Menuju konten utama
30 Mei 1972

Bela Palestina, Tiga Komunis Jepang Serang Bandara Israel

Tiga komunis Jepang merangsek Bandara Lod, Tel Aviv, Israel. Tujuannya: membebaskan Palestina dari imperialisme.

Bela Palestina, Tiga Komunis Jepang Serang Bandara Israel
Mozaik Tentara Merah Jepang. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tepat hari ini 49 tahun silam, Bandara Lod yang terletak di Tel Aviv, Israel, mendadak mencekam. Ketika puluhan penumpang pesawat Air France dengan nomor penerbangan 132 tujuan Puerto Riko-Roma-Tel Aviv hendak mengambil barang bawaan di ruang tunggu bagasi, tiga orang pria Asia yang juga penumpang pesawat berpakaian jas sembari membawa tas biola menunjukkan gelagat aneh.

Ketika orang-orang menunggu datangnya barang di conveyor belt, dua dari tiga pria tersebut jalan ke sisi ruangan tanpa alasan yang jelas. Sesampainya di sana, mereka tiba-tiba mengeluarkan senapan serbu dan granat dari tas biola. Mereka langsung menembaki para penumpang ke segala arah. Dalam sekejap, orang-orang langsung menjerit histeris dan kocar-kacir menyelamatkan diri. Tidak sedikit yang seketika tumbang dengan bersimbah darah. Pada saat yang bersamaan, salah satu penyerang berlari ke arah landasan pacu untuk menembaki pesawat beserta penumpangnya yang sedang menuju ke ruang tunggu. Nahas, ia kemudian tewas akibat kesalahan teknis yang dibuatnya: terlalu lambat melemparkan granat hingga meledak sendiri di tangannya.

Masih di ruang tunggu, dua penyerang lainnya terus menembaki dan menyerang penumpang dengan granat. Tidak lama berselang, satu dari dua penyerang juga tewas akibat peluru nyasar yang ditembakkan temannya sendiri. Sumber lain menyebut ia tewas akibat bunuh diri atau ditembak otoritas keamanan.

Kini, tersisa satu orang. Ia terus menerus menembakkan pelurunya hingga habis lalu melempar granat. Kehabisan amunisi, si penyerang terakhir langsung dibekuk petugas keamanan. Meski hanya berlangsung beberapa menit, salah satu penyintas bernama Rosa Sloboda mengisahkan kepada BBC bahwa seketika seisi ruang tunggu penuh dengan darah yang mengucur dari para korban. Tercatat 26 orang tewas dan 70 lainnya luka-luka.

Menyingkap Tabir Penembakan

Penembakan brutal yang terjadi di salah satu tempat strategis Israel itu tentu saja sangat mengejutkan banyak pihak, termasuk kepolisian yang dianggap gagal mengantisipasi serangan teror.

Sebelum kejadian, kepolisian sedang meningkatkan kewaspadaannya terhadap serangan dari orang-orang Arab khususnya orang Palestina. Mereka memantau secara ketat pergerakan penduduk demi mengantisipasi kejadian penyerangan akibat meningkatkan ketegangan dunia Timur Tengah dengan Israel. Akan tetapi, mereka terlalu fokus kepada penduduk Arab sehingga lupa bahwa serangan juga dapat dilakukan oleh orang non-Arab.

Tak berselang lama, pihak kepolisian menggelar penyelidikan mendalam dan mengumumkan bahwa sekelompok teroris itu adalah orang berkebangsaan Jepang. Satu-satunya pelaku aksi teror yang masih hidup bernama Kozo Okamoto. Dua lainnya yang tewas ialah Takeshi Okudaira dan Yasuyuki Yasuda.

Okamoto dan rekannya menyamar sebagai turis Jepang yang hendak berlibur ke Israel. Mereka menggunakan paspor dan identitas palsu lalu ke beberapa negara seperti Perancis dan Italia selama beberapa hari sebelum beraksi di Israel. Sebelumnya juga, mereka telah dilatih secara semi-militer di Lebanon selama 2-3 bulan oleh Wadie Hadad, salah satu kombatan yang bertanggungjawab atas serangkaian aksi terorisme beberapa tahun sebelumnya.

Tentu saja aksi terorisme oleh warga Jepang mengejutkan publik dan memunculkan berbagai spekulasi: mengapa warga Jepang menyerang Israel? Dalam investigasi lebih lanjut, terungkap bahwa para ketiga pelaku bukan warga Jepang biasa. Mereka adalah simpatisan dari Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army/JRA) yang berafiliasi dengan Popular Front for the Liberation of Palestina (PFLP).

JRA sendiri adalah organisasi gerakan komunis yang dibentuk Fusako Shigenobu pada 1971 di Lebanon setelah hengkang dari Fraksi Tentara Merah (Red Army Faction). JRA memiliki misi utama untuk memperjuangkan penghapusan kapitalisme dan imperialisme di muka bumi. Sedangkan PFLP adalah organisasi perjuangan kemerdekaan Palestina yang didirikan George Habash sejak 1967. Sejak kekalahan negara-negara Arab melawan Israel dalam Perang Enam Hari 1967, PFLP semakin sering berjejaring dengan kelompok-kelompok kiri internasional untuk melakukan aksi-aksi di luar kawasan Timur Tengah untuk menekan Israel.

Akibat perubahan ini PFLP berkenalan dengan JRA. Organisasi besutan Fusako memiliki kesepahaman pandangan dengan PFLP: anti-Imperialisme. Bagi PFLP dan JRA, Palestina adalah tanah pendudukan yang harus dimerdekakan kaum imperialis. Berawal dari sinilah JRA-PFLP saling bekerjasama dan tumbuh sejalan. PFLP-JRA saling memberikan bantuan dana serta pelatihan militer guna melakukan aksinya termasuk aksi terorisme di Bandara Lod, Tel Aviv. Dalam persidangan kasusnya, Kozo Okamoto menyebut alasan yang mendasari kerjasama JRA dengan PFLP tidak lepas dari meredupnya dukungan dunia Arab kepada perjuangan Palestina.

“Ketika saya ditangkap, beberapa orang Jepang (diplomat) bertanya kepada saya, "Apakah tidak ada cara lain (selain terorisme)?”. Saya percaya bahwa untuk menuju revolusi dunia adalah dengan mendorong JRA ke panggung dunia. Upaya kita (Okamoto, JRA, dan PFLP) melakukan serangan ialah sebagai sarana untuk membangkitkan dunia Arab akibat kekurangan semangat spiritual,” tutur Okamoto dalam persidangan.

Pernyataan singkat Okamoto sangat berkaitan dengan situasi Timur Tengah yang saat itu mengalami perubahan dinamika politik khususnya terkait pandangan negara-negara Arab terhadap penyelesaian permasalahan Palestina yang perlu diatur kembali usai Perang Enam Hari. Okamoto memandang kekalahan negara Arab melawan Israel dengan penuh kekecewaan. Baginya kekalahan ini adalah pukulan bagi Palestina sekaligus menjadi bukti kegagalan negara Arab untuk menghantam imperialisme di sana.

Meski demikian, aksi terorisme ini menjadi aksi perdana JRA di kancah internasional dan menunjukkan komitmen seriusnya untuk mengenyahkan imperialisme di muka bumi. Sedangkan bagi PFLP aksi ini menambah reputasinya dalam proyek pembebasan Palestina.

Sesungguhnya serangan di Bandara Lod bukan inisiasi JRA semata. Mengutip Sara Dissanayake dalam entri “Japan” yang ditulisnya dalam buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pasific (2016: 507), serangan ini sebetulnya dirancang oleh PFLP. JRA hanya mengirimkan simpatisan untuk mengelabui otoritas keamanan yang saat itu sedang gencar-gencarnya mengawasi pergerakan orang-orang Arab.

Infografik Mozaik Tentara Merah Jepang

Infografik Mozaik Tentara Merah Jepang. tirto.id/Quita

Persidangan

Dua bulan sejak teror di Bandara Lod, Okamoto akhirnya disidang. Menurut laporan New York Times(11 Juli 1972), persidangan Okamoto hari itu bertujuan memutuskan hukuman atas keterlibatannya: hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Hakim dan jaksa melemparkan opsi ini kepada pemerintah. Para pejabat tinggi Israel pun berdebat.

Pejabat yang mendukung hukuman mati mendasarkan argumennya pada kekejaman Okamoto yang tidak pandang bulu menembaki orang dari segala jenis kelamin dan umur termasuk anak-anak dan perempuan. Pendapat dari kubu yang berseberangan mengatakan hukuman mati dapat mencoreng citra positif Israel. Ada pula ketakutan gelombang terorisme akan semakin masif jika Okamoto dihukum mati.

Di tengah persidangan, Okamoto memberikan pembelaan. Ia mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas teror di Bandara Lod. Bagi Okamoto, aksi itu bukan terorisme alih-alih perjuangan revolusioner. Ia menyatakan bahwa perjuangan bersenjata adalah jalanjalan terbaik untuk masalah Palestina.

“Aksi kami adalah perjuangan revolusioner; perjuangan politik antarkelas. […] Kami ingin memperingatkan seluruh dunia bahwa kami akan membunuh siapa saja yang berdiri di pihak borjuis,” tutur Okamoto dikutip dari buku The 50 Worst Terrorist Attack (2014:14) karya Edward F. Mickolus dan Susan L. Simmons

Akibat pembelaannya, hakim memutuskan ia dijatuhi hukuman seumur hidup. Okamoto harus menjalani hukuman di salah satu penjara di Israel. Hukuman kurungan itu hanya berjalan selama 13 tahun. Okamoto akhirnya dibebaskan pada 1985 karena pemerintah Israel mengadakan pertukaran tahanan dengan PFLP.

Meski berhasil menaikkan citra JRA dan didukung oleh banyak pihak, termasuk Presiden Libya Muammar Khadafi, teror Lod dan aksi-aksi lain JRA-PFLP akhirnya dipandang banyak pihak tidak berdampak signifikan terhadap pembebasan Palestina.

Namun, hanya dalam dua tahun sejak Okamoto dibebaskan, dimulailah gelombang baru perlawanan Palestina yang berlangsung sampai 1993 dengan skala masif dan melibatkan warga biasa, laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, yang rata-rata tidak terlatih secara militer. Perlawanan yang disebut Intifada ini kelak berlanjut pada tahun 2000 hingga 2005. Boleh jadi hari ini kita tengah menyaksikan gelombang ketiga dari Intifada.

Baca juga artikel terkait ANTIKOLONIALISME atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Windu Jusuf