tirto.id - Raut wajahnya terlihat lelah. Goresan usia senja menyiratkan kegetiran, kepahitan, dan nestapa dalam satu tarikan napas. Namun di depan kamera, ia tak ingin kelihatan lemah. Jiwa pemberontakannya masih tersisa meski tak segarang dahulu. Alih-alih berteriak lantang penuh emosi, ia hanya mengucap sebaris kata: “Aku akan terus melawan.”
Osaka tahun 2000 menjadi saksi berakhirnya petualangan Fusako Shigenobu bersama kelompok komunis Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army, JRA). Fusako ditangkap pihak berwenang atas sederet kasus pelanggaran keamanan dalam lingkup internasional. Dia tidak melawan ketika pihak berwenang berhasil menangkapnya.
Jejak pengembaraan Fusako dimulai sejak dekade 60an tatkala ia memimpin Fraksi Tentara Merah (Red Army Faction) atau dalam bahasa Jepang beridentitas Sekigun-ha. Organisasi ini bagian dari kelompok sayap Liga Komunis. Sekigun-ha dikenal militan, independen, dan revolusioner. Pada September 1969, mereka menyatakan perang terhadap negara dan ditangkap polisi. Walhasil, sebagian besar anggota, termasuk pendiri dan aktor intelektual Sekigun-ha yang juga suami dari Fusako, Takaya Shiomi dijebloskan ke bui pada 1970.
Akibat dari penangkapan massal itu, Sekigun-ha kehilangan sekitar 200 anggota. Demi menjaga keberlangsungan kelompok, Fusako ditemani Tsuyoshi Okudara terbang ke Timur Tengah guna menjalin kontak internasional seperti yang diwacanakan Fraksi Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army Faction) kepada mereka pada Februari 1971.
Niat awal Fusako dan Okudara memang ingin membuat kontak internasional. Namun dalam perjalanannya Fusako mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari Fraksi Tentara Merah Jepang. Perpisahan disebabkan oleh jarak ideologis, walaupun banyak pihak menilai lepasnya Fusako bermula dari konflik personalnya dengan pimpinan baru Fraksi Tentara Merah Jepang, Tsuneo Mori.
Lebanon menjadi medan Fusako untuk menempa mental revolusioner dengan membentuk Japanese Red Army (JRA)pada awal 1971. Bersama 40 anggota yang tersisa, kali ini Fusako berhati-hati mempersiapkan kebangkitan kelompok, agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Selain itu, alasan Fusako memilih Lebanon adalah untuk mendukung kemerdekaan Palestina, seperti yang dituliskan pada memoar berjudul A Personal History of the Japanese Red Army: Together with Palestine.
Di saat anggota-anggota JRA Saat sedang membangun independensi, Fusako bergabung dengan Popular Front for the Liberation Palestine (PFLP) sebagai relawan. Dari sini pula, hubungan JRA dan PFLP tumbuh sejalan. Mereka saling mengisi kekosongan satu sama lain, misalnya saat PFLP merekrut tiga anggota JRA untuk mendukung serangan di Bandara Internasional Lod, Tel Aviv atau ketika PFLP memberikan bantuan berupa pelatihan, persenjataan, sampai finansial kepada JRA.
Baca juga:
- Kisah Partai-Partai Komunis Palestina Melawan Israel
- Jepang di Bawah Abe: Makin Kanan, Makin Militeristik
Niat Revolusi dan Serangan yang Terus Membara
Fusako dilahirkan beberapa minggu setelah Hiroshima-Nagasaki dibom atom pada 1945. Ayah Fusako adalah anggota organisasi sayap kanan Jepang, The Blood Oath League yang berdedikasi memberantas para politisi korup.
Kondisi keluarga Fusako tak seberuntung lainnya, terutama untuk urusan finansial. Dengan segala keterbatasan, Fusako mesti rela menunda kuliah dan bekerja sebagai penari guna mencukupi kebutuhan.
Baca juga:
Impian Fusako untuk kuliah akhirnya terwujud. Dalam tulisan berjudul “I Decided to Give Birth to You Under an Apple Tree” ia mengisahkan bahwa setamat SMA, ia diterima di suatu perusahaan sehingga bisa berkuliah pada malam hari. Fusako berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mengemban gelar sarjana politik ekonomi dan sejarah di Universitas Meiji.Kepekaan Fusako terhadap ketimpangan sosial terasah di bangku kuliah. Pada tahun 1960an, Fusako menjadi pemimpin gerakan para mahasiswa yang memprotes kenaikan biaya kuliah. Seiring waktu, Fusako kian gencar menyuarakan kritik. Fusako memiliki harapan untuk memberantas wabah kelaparan dan kesenjangan sosial. Semangat revolusinya memang tak bisa dihentikan. Seperti dikutip Akasha News, Fusiko pernah “Revolusi adalah kekasihku.”
Latar belakang itu pula yang membawanya ke pucuk pimpinan kelompok komunis militan. Niatnya menghapus kelas-kelas sosial dan segala bentuk imperialisme tak bisa ditawar. Bersama JRA dan bantuan PFLP, perlahan-lahan Fusako mulai melakukan aksi-aksi teror berskala global.
Serangan yang dilakukan terjadi pada rentang awal 1970an hingga akhir 1980an. The Japan Timesmencatat serangan pertama dimulai pada Mei 1972 saat JRA membantu PFLP menyerang Bandara Internasional Lod di Tel Aviv. Serangan ini menyebabkan 26 orang tewas dan 80 orang luka-luka.
Dua dari tiga pelaku serangan yang juga anggota JRA tewas di tempat. Sedangkan satunya, Kozo Okamoto tertangkap. Setahun berselang, Juli 1973, pesawat Japan Airlines dibajak ketika terbang ke Belanda. Penumpang dan kru pesawat dibebaskan di Libya dan pesawatnya diledakkan.
Baca juga:
Januari 1974, JRA dan PFLP menyerang fasilitas Shell Oil di Singapura serta menyandera lima anggota menggunakan kapal feri hasil pembajakan. Pemerintah Singapura menjamin keamanan pelaku penyerangan sebagai tawaran untuk pembebasan sandera. Delapan bulan kemudian, tiga anggota JRA menyerang Kedutaan Perancis di Den Haag. Mereka menawan duta besar dan 10 orang lainnya. Pembebasan tahanan ditukar dengan jaminan bebasnya anggota mereka, Yatsuka Furuya yang saat itu dipenjara.Tak berhenti sampai situ, Agustus 1975 mereka kembali beraksi dengan menawan lebih dari 50 orang di beberapa titik gedung kedutaan Kuala Lumpur. Otoritas setempat menyetujui tawaran mereka untuk membebaskan lima anggota yang dipenjara sebagai jaminan keselamatan sandera.
Bulan September 1977, mereka kembali membajak maskapai Japan Airlines yang sedang menuju ke India. Pesawat diminta mendarat di Bangladesh. Pemerintah Jepang setuju melepaskan enam tahanan mereka dan membayar upeti sejumlah $6 miliar. Pada April 1988 mereka meledakkan sebuah klub di Napoli yang menewaskan lima serdadu Amerika Serikat.
Serangan-serangan yang gencar dilakukan kelompok Fusako pun akhirnya menemui titik impas. Pada November 2000, Fusako ditangkap di sebuah hotel di Takatsuki, dekat Osaka dan dibawa ke Tokyo untuk diperiksa lebih lanjut. Berdasarkan laporan-laporan media Jepang, Fusako diyakini tinggal di Osaka sejak pertengahan Juli atas nama seorang kawannya dan dengan nama samaran. Pihak polisi mengatakan, Fusako menyewa kamar hotel di Takatsuki dengan identitas laki-laki.
Sebagai timbal balik dari kejahatan yang dia lakukan, Fusako dituntut 20 tahun penjara pada 8 Maret 2006 atas berbagai aksi teror lintas negara, misalnya penyerangan Kedubes Perancis pada 1974. Pada 2010, Fusako mendapatkan putusan akhir dari Mahkamah Agung dengan nota yang sama; melakukan serangkaian aksi terorisme.
Walaupun Fusako ditahan, namun kritiknya terhadap pemerintah Jepang masih mengudara. Dalam wawancara dengan The Guardian, Fusako menyatakan, “Pemerintahan yang dipimpin Abe ingin mengambil peran untuk membawa Jepang sebagai negara adidaya di bidang ekonomi, politik, dan militer. Pada dasarnya Jepang ingin merangkul Cina, mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan PBB, serta menerapkan kebijakan luar negeri yang pragmatis untuk menciptakan lingkungan militer yang kolaboratif terhadap isu global sebagai tanggapan atas tuntutan militer Amerika Serikat.”
“Sudah saatnya orang-orang Jepang seperti saya, yang berjuang demi tujuan politik menciptakan masyarakat yang lebih baik, mendapatkan tawaran politis untuk keluar dari jalan buntu,” tambahnya.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf