tirto.id - Ada rekaman pidato Gamal Abdul Nasser yang bersirkulasi lumayan kencang di internet. Satu sumber menyebut, video hitam-putih yang berdurasi dua setengah menit itu diambil pada 1966.
“Pada 1953 kami betul-betul ingin berkompromi dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Aku bertemu kepala IM. Kami duduk bersama. Apa yang dia mau? Hal pertama yang ia minta adalah aturan wajib berjilbab di Mesir, agar seluruh perempuan memakai jilbab saat keluar rumah.”
Hadirin tergelak. Punchline pertama dilantangkan seorang hadirin, “Dia saja yang pakai!”
Volume tawa kian mengencang. Nasser, sembari menahan senyum, melanjutkan:
“Dan aku jawab, jika jadi aturan, orang-orang akan bilang kita akan balik ke jaman Al Hakim Biamrillah (khalifah Fatimiyah keenam), yang hanya mengijinkan warganya keluar pada malah hari.”
Itu punchline kedua.
“Opiniku adalah setiap orang bebas menentukan aturan untuk dirinya sendiri. Ketua IM menyanggah, harusnya sebagai pemimpin aku yang bertanggung jawab. Kujawab, Pak, kamu punya anak perempuan di sekolah kedokteran, dan dia tidak pakai jilbab. Kenapa tidak dia dulu yang Anda suruh berjilbab?”
Suasana mulai riuh.
“Jika Anda tidak mampu menyuruh satu gadis untuk memakainya, anak Anda sendiri pula, Anda ingin saya memakaikan jilbab ke 10 juta perempuan Mesir?”
Tepuk tangan membahana. Hadirin makin terbahak-bahak.
Sejak menjabat sebagai presiden kedua Mesir, hubungan Nasser dan IM memang berlangsung buruk. Meski demikian, keduanya sempat menjalin kedekatan saat Nasser dan gengnya di tubuh militer melakukan kudeta terhadap Raja Farouk.
Raja Farouk berkuasa atas Mesir dan Sudan sejak 1936. Selama ia menjabat, kestabilan di tubuh militer mulai goyah. Ada kelompok nasionalis bernama Free Officers Movement yang diam-diam mempersiapkan kudeta.
Dua pentolannya adalah Nasser dan Mohamad Naguib. Revolusi benar-benar dijalankan pada 23 Juli 1953. Mereka menuai kesuksesan. Republik baru berdiri di atas tanah yang telah dikuasai dinasti Muhammad Ali sejak 1805.
Di mana IM saat terjadi huru-hara?
Said K. Aburish dalam Nasser, the Last Arab (2004) mencatat beberapa anggota IM yang bertatus tentara rupanya ada bergabung ke Free Movement Officers. Organisasi ini memang terdiri dari banyak faksi. Selain yang nasionalis seperti Nasser, Islamis macam IM, ada juga perwakilan Mesir Muda dan Partai Komunis Mesir. Meski beraliansi, Nasser tetap menjaga jarak. Ia sudah memahami sejak lama bahwa misi politik IM tidak selaras dengan visi nasionalisnya.
Nasserisme, begitu sebutan untuk ideologi politik Nasser sejak memegang posisi orang nomor satu di Mesir. Peter Mansfield pernah menjabarkannya di International Journal edisi Desember 1973 dengan judul “Nasser and Nasserism”.
Menurut Mansfield, Nasserisme mengawinkan banyak isme. Sosialisme (ala Arab), republikanisme, nasionalisme, anti-imperialisme-dan-kolonialisme, juga Pan-Arabisme.
Pada dasarnya Nasser menggunakan ideologi itu untuk seruan gerakan bagi seluruh rakyat di Arab, Afrika, dan Asia untuk memerdekakan diri dari dominasi kekuatan Barat. Mesir pun terlibat dalam menyokong gerakan-gerakan bersenjata yang satu ideologi di banyak negara.
Dari segi ekonomi Nasserisme diartikan sejarawan sebagai usaha Nasser untuk memodernisasi Mesir. Mesir, sepetak negara dunia ketiga, belum lama merdeka. Nasser mengupayakan agar masyarakatnya beralih dari ciri tradisional menuju masyarakat modern yang lebih sejahtera.
Ciri lain yang menonjol dari Nasserisme adalah sekularisme. Di dunia Arab, ciri tersebut sebenarnya hadir di tempat lain. Misalnya Ba’atisme. Artinya kebangkitan. Ideologi nasionalistik ini digodok ilmuwan Suriah dan menjadi tulang punggung pemerintahan Irak modern.
Meski demikian, Nasserisme tetap mendapat perlawanan dari kaum Islamis yang tidak sepakat Mesir bercirikan sekularisme. IM berubah haluan. Untuk memenangkan misi politiknya sendiri, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Nasser.
Sejarawan Eugene Rogan mencatat kejadian tersebut dalam The Arabs: A History (2009).
Pada 26 Oktober 1954, anggota IM bernama Mahmoud Abdul Lathif melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nasser. Nasser sedang berpidato di Alexandria. Lathif berjarak kurang dari 8 meter darinya. Ia menggenggam pistol, lalu menyalakkan delapan tembakan.
Tidak ada peluru yang mengenai tubuh Nasser. Dia justru mencoba menenangkan hadirin yang mulai panik. Saat keluar, massa yang lebih besar menyambutnya dengan gembira.
Selanjutnya sudah bisa ditebak: terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota IM, termasuk seratusan pejabat pemerintahan yang berafiliasi kepada organisasi, dan delapan pemimpinnya dihukum mati.
Pengecualiannya ada pada Sayyed Qutb, otak di balik ideologi IM (dan juga bagi organisasi Islamis lain). Ia divonis 15 tahun penjara. Meski sempat dibebaskan pada 1964, ia ditangkap lagi setahun setelahnya, dan dihukum gantung pada 1966.
Di saat IM direpresi dan gerakan Islamis di Mesir menunjukkan gejala penurunan popularitas, kepemimpinan Nasser justru makin naik. Nasser sadar perseteruannya dengan IM juga mesti dimenangkan di wilayah ideologi. Kembali mengutip Said K. Aburish, sejak pertengahan 1950-an Nasser memulai proyek modernisasi Universitas Al-Azhar.
Secara de facto, Al Azhar adalah pusat otoritas Suni Islam. Ia bercita-cita agar secara keilmuan Al Azhar bisa berselaras dengan Nasserisme. Ia ingin menjauhkan pengaruh IM yang lebih konservatif dan bercirikan wahabisme ala Arab Saudi. Nasser menginstruksikan Al Azhar untuk menyusun kurikulum pembelajaran hingga ke tingkat sekolah dasar. Pengadilan negara dan agama disatukan.
Lebih lanjut lagi, Nasser memaksa ulama Al Azhar agar mengeluarkan fatma yang menyatakan bahwa muslim Syiah, Alawi, dan Druze sebagai bagian dari Islam garis utama. Selama berabad-abad sebelumnya, Al Azhar menganggap kelompok minoritas itu sebagai sesat.
Nasser tidak sempurna. Bagi oposisi ia tetap dikritik sebagai pemimpin yang otoriter, pelanggar HAM, serta lebih mengutamakan dominasi militer dibanding institusi sipil. Sejarawan turut mencatat bagaimana Nasser mengawali satu pola yang masih lestari hingga hari ini: kediktatoran militer terus membayangi pemerintahan Mesir.
Di sisi lain, pertentangan antara kubu nasionalis-sekular dan Islamis juga tetap berkembang. Masing-masing kubu mengalami pasang-surut.
Nasserisme boleh jadi ideologi yang revolusioner pada dekade 1950-an dan 1960-an. Namun, sejak 1980-an, Nasserisme mengalami perubahan gaya. Ideologi tersebut makin terdengar umum alih-alih dipakai orang untuk mencapai cita-cita atau tujuan yang spesifik.
Di Mesir sendiri Nasserisme hanya berkembang di kalangan penulis, intelektual, atau partai oposisi kecil. Sebagai teori ia tetap bertahan. Tapi sebagai gerakan politis, Nasserisme makin tenggelam oleh kaum Islamis, terutama oleh IM. Tren tersebut tidak hanya terjadi di Mesir, tapi juga ke berbagai negara Arab yang dulu lahir dari ideologi nasionalisme sekular.
Nasser meninggal pada 28 September 1970, tepat hari ini 50 tahun lalu, di usia 52. Bukan karena peluru, tapi lantaran serangan jantung.
Editor: Ivan Aulia Ahsan