tirto.id - Pertengahan Oktober lalu, pesepakbola keturunan Maroko-Belanda, Anwar El Ghazi menolak meminta maaf atas dukungannya terhadap Palestina, meskipun ada tekanan dari klubnya, Mainz 05.
Klub menskorsnya tanpa batas waktu setelah ia mengunggah di Instagram yang menyatakan solidaritas pada Palestina.
El Ghazi memutuskan meninggalkan Jerman dan kembali ke kampung halamannya di Rotterdam. Sejumlah tawaran kemudian datang dari klub-klub Teluk, khususnya di Liga Qatar.
Unggahannya dianggap menghasut karena menuliskan frasa yang dianggap anti-semit, "From the river to the sea, Palestine will be free". Slogan ini dilarang dalam yuridiksi Jerman yang mengadopsi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD).
Hal serupa dialami bek Bayern Munchen, Noussair Mazraoui, pemain Maroko. Ia menghadapi pelecehan dari media Jerman, Bild, karena dukungannya terhadap Palestina.
Postingan akun Instagram Mazroui hanya membagikan unggahan berupa bendera Palestina sembari berkomentar "Ameen" dengan emot ikon tangan sedang berdoa.
Klubnya lalu memanggil dan mendiskusikan postingannya itu dengan keputusan Mazroui tetap dipertahankan Bayern Munchen karena mengaku menyesal jika unggahannya dianggap menjengkelkan dan ia dengan tegas menolak segala jenis teror.
Pada November 2018 lalu, CNN memecat kontributor Marc Lamont Hill setelah dia mengatakan "Free Palestine from the river to the sea" dalam sebuah acara memperingati Hari Solidaritas Internasional di Gedung PBB.
Pernyataan Hill ditafsirkan oleh para pendukung anti-semit sebagai seruan untuk mengakhiri negara Israel. Hill membela diri melalui akun pribadinya di X, menyatakan bahwa komentarnya adalah seruan untuk keadilan.
Asal-usul "From the River to The Sea"
Adagium "From the river to the sea" yang digunakan selama protes di berbagai belahan dunia baru-baru ini mewakili kesatuan perjuangan Palestina melawan diskriminasi dan pendudukan, mencakup seluruh ruang di mana hak-hak warga Palestina diingkari.
Ungkapan populer itu mendarah daging dalam identitas dan budaya Palestina yang mengacu pada wilayah antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan. Ini mewakili hak untuk kembali, pembebasan, dan dekolonisasi Palestina.
Terlebih, harapan untuk kembali ke tanah air kian dirasakan oleh mereka yang mengalami Tragedi Nakba, peristiwa pengusiran besar-besaran penduduk Palestina oleh Zionis tak lama usai Israel memproklamasikan diri menjadi negara pada 1948.
Dalam salah satu kolomnya, "From The River To The Sea’ Doesn’t Mean What You Think It Means", sejarawan Maha Nassar berpendapat bahwa frasa tersebut memiliki arti berbeda bagi warga Palestina, yang melihatnya sebagai seruan untuk mendirikan negara demokratis di seluruh wilayah bersejarah Palestina.
Dia menjelaskan konteks sejarahnya, mulai dari rencana pembagian PBB pada tahun 1947 yang tidak adil, pengusiran warga Palestina yang terjadi setelahnya, serta menyoroti bahwa keinginan untuk kebebasan dan persamaan hak sebagai sebuah bangsa.
"From the river to the sea" seperti impian masa depan lahirnya negara merdeka, khususnya oleh para pengungsi yang bermukim di negara-negara tetangga. Nassar menekankan perlunya memahami dan menghormati perspektif Palestina alih-alih mengabaikan atau membungkamnya.
Ungkapan ini kian diterima dalam memori orang Palestina ketika dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB pada 1974, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, menyebut masa depan Palestina yang utuh itu mencakup semua orang Yahudi yang tinggal di tanah Palestina.
“…harapan kita bersama untuk Palestina besok kita memasukkan dalam perspektif kita semua orang Yahudi sekarang tinggal di Palestina yang memilih untuk tinggal bersama kami di sana dengan damai dan tanpa diskriminasi,” ujar Arafat.
Pro Kontra Penggunaan Istilah
Zionis berusaha meraih keuntungan dari istilah tersebut. Mereka mengklaim frasa itu mengandung makna genosida yang didasarkan pada rasisme dan Islamofobia. Ada ketakutan bahwa jika Palestina merdeka, nasib mereka akan ditentukan lewat kematian.
