tirto.id - Amerika Serikat dan negara-negara Barat memboikot acara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memperingati 75 tahun Tragedi Nakba setelah Israel menyerukan boikot. Alasannya, mereka khawatir atas bias anti-Israel dalam sistem PBB. Itu terjadi pada 15 Mei 2023 lalu.
Duta Besar Israel untuk PBB mendesak negara-negara lain untuk tidak berpartisipasi dalam acara Nakba, dengan alasan bahwa hal itu menjelek-jelekkan Israel dan menghalangi peluang rekonsiliasi.
Sementara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas meminta PBB untuk menjadikan tanggal 15 Mei sebagai peringatan tahunan penderitaan Palestina dan menuntut agar Israel mengakui tanggung jawabnya atas Nakba.
Acara yang berlangsung di Aula Majelis Umum PBB tersebut berfokus pada penderitaan rakyat Palestina, dan secara garis besar mengindari penyebutan Israel.
Nakba, yang berarti "bencana" dalam bahasa Arab, mengacu pada sejarah Palestina pada peristiwa yang terjadi tahun 1948 ketika negara Israel didirikan dan lebih dari 700.000 warga Palestina mengungsi setelah diusir dari tanah air mereka.
Banyak warga Palestina yang terpaksa hidup dalam pengungsian di negeri tetangganya dan masih belum dapat kembali hingga saat ini. Salah satu peristiwa pengusiran paling kelam dalam sejarah itu ialah pembantaian di Deir Yassin, sebuah desa Palestina yang terletak di sebelah barat Yerusalem.
Pada 9 April 1948, pasukan paramiliter Zionis Irgun dan Lehi melakukan serangan brutal yang mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina, termasuk perempuan, anak-anak, dan orang tua, yang disertai sejumlah pemerkosaan dan penjarahan.
Teror Milisi Yahudi
Pembantaian Deir Yassin dikutuk oleh beberapa pihak, termasuk Hagana, organisasi paramiliter Yahudi lainnya dan tokoh-tokoh seperti Albert Einstein dan Hannah Arendt.
Latar belakang peristiwa Deir Yassin sudah berlangsung sejak awal abad ke-20. Pada 1947, PBB mengeluarkan resolusi dan memberi mandat kepada Inggris yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni Israel dan Palestina.
Namun, proposal ini ditolak oleh Palestina dan sebagian negara Arab karena tidak adil.
Pasukan Zionis mulai melakukan serangan terhadap desa-desa Palestina untuk mengusir penduduknya dan merebut tanah mereka. Setidaknya 530 desa dihancurkan.
Pagi itu, 9 April 1948, Deir Yassin yang berpenduduk sekitar 708 orang tengah beraktivitas seperti biasa. Mereka bangun pagi, memasak, dan mempersiapkan diri untuk bekerja di ladang dan peternakan.
Sebagian lainnya pergi menambang batu kapur yang sangat melimpah. Namun, hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi mereka.
Siang harinya, 120 milisi yang tidak berpengalaman secara militer dan memiliki perlengkapan yang buruk dari organisasi bawah tanah, Irgun dan Lechi, menyerbu desa mereka.
Penduduk desa yang terkejut dan ketakutan mencoba melarikan diri. Namun, milisi Yahudi menghalangi dan mulai menembaki.
"Seorang pria [menembak] peluru ke leher saudara perempuan saya, Salhiyeh, yang sedang hamil sembilan bulan," kenang Haleem Eid, salah satu warga desa yang selamat dari peristiwa itu.
Ilan Pappe dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine (2007:119) menyebut pembantaian itu adalah bagian dari strategi pembersihan etnis sistematis yang diterapkan oleh para politikus dan komandan Yahudi terkemuka untuk mengusir penduduk Arab dari wilayah yang mereka impikan untuk masa depan negara Israel.
"Penduduk desa yang tersisa kemudian dikumpulkan di satu tempat dan dibunuh dengan darah dingin, tubuh mereka dianiaya sementara sejumlah perempuan diperkosa dan kemudian dibunuh," ungkap Pappe.
Deir Yassin hancur berantakan. Rumah-rumah, masjid, dan sekolah dibakar. Penduduk desa yang selamat hanya bisa menyaksikan kehancuran. Abu Zidane, salah seorang penyintas, kehilangan istri, anak perempuan, saudara perempuan, dan anak laki-lakinya. Jenazah istrinya bahkan disembunyikan di lumpur-lumpur.
"...tanpa Deir Yassin tidak akan ada Israel"
Dalam menjalankan operasi, milisi Irgun dikomandoi oleh Ben-Zion Cohen yang pernah mengatakan bahwa jika ada lebih banyak insiden seperti Deir Yassin, tidak akan ada orang Arab yang tersisa di negara tersebut.
Sedangkan gerakan bawah tanah lainnya, Lehi, merupakan pecahan dari Irgun, didirikan oleh Avraham "Yair" Stern. Kelompok ini juga dikenal sebagai "Gang Stern" oleh pihak Inggris.
Lehi berkomitmen melawan pendudukan Inggris demi tercapai kemerdekaan orang Yahudi di Palestina. Mereka melakukan serangkaian serangan terhadap target militer dan sipil Inggris, serta melakukan pembunuhan terhadap pejabat yang mereka anggap bertanggung jawab atas kebijakan anti-Yahudi.
The Washington Post edisi 16 Agustus 1995 menyebut kelompok ini sebagai militan Zionis yang pernah membunuh Menteri Inggris untuk Timur Tengah, Lord Moyne pada 1944, dan mediator Swedia, Count Folke Bernadotte pada 1948.
Pembantaian Deir Yassin dipimpin oleh Menachem Begin yang kelak menjadi Perdana Menteri Israel periode 1977-1983.
"…bahwa tanpa Deir Yassin tidak akan ada Israel," tutur Begin dalam memoarnya seperti dikutip The Guardian.
Pembantaian itu dilakukan untuk menciptakan teror sehingga penduduk Palestina meninggalkan tanah mereka. Pasukan Zionis ingin memperluas wilayah yang mereka kuasai dan memastikan tidak ada lagi penduduk Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.
Rencana pembersihan telah dituangkan dalam Plan Dalet pada 10 Maret 1948 yang ditandatangani David Ben-Gurion, tokoh kunci dalam gerakan Zionis yang akhirnya menjadi Perdana Menteri Israel pertama.
Jumlah korban tewas dalam peristiwa itu diperkirakan mencapai 254 orang. Pembantaian Deir Yassin meninggalkan efek psikologis yang mendalam dan trauma berkepanjangan.
Peristiwa ini juga memicu depopulasi dengan terjadinya Nakba, eksodus besar-besaran warga Palestina dari tanah mereka ke negara-negara tetangga. Perubahan demografis ini menjadikan mereka menjadi minoritas di tanah airnya sendiri.
Dalam waktu 35 hari setelah pembantaian, antara 250.000 hingga 300.000 warga Arab Palestina telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka menuju Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Ketika Israel didirikan pada 14 Mei 1948, 200 desa di Palestina sudah tak berpenghuni. Puncaknya pada 1949, jumlah pengungsi mencapai 750 ribu. PBB kemudian mendirikan United Nations Relief and Works Agency (UNRWA) pada bulan Desember di tahun yang sama.
UNRWA dibentuk untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada pengungsi Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat diusir Israel pada 1948, mencakup penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, layanan sosial, dan bantuan darurat.
Di sisi lain, pembantaian melahirkan berbagai gerakan perlawanan untuk mempertahankan tanah dan hak-hak orang Palestina, seperti Palestine Liberation Organization (PLO), Hamas, Fatah, Islamic Jihad, dan The Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP).
Upaya Mengungkap Tragedi
Selain mendesak peringatan 75 tahun Tragedi Nakba di Majelis Umum PBB bulan Mei lalu, beberapa aktivis dan seniman juga mencoba mengingat tragedi pembersihan etnis itu ke dalam film.
Dalam film dokumenter Born in Deir Yassin (2006), ditampilkan dokumen sejarah dan kesaksian yang mengungkap sejauh mana Pembantaian Deir Yassin. Film ini disutradarai oleh Neta Shoshani dan diproduksi oleh kelompok hak asasi manusia Israel, Zochrot.
Film ini mencoba menggali kembali memori dan narasi tentang peristiwa bengis itu melalui wawancara dengan para saksi mata, termasuk korban selamat dan keluarga yang ditinggalkan.
Untuk menutupi aib, Pemerintah Israel terus menyensor dan menahan materi arsip terkait Pembantaian Deir Yassin. Sutradara film, Neta Shoshani, kesulitan menemukan foto-foto sejarah pembantaian tersebut karena banyak yang disembunyikan di arsip IDF dan Kementerian Pertahanan.
Ia baru-baru ini merilis film terbarunya 1948-Remember, Remember Not, yang diluncurkan bertepatan dengan 75 tahun Nakba, 15 Mei 2023.
Film ini dibagi menjadi dua bagian: satu set di masa lalu, berdasarkan jurnal dan surat-surat real-time dari masa perang orang Palestina maupun Yahudi. Sedangkan set lainnya berlatar masa kini dengan penekanan pada karakter yang bertarung demi memori perang.
Deir Yassin kini dihuni para pemukim Yahudi Ortodoks dan menjadi bagian dari Givat Shaul di Yerusalem Barat.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi