Menuju konten utama
Mozaik

George Habash, Sang Bijak dalam Gerakan Pembebasan Palestina

George Habash sosok penting di balik pendirian PFLP. Dia percaya perjuangan bersenjata adalah satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan Palestina.

George Habash, Sang Bijak dalam Gerakan Pembebasan Palestina
Header Mozaik George Habash. tirto.id/Tino

tirto.id - Pesawat El Al nomor penerbangan 426 dibajak oleh tiga anggota Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berhaluan komunis pada 23 Juli 1968. Pembajakan terjadi saat pesawat sedang dalam perjalanan dari Roma menuju Tel Aviv.

Setelah mengalihkan pesawat, para pembajak membawa 32 penumpang dan 10 awak pesawat sebagai sandera ke Aljazair. Meskipun sebagian besar penumpang relatif cepat dibebaskan, para pembajak tetap memegang kendali atas pesawat dan para sandera yang tersisa.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 21 Desember 1975, markas OPEC di Wina dikuasai beberapa kelompok bersenjata yang menyandera para pejabat yang tengah bersidang.

Salah seorang pelakunya adalah anggota PFLP, Ilich Ramirez, warga Venezuela yang bergabung pada 1970.

Ia kemudian dikenal dengan julukan Carlos the Jackal dan dikabarkan terlibat dalam pembunuhan dua atlet Israel saat Olimpiade Munich 1972. Dia ditangkap pada tahun 1994 di Sudan dan telah dipenjara sejak saat itu.

PFLP adalah salah satu organisasi sayap kiri paling berpengaruh dalam gerakan pembebasan Palestina. Aksi-aksi yang dilancarkan PFLP menandai perubahan arah metode dan taktik para pejuang pembebasan Palestina pada dekade 1960 dan 1970-an dalam mencari perhatian dunia, untuk menggalang solidaritas melawan pendudukan yang dilakukan Israel.

George Habash merupakan sosok penting di balik pendirian PFLP. Dia percaya perjuangan bersenjata sebagai satu-satunya cara untuk mencapai kebebasan Palestina.

Habash juga dikenal karena konfrontasinya dengan Yasser Arafat yang mengakui keberadaan negara Israel.

Mula Gerakan

George Habash lahir di Lydda, Palestina, pada 2 Agustus 1926. Ia berasal dari keluarga Kristen Ortodoks Yunani yang terpandang. Ayahnya, Nicholas Habash, seorang pengusaha yang sukses.

Habash menempuh pendidikan dasar di Lydda dan melanjutkan ke institusi pendidikan ortodoks di Jaffa. Pada 1944, ia mendaftar sebagai mahasiswa jurusan kedokteran di Universitas Amerika di Beirut (AUB), Lebanon.

Warsa 1948, saat perang Arab-Israel, Habash dan keluarganya terpaksa mengungsi dari Lydda setelah kota itu diduduki pasukan Israel. Ia menggambarkan keresahan yang luar biasa, seperti di kota-kota lain dan desa-desa yang belum jatuh ke tangan orang-orang Yahudi, khususnya teror yang dilakukan geng-geng Zionis seperti Haganah, Irgun, dan Stern.

Serangan udara Israel membuat penduduk makin ketakutan, sementara kotanya dipenuhi dengan pengungsi dari daerah sekitarnya. Pengalaman ini meninggalkan bekas mendalam pada Habash dan memperkuat komitmennya untuk membebaskan Palestina.

Di AUB, Habash mulai aktif dalam gerakan nasionalisme Palestina. Ia bergabung dengan Liga Mahasiswa Arab dan membentuk Arab National Movement (ANM) yang berhaluan kiri pada 1951 bersama mahasiswa lainnya, seperti Wadie Haddad, Ahmad Khatib, dan Hani al-Hindi.

ANM fokus dalam menentang imperialisme Barat dan Zionisme di Timur Tengah.

Ia dan rekan-rekannya mengorganisasi gerakan dan menerbitkan buletin bulanan, serta konferensi yang memantik lahirnya Gerakan Nasionalis Arab (Haraka al-Qawmia al-'Arabia).

Habash juga menerbitkan surat kabar Al-Ray di Yordania, tetapi ditutup oleh Glob Pasha, komandan tentara Yordania pada saat itu.

Setelah lulus kuliah, ia kembali ke Lydda dan membuka klinik bersama Wadi Haddad yang kemudian menjadi rekan seperjuangannya di PFLP.

Pada 1952, Habash mendirikan cabang ANM di Yordania, yang kemudian menjadi Partai Nasionalis Sosialis Arab. Partai ini berpartisipasi dalam pemberontakan melawan monarki Yordania pada 1957, tetapi gagal menggulingkan Raja Hussein.

Habash dicari selama beberapa bulan dengan tuduhan terlibat dalam beberapa pemboman di Amman. Setelah mendapatkan peluang, ia melarikan diri ke Suriah dan mendapatkan situasi yang nyaman mengingat Presiden Mesir yang baru naik saat itu, Gamal Abdul Nasser, terus menggelorakan gerakan nasionalisme Arab.

Terlebih ketika salah satu rekannya, Hani al-Hindi, diangkat jadi menterinya Nasser, ia kian leluasa bergerak.

Warsa 1961, ia menikah dengan Hilda, sepupunya, di Damaskus dan dikarunia dua orang anak.

Setelah Republik Arab Bersatu yang menyatukan Suriah dan Mesir bubar, rezim Ba'ath kemudian mengambil alih kekuasaan di Suriah melalui kudeta pada tahun 1963. Mereka menindas pergerakan Habash karena dituduh mencoba melakukan kudeta.

Dia harus bersembunyi dan diam-diam pindah ke Beirut pada tahun 1964 untuk melanjutkan gerakan politik bawah tanahnya.

Pendirian PFLP

Usai kekalahan Arab dalam Perang Enam Hari tahun 1967 melawan Israel, Habash memutuskan membentuk organisasi baru dan melebur Gerakan Nasionalis Arab menjadi sebuah gerakan yang lebih radikal dan militan, yakni PFLP pada 11 Desember 1967.

Perang itu berakhir dengan Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, dan Semenanjung Sinai. Hal ini memperburuk kondisi Palestina yang sudah sulit.

George Habash dan sejumlah aktivis politik Palestina lainnya merasa bahwa pendekatan diplomasi tidak mampu mengatasi permasalahan Palestina. Mereka percaya perjuangan bersenjata adalah satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan Palestina.

Momen ini juga menjadi titik balik ideologi politik Habash.

Ia menyerap haluan Marxis-Leninis pada organisasi barunya itu dengan tujuan untuk menghancurkan negara Israel dan mendirikan negara Palestina sekuler yang demokratis di seluruh wilayah bekas Mandat Palestina.

Di luar ANM, masa itu beberapa kelompok kiri baru muncul di kawasan Arab lainnya, seperti Partai Ba'ath Arab di Damaskus. Habash tidak melihat kontradiksi antara Marxisme dan nasionalisme Arabnya.

Selama kepemimpinan Habash, PFLP terkenal dengan aksinya yang spektakuler dan kontroversial, seperti pembajakan pesawat, pembunuhan diplomat, dan serangan-serangan mematikan terhadap aset Israel dan Barat. PFLP juga merupakan salah satu organisasi yang terlibat dalam Perang Yom Kippur tahun 1973.

Habash tidak terlibat langsung dalam operasi-operasi tersebut, tetapi ia bertanggung jawab sebagai pemimpin politik dan ideologis PFLP.

Jauh sebelum Hamas berdiri, PFLP sudah dikenal sebagai organisasi yang paling radikal dalam gerakan pembebasan Palestina.

Habash percaya bahwa kemenangan atas Israel hanya akan terjadi dengan berdirinya rezim revolusioner di negara-negara Arab. Habash juga mengkritik Amerika Serikat karena dianggap terlalu mendukung Israel.

Ia menyebut Amerika Serikat sebagai musuh utama perjuangan Palestina.

Hubungan dengan Yasser Arafat dan Fatah

Pada awalnya, George Habash dan Yasser Arafat bekerja sama dalam gerakan pembebasan Palestina. Pada 1964, mereka bersama-sama mendirikan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), PFLP bergabung menjadi salah satu faksi terbesar selain Fatah.

PLO didukung Gamal Abdul Nasser dan menganggapnya sebagai pemerintahan Palestina di pengasingan. Organisasi ini pada awalnya bergerilya. Yasser Arafat bahkan mengangkat senjata saat ikut mempertahankan kamp pengungsian ketika pasukan Yordania membombardir para pejuang Palestina dalam peristiwa Black September 1970. Serangan itu merupakan respons terhadap aksi-aksi penculikan pesawat oleh PFLP.

Namun, perbedaan pendekatan dan ideologi antara Habash dan Arafat mulai muncul. Habash menganut paham nasionalis Arab dan sosialis, sementara Arafat lebih condong ke arah pragmatisme politik. Habash juga menentang perjanjian damai dengan Israel yang dia anggap sebagai pengkhianatan terhadap tujuan pembebasan Palestina.

Pada 1967, Habash dan kelompoknya, PFLP, memutuskan keluar dari komite eksekutif PLO yang saat itu dikuasai oleh Fatah pimpinan Arafat sebagai protes terhadap rencana "sepuluh poin" yang didukung Dewan Nasional Palestina yang kesepuluh.

Salah satu alasan penolakan adalah peta wilayah yang hanya merujuk Palestina pada Tepi Barat dan Jalur Gaza, sementara PFLP ingin Palestina yang utuh sebelum Mandat Inggris 1947.

Setelah itu, kedua organisasi ini sering kali bersaing dalam upaya mereka untuk memimpin perjuangan Palestina.

Di luar itu, Habash mulai sering mendapatkan teror dan upaya pembunuhan. Pada 10 Agustus 1973, Israel melalui badan intelijennya, Mossad, mencegah sebuah pesawat yang lepas landas dari Beirut ke Baghdad. Mereka mengira Habash termasuk di antara penumpang. Dia selamat dari berbagai upaya pembunuhan yang dilakukan Israel.

Setahun sebelumnya, PFLP mengumumkan penghentian taktik pembajakan pesawat dalam gerakannya. Perpecahan politik dan perang saudara di Lebanon termasuk yang memengaruhi aktivitas PFLP.

"Perjuangan bersenjata adalah persamaan antara kami dan Fatah sampai Yasser Arafat menyerah dan menandatangani perjanjian Oslo," ujar Habash dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Studi Palestina pada 1998.

Menurutnya, kesalahan besar Fatah yang sangat fatal adalah melepaskan perjuangan Palestina dari perjuangan nasionalis Arab. Mereka mengusulkan pembentukan negara sekuler non-sektarian di mana semua imigran Yahudi sebelum tahun 1947 akan menjadi warga negaranya.

Pada November 1988, PLO menetapkan strategi perdamaiannya dan mendeklarasikan pembentukan Negara Palestina yang merdeka. PLO menerima resolusi PBB 181, 242, dan 338 sebagai dasar untuk merundingkan penyelesaian politik dengan Israel.

Meskipun ada persaingan antara mereka, terutama dalam hal pendekatan politik dan strategi, Habash dan Arafat juga pernah bekerja sama dalam beberapa kesempatan. Misalnya, pada tahun 1974, PFLP dan Fatah bersama-sama mengusulkan resolusi di Majelis Umum PBB untuk mengakui hak-hak nasional Palestina.

Infografik Mozaik George Habash

Infografik Mozaik George Habash. tirto.id/Tino

Pada akhirnya, hubungan antara Habash dan Arafat tetap rumit dan penuh dengan perbedaan pendapat. Mereka memiliki visi yang berbeda tentang bagaimana mencapai kemerdekaan Palestina dan bagaimana berinteraksi dengan negara-negara Barat.

Habash lalu memilih Damaskus sebagai tempat tinggalnya dan sebagai markas besar PFLP sepanjang dekade 1980-an.

Pada 1992, kesehatan Habash memburuk hingga pergi ke Prancis untuk berobat. Seturut majalah Tempo edisi 8 Februari 1992, kehadiran George Habash di Paris mengguncang pemerintahan Presiden Mitterrand saat itu.

"Beberapa partai oposisi Prancis dan 700 ribu warga Yahudi di sana meminta Mitterrand, yang saat itu berada di Oman, untuk mundur," tulis Tempo.

Ia dianggap bertanggung jawab atas peristiwa pembajakan pesawat terbang Air France pada Juni 1976. Pesawat airbus yang mengangkut sejumlah turis Prancis yang baru pulang dari Israel itu dipaksa mendarat di Entebbe, Uganda, oleh tujuh penyandera dari PFLP.

Para penyandera dipimpin oleh Wadie Haddad, menuntut agar Israel membebaskan para tahanan Palestina. Drama pembajakan itu berakhir setelah 100 personel pasukan komando Israel menyerbu.

Wadie Haddad bersama pasukannya tewas termasuk 30 pasukan Uganda serta lima orang sandera.

Habash mengundurkan diri dari jabatan Sekretaris Jenderal PFLP pada tahun 2000 karena alasan kesehatan dan meninggal pada 2008 di Amman, Yordania.

Ia dimakamkan di Damaskus, Suriah, dengan upacara kenegaraan yang dihadiri oleh Presiden Bashar al-Assad dan sejumlah tokoh Palestina. Habash dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional Palestina dan simbol perlawanan rakyat.

Media Barat menjulukinya sebagai gembong teroris, sementara bagi bangsa Arab dan rakyat Palestina ia dijuluki Al-Hakim, orang yang bijaksana.

Baca juga artikel terkait PLO atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi