tirto.id - Warsa 1948, negara Israel dideklarasikan yang menyulut serangan militer dari negara-negara Arab. Konflik ini dikenal sebagai Perang Arab-Israel pertama yang berakhir dengan kemenangan Israel. Akibatnya, ratusan ribu orang Palestina mengungsi, diusir dari tanah mereka.
Tahun 1964, Palestine Liberation Organization (PLO) atau Organisasi Pembebasan Palestina didirikan untuk mewakili rakyat Palestina secara politik dan diplomatik. Sementara Ḥarakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (HAMAS) atau Gerakan Perlawanan Islam dibentuk pada 1987, tak lama setelah Intifada I pecah.
Sayap militer HAMAS yang sangat militan bernama Brigade Izzuddin Al-Qassam. Mereka dianggap sebagai organisasi teroris oleh dunia Barat. Nama ini terinspirasi dari seorang tokoh militan kelahiran Suriah yang berperang melawan pemerintahan kolonial Perancis di Suriah dan Palestina pada 1920-an.
Izzuddin Al-Qassam juga berperan penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme Inggris dan proyek Zionisme. Kematiannya pada tahun 1935 menjadi sumber inspirasi gerakan perlawanan Islam di Palestina.
Anti Kolonialisme
Lahir di Jablah, Suriah, pada 1882, Izzuddin Al-Qassam adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Abdul Qadir, seorang ulama lokal ahli tarikat Qadariyah. Ibunya, Halimah Qassab, menanamkan nilai-nilai dan pendirian yang membentuk karakternya yang teguh.
Al-Qassam merupakan seorang Sunni bermazhab fikih Imam Hanafi dan belajar banyak ilmu keagamaan dari seorang alim lokal bernama Syekh Salim Tayarah. Ia juga memiliki hubungan dekat dengan keluarga yang sangat mendukungnya dalam perjuangan melawan kolonialisme.
Al-Qassam memulai pendidikannya di sekolah dasar di Desa Jablah. Lalu melanjutkan studi di Kota Latakia. Ia selanjutnya belajar di Al-Azhar Kairo, Mesir, dan kembali ke Jablah untuk mengajar pada 1903.
Di Kairo, ia mendengar ceramah-ceramah dari Mufti Besar Al-Azhar, Muhammad Abduh, yang memengaruhi pemikirannya tentang nasionalisme, persatuan, dan Islam modern yang mandiri, yang mampu keluar dari jerat-jerat kolonialisme Barat.
Ketika kembali di kampungnya, ia mengajar anak-anak di siang hari dan orang dewasa di malam hari, menyebarkan kesadaran akan pentingnya pengetahuan. Dia juga melakukan beberapa gerakan sosial di desa. Selain menjadi imam masjid, ia melakukan sweeping dan mencegah karavan yang membawa minuman beralkohol ke wilayahnya.
Dari situ, Al-Qassam mendapatkan karismanya sebagai tokoh teladan lewat ceramah-ceramah yang disertai tindakan nyata penegakan syariat.
Ia makin dikenal dan sering diundang ke berbagai wilayah untuk menghadiri dan mengisi acara Maulid Nabi. Metode ceramah Al-Qassam yang unik dan keteguhannya mengajak pada ketakwaan membuatnya populer, terutama di kalangan generasi muda. Cerita beredar tentang kerendahan hati, kesederhanaan, dan humornya yang baik.
Jihad Melawan Italia
Pada tahun 1911, Al-Qassam menyerukan bantuan kepada rakyat Arab di Libya selama serangan Italia yang dipicu ambisi kolonial yang kuat dan berusaha untuk memperluas wilayahnya di Afrika Utara.
Italia melihat Libya sebagai wilayah yang potensial untuk dikuasai dan menginginkan kontrol atas sumber daya alamnya. Pada satu kesempatan, Italia menuntut perlindungan warga Italia di Libya setelah terjadi beberapa insiden.
Kesultanan Utsmaniyah yang menaungi wilayah Libya menolak tuntutan itu dan memicu invasi Italia ke Libya pada bulan September 1911. Pasukan Italia yang kuat dengan dukungan angkatan laut dan udara berhasil merebut Tripoli, ibu kota Libya, pada Oktober 1911. Perang ini berlangsung hingga 1912.
Dalam salah satu khotbahnya pada Juni 1912, Al-Qassam menyerukan jihad melawan Italia dan berhasil mengumpulkan puluhan sukarelawan. Mereka dipilih secara ketat berdasarkan kriteria khusus, yakni punya pengalaman di kemiliteran.
Bersamaan dengan itu, Utsmaniyah mengalami tranformasi kekuasaan dan mengalihkan fokus ke wilayah Balkan pada Oktober 1912. Semua dana untuk melakukan perlawanan terhadap Italia diraup dari sumbangan dan kantong pensiun al-Qassam.
Seiring waktu, perlawanan pun terhenti dan Al-Qassam kembali fokus pada pendidikan masyarakat Jablah.
Melawan Prancis di Suriah
Pada tahun 1919, Prancis menduduki Suriah setelah berakhirnya Perang Dunia I. Pendudukan ini terjadi setelah kekalahan Kesultanan Utsmaniyah yang sebelumnya menguasai wilayah tersebut. Prancis memperoleh mandat Liga Bangsa-Bangsa atas Suriah dan Lebanon dari Konferensi Perdamaian Paris.
Pendudukan Prancis di Suriah bertujuan untuk menjaga kepentingan kolonialnya di Timur Tengah. Mereka berusaha mengendalikan wilayah ini melalui pemerintahan langsung dan memperkenalkan sistem administrasi kolonial. Mereka menindas perlawanan nasionalis dan menekan gerakan kemerdekaan yang muncul di Suriah.
Pendudukan itu menuai perlawanan dari masyarakat setempat, termasuk Izzuddin Al-Qassam yang bergabung dengan pemberontakan dan berperang di pergunungan sekitar Latakia, Suriah.
Dia mengorganisasi kekuatan pertahanan lokal untuk melakukan perlawanan, termasuk berperang melawan milisi Alawi yang diciptakan Prancis untuk melawan kelompok Sunni.
Milisi Al-Qassam akhirnya berhasil memukul mundur mereka di dekat Zanqufeh dan bersiap untuk serangan gerilya berikutnya melawan tentara Prancis. Pihak Prancis lantas mengetahui identitasnya dan memburunya hidup atau mati.
Pada Mei 1920, Al-Qassam dan pasukannya melarikan diri ke Aleppo dan bergabung dengan gerakan perlawanan lainnya pimpinan Ibrahim Hananu yang beroperasi di Suriah Utara.
Pada 1925, Revolusi Suriah (Great Syrian Revolt) melawan pendudukan Prancis pecah di Damaskus. Meskipun revolusi ini berhasil merebut kendali atas beberapa wilayah, Prancis dengan cepat menghancurkan perlawanan tersebut dan menduduki kembali Suriah.
Situasi ini mendorong Al-Qassam dan keluarganya pindah ke Haifa, Palestina. Di sana ia bekerja sebagai guru, mengajar masyarakat kelas bawah, dan mulai terlibat dalam gerakan perlawanan Palestina melawan pendudukan Inggris dan Zionisme.
Gerakan Perlawanan Palestina
Di Haifa, Al-Qassam mendirikan sekolah malam dan menyediakan kelas literasi bagi anak-anak muda. Ia berperan penting dalam menyebarkan kesadaran cinta tanah air di kalangan generasi muda Palestina.
Memasuki bulan Juli 1928, Al-Qassam diangkat sebagai presiden Young Men's Muslim Association (YMMA) dan berhasil masuk ke lapisan masyarakat elite yang tertarik akan idenya mendirikan Hizb al-Istiqlal (Partai Kemerdekaan). Ia mendapat dukungan dari Rashid al-Hajj Ibrahim, ketua YMMA sebelumnya.
Pada 1929, ia diangkat sebagai juru catat pernikahan oleh otoritas wakaf Yerusalem. Peran ini menjadikannya mudah berkunjung ke desa-desa dan pelosok untuk bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat.
Hal tersebut dimanfaatkannya untuk ceramah politik demi melakukan perlawan terhadap Inggris dan Zionis. Ia sering mengutip fatwa Mufti Damaskus, Syekh Badr al-Din al-Hasani, yang memperbolehkan berjuang melawan Zionisme. Selain itu, ia juga berteman baik dengan Mufti Agung Yerusalem, Haji Amin al-Husseini.
Aktif berpartisipasi dalam gerakan anti-kolonial, Al-Qassam percaya perjuangan bersenjata diperlukan untuk menahan proyek Zionis dan menyatakan jihad melawan Inggris pada tahun 1935 lewat kelompok gerilya Tangan Hitam (Al-kaff Al-aswad).
Jaringan Al-Qassam kian luas, setidaknya ada 200 hingga 800 pengikutnya yang menyebar dari Palestina sebelah utara hingga Jalur Gaza di selatan.
Mark Sanagan dalam desertasinya "Lightning Through the Clouds: Islam, Community, and Anti-Colonial Rebellion in the Life and Death of 'Izz Al-Dīn Al-Qassām, 1883-1935", menyebut bahwa Izzuddin Al-Qassam juga dipengaruhi oleh ideologi nasionalisme Arab dan gerakan perlawanan anti-kolonial yang sedang berkembang saat itu.
Dia melihat perjuangan Palestina sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk membebaskan dunia Arab dari penjajahan dan mencapai kemerdekaan nasional.
Seturut Abdel Monem Said Aly, Shai Feldman, dan Khalil Shikaki dalam Arabs and Israelis: Conflict and Peacemaking in the Middle East (2013:19), naiknya Al-Qassam mewakili perubahan kualitatif dalam respons Arab terhadap Zionisme dan Mandat Inggris dalam tiga cara.
Pertama, ia memberikan tantangan terhadap kepemimpinan nasional tradisional yang berupaya bekerja sama, alih-alih berkonfrontasi dengan Inggris.
Kedua, Al-Qassam berpendapat bahwa Mandat Inggris adalah akar semua masalah yang -menghantui rakyat Palestina dan hanya perlawanan bersenjata--bukan diplomasi dan protes tanpa kekerasan--yang akan mengakhiri mandat tersebut.
"Akhirnya, dia membawa Islam ke dalam peperangan melawan Inggris dan Zionisme; Al-Qassam menyerukan jihad bersenjata atas nama Islam, bukan atas nama nasionalisme Palestina," tutur Abdel Monem Said Aly dkk.
Pada 20 November 1935, dia terjebak oleh pengepungan pasukan Inggris di Jenin. Peperangan yang tak berimbang tak bisa dihindarkan. Ia dan empat anak buahnya terbunuh dalam insiden yang berlangsung selama enam jam.
Kematiannya menginspirasi perlawanan besar-besaran rakyat Palestina sepanjang tahun 1936 hingga 1939. Pemogokan diadakan di kota-kota Palestina dan Suriah untuk memprotes kematiannya.
Ribuan orang menghadiri pemakamannya di Nesher, pinggiran kota Haifa.
Keteguhan dan kematiannya meninggalkan dampak besar pada gerakan perlawanan kontemporer di wilayah Palestina, yakni Brigade Al-Qassam yang berdiri pada 1991.
Tujuan utama mereka mengusir Israel dari wilayah Palestina dan mendirikan negara Palestina yang merdeka.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi