tirto.id - 54 tahun yang lalu, pada 5 hingga 10 Juni 1967, pasukan militer Israel mengagetkan dunia dengan mencaplok wilayah Palestina yang tersisa. Wilayah tersebut antara lain meliputi Tepi Barat, Yerussalem bagian timur, Jalur Gaza, juga Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenjanjung Sinai di Mesir. Dunia makin terkejut sebab keberhasilan ini dapat diraih dalam hitungan waktu enam hari saja.
Pasukan Zionis Israel, dalam misinya untuk mewujudkan teritori "Negara Yahudi" pertama, mengusir paksa 750.000 orang Palestina dari tanah air mereka sekaligus menghancurkan perkampungan tempat tinggalnya. Faktanya, proses represi dan penjajahan Israel atas bangsa Palestina sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sekitar 70 tahun sebelum pertempuran enam hari itu, persisnya pada 1897, Organisasi Yahudi Internasional dibentuk untuk mengadvokasi orang-orang Yahudi sedunia dan dalam rangka memulangkan mereka ke tanah harapan, tanah perjanjian, yang pada waktu itu sudah ditinggali oleh bangsa Palestina (Filistin) selama berabad-abad. Pada 1918, terjadi Deklarasi Balfour, diambil dari nama Menteri Luar Negeri Inggris James Balfour, yang menyetujui rencana ini sekaligus membantu realisasinya.
Puluhan tahun kemudian, petaka itu muncul: Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan pembagian wilayah barat Palestina menjadi dua negara. Para pemimpin solidaritas Palestina dari petinggi negara-negara Arab menolak keras, sementara elite politik Yahudi tentu menyetujuinya. Pada 14 Mei 1948 negara Israel pun berdiri, sebuah langkah bersejarah yang memicu kemarahan para pemimpin Arab.
Sepanjang satu tahun pertama tentara Israel mesti berperang dengan negara-negara Arab yang berada di sisi timur teritorinya, juga Mesir di selatan. Pada Februari-Juli 1949 kedua pihak sepakat untuk gencatan senjata. Israel mengontrol kurang lebih 78 persen dari wilayah yang diperebutkan, sementara sisanya sebanyak 22 persen jatuh ke tangan Mesir dan Yordania. Sepanjang huru-hara itu, PBB memperkirakan 700.000 orang Palestina telah mengalami pengasingan paksa dari tanah airnya.
Penyebab dari Perang Enam Hari, demikian nama untuk perang yang kembali lahir antara Israel dan kelompok negara-negara Arab pada 1967, bisa dibilang sangat terpolarisasi, demikian menurut Zena Tahhan dari Al Jazeera. Meski demikian, tetap ada sejumlah faktor penting yang bisa dilacak dari beberapa sumber sejarah.
Pertama, bentrokan antara warga Israel dengan warga Suriah dan warga Yordania. Eskalasinya cukup masif sebab dipanaskan oleh upaya ribuan warga Palestina, sejak berdirinya Israel, yang ingin kembali ke asalnya untuk mencari kerabat. Hingga 1959, korban tembakan tentara Israel pada gelombang ini mencapai 2-5 ribu orang. Belum lagi ditambah peristiwa pembantaian 69 warga Palestina dan pembakaran 45 rumah di Tepi Barat.
Orang-orang Palestina makin mawas diri dan kemudian membentuk milisi untuk pertahanan diri sekaligus terkadang melakukan penyerangan. Tensi makin naik sebab ketegangan atas krisis di Terusan Suez yang melibatkan Inggris, Prancis, dan Mesir juga meningkat. Di Suriah kondisi memanas akibat konflik air Sungai Yordania. Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser juga membentuk aliansi militer dengan Irak dan Yordania sebab, menurut informasi dari Rusia, Israel akan menginvasi Suriah.
Pada 5 Juni 1967, Israel meluncurkan serangan tak terduga ke pangkalan udara Mesir di Sinai dan Terusan Suez sehingga menghancurkan pesawat-pesawat yang sedang diparkir. Sebanyak 90 persen wilayah musnah jadi arang. Di hari yang sama, Israel juga menginvasi Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai, juga pangkalan udara Suriah pada malam harinya.
Perang Enam Hari pun dimulai. Sejarah mencatat perang ini dimenangkan oleh Israel yang, hanya dalam jangka satu minggu saja, sukses mencaplok sisa-sisa wilayah yang dikuasai Mesir dan Yordania, plus sejumlah area penting lain. Setelah merengkuh keberhasilan di hari pertama, di hari kedua atau tanggal 6 Juni Israel bertempur melawan Yordania untuk memperebutkan Yerussalem timur yang saat itu dikuasai oleh Yordania.
Pada keesokan harinya komandan militer Israel Moshe Dayan memerintahkan pasukannya untuk merebut Kota Lama yang berada di bawah Yerussalem timur. PBB menyerukan kedua pihak untuk gencatan senjata. Namun, diplomat Israel dikabarkan meminta bantuan AS agar gencatan senjata itu ditunda. Tujuannya tak lain agar Israel bisa punya waktu lebih untuk “menyelesaikan pekerjaan”.
Benar saja, pada pertengahan hari tanggal 7 Juni 1967, tentara Israel sukses membersihkan Kota Lama dari kontrol tentara Yordania. Mereka menghancurkan pemukiman Morrocan Quarter yang berusia 770 tahun agar lebih mudah masuk ke Tembok Barat, dalam kepercayaan orang Yahudi, atau Masjid al-Aqsa, bagi orang Muslim. Situs ini memiliki makna mendalam bagi kedua agama Abrahamik tersebut.
Hari selanjutnya, giliran kota-kota utama di Tepi Barat yang direbut tentara Israel. Ada Kota Nablus, Bethlehem, Hebron, dan Jericho. Di bawah komando Yitzhak Rabin, yang akhirnya menjadi perdana menteri Israel, tentara Zionis melakukan tindak pembersihan etnis, menghancurkan permukiman, dan mengungsikan paksa 10 ribu orang Palestina. Di Kota Qalqiya, Tepi Barat, jumlah pengungsi mencapai 12 ribu.
Tanggal 9 Juni, Israel mulai menyerang Dataran Tinggi Golan di Suriah yang pada keesokan harinya sukses direbut. Kondisinya kian kritis sebab jarak area tersebut cukup dekat dengan ibukota Damaskus. Namun akhirnya Mesir dan Israel menandatangani gencatan senjata di hari yang sama, sementara dengan Suriah diresmikan pada tanggal 11 Juni.
Kedua gencatan senjata itu cukup untuk menghentikan Perang Enam Hari.
Pendudukan Terlama Di Era Modern
Pendudukan Israel atas hampir seluruh wilayah Palestina sejak Juni setangah abad yang lalu adalah yang terlama dalam catatan sejarah modern. Beragam pencaplokan lahan terus dilakukan dan yang melawan akan kena getah pahitnya: ditembak, dipenjara, dan dicabut hak asasinya. Israel hingga kini dikenal dunia internasional sebagai negara pelaku kejahatan kemanusiaan nomor wahid—meski akhirnya muncul berbagai versi pembelaan berbekal narasi tandingan.
Human Right Watch (HRW) adalah satu di antara lembaga internasional lain yang mawas diri atas narasi tandingan tersebut, tujuannya demi terjaganya narasi awal bahwa warga Palestina adalah korban yang sesungguhnya. Sikap HRW berangkat dari berbagai catatan yang dirangkum sejak Israel berdiri hingga lebih dari setengah abad kemudian masih saja merepresi warga Palestina secara sistematis.
Otoritas Israel sejak 1967 telah memfasilitasi pemindahan orang-orang Yahudi ke Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, sehingga melanggar Konvensi Jenewa Keempat. Pada 1967 Israel mendirikan dua permukiman di Tepi Barat, tepatnya di Kota Kfar Etzion dan Talpiot bagian timur. Pada 2017 Israel telah mendirikan 237 permukiman di dua tempat itu dan dipakai untuk menampung sekitar 580 ribu pemukim.
Israel sendiri menerapkan hukum sipil kepada para pemukim. Mereka juga memberikan perlindungan hukum, hak, dan manfaat yang tidak diberikan kepada orang-orang Palestina yang tinggal di wilayah yang sama—yang justru berhadapan dengan hukum militer Israel. Dengan kata lain, Israel menciptakan dan mempertahankan sistem hukum, sistem peraturan, dan layanan publik yang terpisah dan tidak setara. Mirip sistem apartheid yang diterapkan dulu di Afrika Selatan.
Dalam catatan HRW, setidaknya ada lima pelanggaran HAM berat lain yang dilakukan Israel, selain pencaplokan lahan untuk permukiman dan pelaksanaan kebijakan diskriminatif yang merugikan warga Palestina. Antara lain yakni pembunuhan, pengusiran/pengasingan paksa, penahanan disertai tindak kekejaman, dan penutupan Jalur Gaza dan pembatasan gerak lain tanpa justifikasi yang bisa dibenarkan.
Tentara Israel membunuh kurang lebih 2 ribu warga sipil Palestina dalam tiga konflik, yakni pada tahun 2008-2009, 2012, dan 2014. Jika ditotal dari 1967 atau sejak deklarasi kemerdekaannya, jumlahnya lebih fantastis lagi.
Pemandangan yang kerap terekam adalah bagaimana represifnya tentara Israel saat menghadapi demonstrasi para pemuda Palestina yang bersenjatakan batu. Tentara Israel menghadapinya dengan amunisi aktif sehingga korbannya tak hanya luka-luka, tapi juga meninggal.
Sebagaimana dampak proses aneksasi satu pihak ke pihak lainnya, dampak dari pendudukan Israel ini adalah terusirnya orang-orang Palestina dari tanah airnya. Pada 1948 atau tahun berdirinya Israel, 720 ribu orang Palestina terusir. Pada 1967 ada tambahan 440 ribu dan total yang tinggal di pengasingan sudah 1,1 juta. Pada 2008 jumlahnya sudah mencapai 5,3 juta orang. Sepanjang derita ini, populasi Israel terus bertambah, dan pada 2017 telah mencapai hampir dua kali lipat populasi Palestina.
Apa masih ada kesempatan, atau bahkan sekadar ruang untuk berharap, atas berakhirnya okupasi ilegal paling disorot dunia internasional di era modern ini?
Nur Arafeh, analis Al Shabaka yang menjadi lembaga think-tank Palestina, berkata pada Al Jazeerabahwa kemungkinannya sangat kecil.
"Saya tidak melihat kemungkinan Israel menarik diri dari wilayah-wilayah pendudukan dan mengakhiri usaha pemukim-kolonialnya, selama ia menikmati budaya impunitas dan tidak pernah diperhitungkan oleh masyarakat internasional untuk beragam kasus pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia,” katanya.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan pada 9 Juni 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh Pribadi