Mereka berupaya untuk salah mengartikan serta menghancurkan retorika inklusif dan pemersatu maknanya.
Pada 11 Oktober 2023, polisi Wina melarang para demonstran pro-Palestina yang memasukkan slogan “From the river to the sea, Palestine will be free” karena kekhawatiran akan potensi kekerasan.
Polisi menafsirkan penggunaan frasa tersebut sebagai seruan untuk melakukan kekerasan dan menganggapnya tidak pantas untuk aksi protes.
Austria yang dikuasai kaum konservatif dalam beberapa tahun terakhir merupakan negara Uni Eropa yang kebijakan luar negerinya senantiasa pro-Israel.
Tak lama berselang, kantor kejaksaan dan kepolisian Berlin mengambil tindakan terhadap slogan-slogan anti-Israel pada demonstrasi kelompok Palestina, termasuk ungkapan “From the river to the sea, Palestine will be free” yang digolongkan sebagai tindak pidana karena mempertanyakan hak hidup orang Yahudi dan warga Israel. Penggunaan istilah ini dipandang sebagai kecurigaan awal adanya hasutan.
Menteri Dalam Negeri Inggris, Suella Braverman, bahkan menyebarkan surat kepada kepolisian Inggris dan Wales mengenai penggunaan slogan dan nyanyian “From the river to the sea, Palestine will be free” oleh para demonstran untuk dipidanakan.
“…dan penggunaannya dalam konteks tertentu dapat dianggap sebagai pelanggaran ketertiban umum bagian 5 yang diperburuk secara rasial,” tukasnya dalam surat bertanggal 10 Oktober 2023 di laman resmi Pemerintah Inggris.
Polisi Metropolitan London melakukan 15 penangkapan selama protes meskipun sempat ada peringatan untuk tidak menggunakan nyanyian-nyanyian dukungan kebebasan Palestina.
Selain slogan, bendera Palestina juga dianggap sebagai pelanggaran pidana di Inggris.
Sebagaimana Austria, kaum konservatif Inggris di pemerintahan menggunakan undang-undang yang baru saja disahkan pada bulan April lalu sebagai dalih, yang mencakup pembatasan protes, perluasan kekuasaan polisi, dan kriminalisasi cara hidup komunitas Gipsi, Roma, dan Wisatawan.
Undang-undang ini mendapat kecaman dan kritikan dari berbagai kalangan sipil, khususnya izin demontrasi dan kebebasan hak berekspresi.
Sementara itu, protes yang mendukung hak-hak Palestina juga dilarang di Prancis dan Jerman. Kedua negara ini beralasan akan ancaman keamanan yang telah memaksa evakuasi terhadap tempat-tempat di Paris dan Berlin sehingga mempertimbangkan untuk melarang siswa menggunakan simbol-simbol Palestina.
Sejarah dan tanggung jawab Jerman atas Holocaust turut meningkatkan ketegangan. Sekolah-sekolah di Berlin telah diperintahkan untuk melarang syal keffiyeh tradisional Palestina.
Berbalik dengan hukum negara Eropa di atas, keputusan pengadilan di Belanda pada bulan Agustus lalu menganggap nyanyian “From the river to the sea, Palestine will be free” tidak mengandung kebencian atau melanggar hukum.
Putusan itu diusung oleh lembaga independen European Legal Support (ELC) yang memberikan dukungan kepada para aktivis pro-Palestina di daratan Eropa dan Inggris.
Dalam pernyataan terbaru, ELC juga memberikan panduan cara berdemontrasi dan memberi ruang jika ada represi dari aparat pemerintah setempat.
Hari-hari ini, gelombang protes dan demontrasi di berbagai negara dalam solidaritas Palestina secara umum menyerukan gencatan senjata, diakhirinya kekerasan, pencabutan pengepungan Israel, dan bantuan kemanusiaan segera ke Jalur Gaza.
Aforisme “From the river to the sea” mungkin akan tetap ditekan, berdengung secara sembunyi-sembunyi, sebagaimana harapan akan Palestina di masa depan, “Palestine will be free”.
Rakyat Palestina hanya ingin sebuah negara tempat mereka dapat hidup sebagai warga negara yang bebas dan setara, tidak mendominasi dan tidak didominasi.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi