tirto.id - Jika umumnya orang datang ke Paris untuk berpelesir dan menikmati keindahan fesyen, maka tidak dengan Muhammad Abduh. Kira-kira lebih dari seratus tahun lalu Abduh datang ke Paris dengan memanggul kepedihan yang mendalam. Akibat pandangan dan pendapat-pendapatnya yang acap berseberangan dengan penguasa, nasib membawanya pada satu etape kehidupan yang bersejarah. Ia harus menelan pil pahit menjalani hari-hari pengasingan di Paris.
Pandangan-pandangan Abduh yang dilandasi semangat reformasi terhadap ajaran-ajaran agama menjadikannya sosok yang sangat vokal menyuarakan pembaharuan di bidang pendidikan dan keagamaan. Abduh dengan getol menggembar-gemborkan bahwa jalan tol reformasi dalam sebuah tatanan masyarakat adalah pendidikan. Tanpa pendidikan yang baik dan memerdekakan, cita-cita reformasi tak ubahnya cita-cita si pungguk yang merindukan bulan.
Gagasan Abduh yang lain dan sangat monumental adalah pendapatnya soal penggunaan rasio dan akal untuk mendobrak kebuntuhan ijtihad. Agar hukum Islam berkembang dan tidak mandek, maka akal harus didayagunakan dengan baik, bukan justru disimpan dan tidak diberdayakan. Pendapat terakhir inilah yang kemudian membuatnya terusir dari Mesir menuju kota pengasingan: Paris.
Pengasingan itu terjadi setelah pemberontakan Urabi pada 1882. Ia menjalani pengasingan bukan dengan ratapan dan pesimisme. Ia justru lebih bersemangat untuk belajar ilmu-ilmu agama. Ia belajar dari pagi sampai dini hari. Tidak ada aktivitas lain selain menghabiskan waktu di pengasingan dengan menelaah pelbagai referensi.
Kesedihan di awal pengasingan berangsur surut ketika Abduh bertemu dengan sosok-sosok yang bisa diajak untuk berdiskusi, salah satunya Jamaluddin al-Afghani, seorang intelektual terkenal yang kelak menyebarkan paham Pan Islamisme. Kesedihan itu lunas menjadi kebahagiaan ketika tahun 1889 Abduh diizinkan untuk kembali menginjakkan kaki di Mesir dan diangkat menjadi mufti agung. Jabatan bergengsi ini diembannya sampai ia mengembuskan napas terakhir.
Melawan Kekuasaan
Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali, juga mengalami nasib serupa. Akibat penolakannya terhadap pendapat penguasa untuk mengadopsi pandangan-pandangan aliran Muktazilah, salah satunya tentang kemakhlukan Alquran, Ahmad bin Hanbal harus hidup di balik jeruji besi selama kurang lebih dua tahun. Ia dibebaskan sesaat setelah rezim al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah tumbang dan digantikan oleh al-Mutawakkil.
Abu Hayyan At Tauhīdi, penulis literatur mistikus yang gandrung dengan filsafat, seperti dicatat Ahmad Abdul Hadi dalam Abu Hayyan At-Tauhīdi: Failasuful Adibba wa Adībul Falāsifah (1997), dituduh melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan berseberangan dengan mayoritas ulama semasa hidupnya. Ia dibuang dari Baghdad dan diasingkan ke kota Rey. Kepedihan dalam pengasingan membuatnya sakit hati.
Hingga akhirnya, tatkala ia diizinkan untuk kembali ke Bahgdad, ia memutuskan untuk membakar seluruh kitab-kita karangannya. Bagi Abu Hayyan At-Tauhīdi, orang-orang yang cupet dan tidak merdeka cara berpikirnya tidak pantas menerima dan membaca buku-buku yang ia tulis dengan penuh jerih payah. Ia meninggal dalam keadaan melarat dan papa di Bahgdad (hlm. 11-14).
Abduh, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Hayyan At-Tauhīdi masih beruntung. Abu Hanifah, seorang imam mazhab dan ahli fikih paling moncer dari kawasan Kufah, harus menjalani hari-hari terakhir hidupnya dengan meringkuk di penjara. Pandangannya yang berseberangan dengan rezim membuatnya harus menanggung akibat yang sangat perih: kematian di penjara. Ia menjalani pengasingan bukan semata dengan hidup di balik jeruji besi. Banyak sumber menyatakan bahwa Abu Hanifah juga disiksa secara fisik.
Nasib yang tak kalah pedih juga menimpa Ibnu Taimiyyah. Selama hidup, ia keluar-masuk penjara selama dua belas kali. Mula-mula karena acap berpolemik dengan lawan-lawan berdebatnya, ia akhirnya diusir dari Damaskus. Ia pergi ke Mesir, sebuah negeri yang kelak justru menjadi tempatnya menjalani hukuman penjara.
Ia dipenjara di Mesir karena pandangan politik dan kritik-kritiknya terhadap sufisme dan inovasi dalam beragama (bidah). Pandangan-pandangannya, terutama soal kritiknya terhadap gerakan sufisme, membuat geram banyak kalangan. Ia berpendapat bahwa sufisme membuat agama menjadi regresif dan degradatif. Jika ingin maju, maka sufisme dan ajarannya harus dienyahkan.
Padangan itulah yang menjadikan Ibnu Taimiyyah menjadi rujukan papan atas bagi kalangan Wahabi sampai saat ini. Ibnu Taimiyyah meninggal di balik jeruji besi.
Kiai Zaenal Dieksekusi Jepang
Di belahan Nusantara, kita juga mempunyai ulama-ulama yang memiliki integritas tinggi. Mereka rela bertaruh nyawa demi mempertahankan pendapat yang diyakini kebenarannya.
Salah satu di antaranya adalah K.H. Zaenal Mustafa dari Sukamanah, Tasikmalaya. Integritasnya dalam memegang keyakinan bahwa penjajahan harus musnah membawanya pada hukuman mati di tangan Jepang pada 1944.
Mula-mula ia bisa lepas dari tuduhan memberontak dan memobilisasi santri untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda pada 1942. Oleh Belanda, Kiai Zaenal Mustafa hanya dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain kemudian dilepaskan.
Jepang datang dan nasib yang sama juga menimpa Kiai Zaenal Mustafa. Ia kembali dicurigai menggerakkan santri-santri untuk melawan Jepang. Terlebih, Jepang mengetahui bahwa Kiai Zainal Mustafa adalah salah satu di antara tokoh-tokoh yang sangat keras menolak seikeirei (membungkuk untuk menghormati Kaisar Jepang).
Pengasingan dan siksaan, bahkan kematian, tidak mampu menggoyahkan keyakinan, ketulusan, dan keteguhan hati mereka. Ketiganya merupakan ciri pokok ulama sejati menurut Imam al-Ghazali. Maka, benar nian pendapat yang mengatakan bahwa ulama adalah mereka yang bersetia pada kata, apapun taruhan dan risikonya.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan