tirto.id - Kala Perang Dunia I terus berkecamuk dan belum ada tanda-tanda bakal dimenangkan oleh kubu mana, Inggris mengeluarkan deklarasi yang sarat kontroversi. Deklarasi tersebut dikeluarkan pada 2 November 1917, tepat hari ini 101 tahun silam, .
Di bawah komando Perdana Menteri David Lloyd George, Inggris merilis “Deklarasi Balfour”—diambil dari nama Sekretaris Luar Negeri mereka, Arthur Balfour—yang intinya berjanji mendukung “pendirian tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” asalkan “tidak merugikan pemenuhan hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di sana.”
Dokumen itu cukup singkat, hanya terdiri dari 67 kata yang tersusun dalam tiga paragraf. Namun, dampaknya begitu besar: menjadi awal mula konflik Israel-Palestina yang sampai saat ini tak kunjung selesai.
Demi Menang Perang
Pada 9 November 1917, deklarasi ini dibuka pers ke publik. Kendati begitu, upaya membawa orang-orang Yahudi Inggris dan Eropa ke Palestina, yang saat itu masuk dalam kekuasaan Kesultanan Usmani Turki, sudah berjalan sejak dua tahun sebelumnya.
Inggris mengumumkan perang pada 1914 dan menjadi pertanda dimulainya Perang Dunia I. Kabinet Perang Inggris kemudian mulai menyusun strategi politik untuk masa depan wilayah Palestina—tentu saja dalam kerangka yang menguntungkan kepentingan Inggris Raya.
Akhir 1917 adalah masa-masa penyusunan draf Deklarasi Balfour. Lobi-lobi pun dilancarkan para petinggi komunitas Yahudi Eropa dengan pemerintah Inggris, terutama dengan kementerian luar negeri.
Sebagaimana dicatat Bernard Avishai dalam “The Balfour Declaration” yang terbit di The New Yorker, negosiasi tingkat elite pertama antara Inggris dan kelompok Zionis bisa dilacak ke tanggal 7 Februari 1917 dalam sebuah konferensi yang juga dihadiri Balfour dan petinggi komunitas Yahudi. Dalam diskusi lanjutan tanggal 19 Juni, Balfour meminta Rothschild dan kawannya (yang kelak menjadi presiden Israel pertama), Chaim Weizmann, untuk menyusun rancangan sebuah deklarasi publik.
Keduanya memenuhi permintaan Balfour dan kemudian mendiskusikannya dengan Kabinet Perang Inggris sepanjang September dan Oktober di tahun yang sama. Ada sejumlah golongan Yahudi Zionis maupun non-Zionis di Inggris yang memberikan masukan.
Persoalan paling mendasar dari rancangan tersebut adalah ketiadaan warga Palestina dalam pembicaraan awal, diskusi rancangan, hingga deklarasinya benar-benar dipublikasikan. Ketiadaan ini, di mata sejarawan, sudah menjadikan Deklarasi Balfour tak adil. Deklarasi itu juga dianggap sebagai biang permasalahan pokok mengapa golongan Zionis dipandang sebagai kelompok yang licik sejak awal pendiriannya.
Dalam “The Balfour Declaration: A Hundred Years On” yang dipublikasikan Foreign Affairs, Jonathan Schneer menjelaskan ada beberapa alasan yang mendorong Inggris mengeluarkan deklarasi ini. Pertama, jajaran kabinet pemerintahan Inggris—terlebih Llyod dan Balfour—bersimpati dan ingin membantu Yahudi. Mereka percaya adanya masa seperti “Kedatangan Kedua”—merujuk pada kembalinya Yesus Kristus dari surga ke bumi sebagaimana yang diajarkan dalam eskatologi Kristen.
Kedua, terdapat kepentingan Inggris yang ingin dikejar di Palestina: letak strategis karena menghadap Mesir dan Terusan Suez. Faktor ini dirasa penting untuk memperbaiki perekonomian Inggris yang saat itu sedang terguncang. Pemerintah Inggris beranggapan apabila tidak segera ambil tindakan, Jerman bakal lebih dulu merebut Palestina.
Ketiga, dan ini banyak dinilai sebagai alasan utama, Deklarasi Balfour dibuat untuk membantu Inggris memenangkan perang. Orang-orang pemerintah Inggris percaya bahwa “Yahudi dunia” punya pengaruh bawah tanah yang besar—atas keuangan dunia, misalnya. Mereka berpikir pemodal Yahudi dari AS dapat membujuk Woodrow Wilson untuk membawa bala tentara AS dalam pusaran perang. Mereka juga meyakini bahwa Yahudi Rusia bisa merayu Perdana Menteri Aleksandr Kerensky agar tetap berada di satu gerbong. Dan demi mewujudkan anggapan-anggapan itu, Inggris menjanjikan Yahudi sebuah wilayah bernama Palestina.
Akan tetapi, dokumen Belfour perlu waktu cukup lama untuk diproduksi dengan proses yang berliku sehingga hasilnya mungkin tak terduga. Saat dirilis, AS sudah ikut perang dan Rusia tidak dapat diajak bersekutu. Deklarasi Balfour pada akhirnya tidak memengaruhi jalannya perang—dan lebih memengaruhi apa yang terjadi sesudahnya.
Rusak Sejak dalam Pikiran
Menurut laporan Al Jazeera, penyusunan Deklarasi Balfour dipandang cacat karena beberapa alasan. Balfour dirasa sebagai produk yang dibuat oleh kekuatan Eropa untuk wilayah non-Eropa dengan mengabaikan kehadiran serta keinginan penduduk asli wilayah bersangkutan. Itu artinya, deklarasi bakal membuat Palestina berada di bawah pendudukan Inggris dan masyarakat Arab Palestina tidak punya kesempatan untuk memperoleh kemerdekaan.
Ihwal ini bisa dilihat dari penggunaan istilah “tanah air nasional” yang termaktub dalam paragraf pertama deklarasi. Penggunaan terma tersebut membiarkan orang-orang Yahudi menafsirkan secara terbuka sebagai “negara.” Padahal, “tanah air nasional” tak punya preseden dalam hukum internasional secara menyeluruh.
Setelah mandat berlaku, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi Eropa ke Palestina. Antara kurun waktu 1922 sampai 1935, populasi Yahudi di Palestina meningkat; yang semula hanya 9 persen menjadi hampir 27 persen dari total penduduk.
Kondisi tersebut kemudian menuntun pada terciptanya konflik demi konflik. Inggris dan Zionis merasa punya legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang. Aneksasi wilayah, diskriminasi, dan persekusi terhadap masyarakat setempat adalah beberapa efek yang ditimbulkan dari mandat ini.
Konflik muncul dan menyeret nyawa banyak warga Palestina yang tak tahu apa-apa—selain bahwa tiba-tiba mereka diusir dari tempat tinggal yang sudah dihuni secara turun-temurun, dan akan mendapat konsekuensi buruk jika menolaknya. Deklarasi Balfour, dengan kata lain, adalah kolonialisme Zionis yang didukung Inggris.
Pada 1939, Inggris sadar bahwa keputusan mereka dengan tidak melibatkan orang-orang Palestina merupakan kesalahan. Mereka pun lantas mengakhiri pemberlakuan mandat dan menyerahkan perkara Palestina ke PBB.
Namun, Inggris terlambat. Di saat mereka mempersilakan PBB masuk sebagai penyelesai konflik, masyarakat Yahudi sudah kadung mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Bukannya mereda, konflik justru meruncing dan mengalami puncaknya pada 1948, ketika militer Yahudi yang dipersenjatai dan dilatih Inggris untuk Perang Dunia II secara paksa mengusir lebih dari 750 ribu orang Palestina dari tanah air mereka.
Sejak saat itu, Yahudi—yang kemudian jadi Israel—terus mencaplok lahan bangsa Palestina, menciptakan gelombang pengusiran masal, pembunuhan, dan tindak pelanggaran hak asasi lainnya.
Tentu ada banyak faktor yang mendorong lahirnya konflik abadi Israel-Palestina. Namun, Deklarasi Balfour tetap punya andil cukup besar yang menciptakan kondisi bagi minoritas Yahudi untuk mendapatkan superioritas di tanah Arab dan membangun negara dengan mengorbankan orang Palestina.
Editor: Ivan Aulia Ahsan