangan kosong. Pada usia 11 tahun, ia mengacungkan tinjunya ke arah serdadu pendudukan.

Bertentangan dengan persepsi publik, Ahed adalah sosok pemalu dan protektif terhadap saudara-saudaranya, namun memiliki rasa percaya diri dan tekad yang kuat.

Keluarganya kerap mengkhawatirkan masa depannya, termasuk pendidikan dan keselamatannya, mengingat risiko belajar di Palestina di tengah konflik yang sedang berlangsung.

Karena itulah keluarganya melakukan berbagai pelatihan dan lokakarya kepada remaja di Nabi Saleh. Mereka membagikan pengetahuan tentang hukum dan hak-hak sipil jika tentara Israel menangkap mereka.

"Lokakarya ini mirip dengan 'pembicaraan' yang terpaksa dilakukan oleh orang tua kulit hitam di Amerika Serikat dengan anak-anak mereka mengenai bagaimana berinteraksi dengan penegak hukum bermuatan rasial yang secara sistematis, sengaja, dan keras yang menargetkan mereka," ujar bibi Ahed, Manal Tamimi, dalam kolomnya di Truthout.

Lokakarya juga mendorong para orang tua melatih anak-anak menggunakan kamera ponsel untuk mendokumentasikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel.

Menampar Tentara Israel

Warsa 2017, Ahed semakin terkenal setelah sebuah video menunjukkan dia menampar tentara Israel yang hendak masuk ke rumahnya.

Peristiwa ini bermula saat sejumlah serdadu Israel bersiaga di dekat rumah keluarga Tamimi. Dalam video yang beredar, terlihat Ahed dan keluarganya berusaha mengusir dua tentara dari halaman rumah mereka.

Dalam momen ketegangan, gadis berambut keriting itu tampak mendekati dua tentara dan mencoba mengusir mereka. Ia lalu memukul, mendorong, dan menampar seorang prajurit Israel yang bersenjata.

Sebelum insiden ini, keluarga Tamimi dan warga Desa Nabi Salih telah mengalami penangkapan dan intimidasi oleh Israel, termasuk penembakan peluru karet terhadap sepupu Ahed.

Konfrontasi kian memanas usai pengakuan Presiden Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada awal bulan Desember yang memicu protes luas dari warga Palestina.

Tiga hari setelah insiden pemukulan, ia ditangkap menjelang subuh, disusul penangkapan ibunya karena dituduh menghasut dengan memviralkan video penamparan. Wajah Ahed lantas menjadi hiasan mural dan poster di berbagai belahan dunia setelah penangkapannya.

Insiden ini juga memantik perhatian pada masalah penangkapan anak-anak Palestina. Menurut laporan organisasi lokal, Defense for Children International-Palestine, 500 sampai 700 anak-anak Palestina, beberapa di antaranya berusia 12 tahun, ditahan setiap tahun dan diadili dalam sistem pengadilan militer Israel dengan tuduhan yang paling umum adalah melempar batu.

Tentara dan interogator menjadikan anak-anak yang ditahan sebagai sasaran pelecehan fisik, pelecehan verbal, dan ancaman, yang berujung pada pengakuan. Mereka dijatuhi hukuman penjara, dilarang bertemu keluarga selama tiga bulan pertama, dan menghadapi penganiayaan sebelum hukuman mereka diputuskan.

Ahed diadili di pengadilan militer Israel dan dijatuhi hukuman delapan bulan penjara. Dia didakwa melakukan beberapa pelanggaran, termasuk penyerangan dan penghasutan.

Setelah gelombang protes dari berbagai pihak, Ahed akhirnya dibebaskan pada 29 Juli 2018 setelah menjalani hukuman selama lima bulan. Saat di bui, dia berhasil meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

Infografik Mozaik Ahed Tamimi

Infografik Mozaik Ahed Tamimi. tirto.id/Tino

"Saya takut saya akan melewatkan tahun ajaran, jadi saya berhasil bersama sekelompok tahanan untuk belajar… Kami menantang pendudukan yang mencoba melarang kami belajar," ujar gadis yang bercita-cita menjadi pengacara ini seperti dikutip KUNA (Kantor Berita Kuwait).

Pada hari pembebasan, Israel menundanya dengan alasan bukan hari kerja. Keluarga mereka kemudian diberitahu bahwa ia akan dibebaskan di pos pemeriksaan militer di Tepi Barat bagian utara, namun militer mengirim mereka ke pos pemeriksaan lain.

Ketika Ahed akhirnya tiba di rumah, kerumunan orang merayakan kemenangan. Ia mengungkapkan kebahagiaannya setelah dibebaskan dari penjara, itu tidak lengkap karena saudara-saudaranya masih dipenjara.

Operasi Badai Al-Aqsa

Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan sejumlah faksi perlawanan Palestina pada 7 Oktober 2023 kembali membawa Ahed Tamimi ke bilik jeruji. Ia ditangkap tentara Israel di rumahnya di Tepi Barat dengan tuduhan menghasut kekerasan dan terorisme lewat unggahan di media sosial.

Penangkapan Ahed didasarkan pada unggahan di Instagram yang menurut keluarganya tidak dia tulis. Ibunya menyatakan ada beberapa akun atas namanya yang tidak ada hubungannya dengan Ahed.

Sejak itu, peningkatan kekerasan yang serius terjadi di Tepi Barat, 141 warga Palestina dibunuh. Serdadu Israel juga melakukan penangkapan besar-besaran terhadap warga Palestina yang terkait dengan Hamas atau dituduh menghasut kekerasan.

Setelah ditahan beberapa pekan, Ahed akhirnya dibebaskan bersama 29 tahanan Palestina lainnya sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dengan Hamas.

Sementara ayahnya, Bassem Tamimi, ditangkap seminggu sebelum Ahed dibebaskan. Maka itu Israel melarang Ahed untuk bersuara saat dibebaskan dengan ancaman pembunuhan sang ayah. Namun gadis ini memang pemberani. Kepada media ia mengungkapkan kondisi di dalam penjara yang dipenuhi kekerasan dan tak manusiawi.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi