tirto.id - Presiden Mesir Anwar Sadat (1918-1981) menghadapi situasi internasional yang tidak menguntungkan tatkala menempati jabatannya. Amerika Serikat di bawah kepresidenan Richard Nixon berusaha mengendurkan ketegangan dengan sekutu Mesir, Uni Soviet. Saat ketegangan antara kedua negara adidaya berkurang, perselisihan regional seperti konflik Arab-Israel bukan urusan mendesak bagi Moskow dan Washington.
Soviet dan Amerika bersedia menjalani kondisi status quo, kebijakan “tidak ada perang, tidak ada perdamaian” antara Arab dan Israel, sampai pihak yang bersengketa menunjukkan sikap lebih pragmatis untuk menyelesaikan persoalan. Sadat mafhum kondisi status quo disukai Israel. Dengan berlalunya waktu, masyarakat internasional semakin mudah menerima kekuasaan Israel atas wilayah Arab yang diduduki sejak 1967.
Untuk memecah kebuntuan ini, Sadat mengambil inisiatif. Dia harus memaksa Amerika terlibat kembali dalam konflik Arab-Israel, mendorong Soviet untuk menyediakan senjata berteknologi tinggi bagi Mesir, dan menunjukkan ancaman nyata kepada Israel untuk mengembalikan Sinai. Demi mencapai tujuannya, Mesir harus berperang secara terbatas dengan Israel.
Menurut Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot dalam A History of Egypt: From the Arab Conquest to the Present (2007), Sadat mengambil langkah pertama dengan mengusir 21.000 penasihat militer Soviet di Mesir pada Juli 1972. Hal ihwal ini merupakan strategi untuk memaksa Amerika dan Soviet terlibat kembali dalam konflik Arab-Israel. Amerika mulai mempertanyakan hubungan Mesir dengan Uni Soviet dan kemungkinan akan mengalihkan negara Arab terkuat ini ke dalam kelompok pro-Barat.
Meski Sadat telah mengusir penasihat militer Soviet, dia berhati-hati untuk tidak memutuskan hubungan dengan negara komunis itu. Dia mempertahankan Perjanjian Persahabatan Mesir dan Soviet, agar tetap menunjukkan sikap bersahabat. Strategi Sadat sukses: antara Desember 1972 hingga Juni 1973, Soviet mengekspor persenjataan canggih ke Mesir lebih banyak dibanding ekspor dalam kurun 1970-1972 digabung jadi satu (hlm. 157-158).
Peperangan di Bulan Puasa
Perang pun meletus beberapa menit selepas pukul dua siang pada bulan suci Ramadan, Sabtu, 6 Oktober 1973. Saat itu, tentara Suriah dan Mesir secara bersamaan menyerang Israel dari utara dan selatan. Israel memang meyakini bahwa serangan akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, mereka berasumsi bahwa serangan tersebut akan dilancarkan menjelang matahari terbenam. Serangan habis-habisan di dua front pada siang hari itu adalah kejutan perdana untuk Israel.
Bersamaan dengan gempuran artileri yang gencar—panglima tentara Mesir Mohamed el-Gamasy mengklaim pasukannya melepaskan 10.000 lebih tembakan pada menit-menit pertama—gelombang tentara Mesir melintasi Terusan Suez menggunakan perahu dinghy dan menyerbu benteng pasir Bar-Lev Line sambil bertakbir. Dalam upaya menaklukkan posisi Israel yang secara luas diyakini tidak dapat ditembus itu, tidak banyak korban jatuh di pihak Mesir..
“Pada pukul dua lewat lima menit, berita pertama dari pertempuran itu mulai berdatangan ke [komando pusat] Nomor Sepuluh,” kenang jurnalis-cendekiawan Mesir Mohamed Heikal dalam bukunya, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan (1984).
“Presiden Sadat dan [Panglima Perang] Ahmad Ismail mendengarkan dengan takjub. Seolah-olah mereka hanya sedang menyaksikan latihan perang, ‘Misi berhasil... misi berhasil’. Semuanya terdengar terlalu bagus untuk bisa dipercayai,” lanjut Heikal (hlm. 40).
Para komandan Israel pun mendengarkan dengan rasa tidak percaya saat tentara mereka di benteng Yom Kippur—berarti Hari Penebusan bagi umat Yahudi—menyembunyikan tanda peringatan dan menyatakan posisinya tak dapat dipertahankan di hadapan pasukan musuh. Tank Suriah menyerbu Israel dan menekan jauh ke Dataran Tinggi Golan. Angkatan udara Mesir dan Suriah merangsek ke dalam wilayah Israel untuk menyerbu sejumlah pos militer utama.
Ketika militer Israel bergegas meluncurkan pasukan angkatan udara, jet tempur mereka dicegat rudal SAM 6 Soviet begitu mencapai garis depan. Hilang sudah bayangan kemenangan udara Israel pada Perang 1967. Tank Israel yang dikirimkan untuk membantu di sepanjang Bar-Lev Line pun menghadapi kejutan serupa. Mereka menghadapi infanteri Mesir yang dipersenjatai peluru kendali antitank bikinan Soviet yang menghancurkan sekian banyak unit lapis baja Israel.
Atas keberhasilan itu, insinyur militer Mesir mempersiapkan pompa air tekanan tinggi dan jalan bagi pasukan Mesir untuk melewati garis depan Israel menuju Semenanjung Sinai. Jembatan ponton dihamparkan di atas kanal untuk digunakan tentara dan kendaraan lapis baja menyeberangi bantaran timur dan masuk ke Sinai.
Menurut Eugene Rogan dalam The Arabs: A History (2011), pada pengujung hari pertama pertempuran, sekitar 80.000 prajurit Mesir telah menyeberangi Bar-Lev Line dan menggali parit sekitar 4 kilometer di Sinai. Di front utara, pasukan Mesir menimbulkan kerugian besar pada tank-tank dan pesawat Israel dalam serangan di dekat Danau Tiberias. Berkat strategi kejutan yang nyaris menyeluruh, keunggulan kini berada di tangan Mesir dan Suriah dalam jam-jam pembukaan perang, saat Israel tergesa-gesa dan panik untuk menanggapi ancaman terbesar yang pernah dihadapi negara Yahudi itu (hlm. 529).
Militer Israel berhasil mengumpulkan kekuatan dan melakukan serangan balik. Dalam waktu 48 jam, tentara cadangan berhasil disebarkan untuk mempertahankan posisi di Sinai dan memusatkan serangan di Golan. Mereka berharap mampu mengalahkan Suriah, sebelum berkonsentrasi pada pasukan Mesir yang lebih besar.
Sebagai tanggapan atas konsolidasi pasukan Israel, infanteri dan unit kendaraan lapis baja Irak, Arab Saudi, dan Yordania dikirim ke Suriah untuk menghadapi serangan balik Israel di Golan. Israel dan negara-negara Arab menderita korban berat dan menghabiskan cadangan persenjataan dan amunisi mereka pada pertempuran paling ganas dalam konflik Arab-Israel itu (hlm. 530).
Ketegangan yang Menyeret Dua Adidaya
Dalam A History of Modern Israel (2013), Colin Shindler mendedahkan bahwa pemerintahan Nixon menyadari bahwa mereka berada dalam posisi sulit. Mereka ingin memenangkan dunia Arab, tetapi tidak dengan mengorbankan keamanan Israel. Dalam situasi Perang Dingin, Amerika bertekad bahwa Israel, dengan persenjataan yang dipasok dari Amerika, harus menang atas negara-negara Arab yang didukung Soviet. Tatkala Israel beralih ke AS dengan permintaan mendesak agar memasok kembali persenjataan mereka yang kian menipis, Nixon menyetujui undang-undang pada 18 Oktober untuk mengirimkan paket persenjataan senilai $2,2 miliar ke Israel (hlm. 123).
Sikap AS yang terang-terangan mendukung Israel ini menyebabkan dunia Arab murka. Satu demi satu negara-negara Arab memberlakukan embargo menyeluruh pada Amerika. Produksi minyak Arab turun 25% dan harga minyak melonjak. Puncaknya terjadi pada Desember 1973 ketika harga minyak menyentuh $11,65 per barel.
Selama enam bulan, harga minyak meroket empat kali lipat. Ini sangat meresahkan negara-negara Barat dan merugikan konsumen. Negara-negara Barat menghadapi tekanan rakyat mereka untuk mengakhiri embargo minyak. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis minyak adalah mengatasi konflik Arab-Israel. Sadat telah mencapai tujuan strategisnya dan memaksa Amerika Serikat memulai kembali diplomasi regional (hlm. 124).
Pasukan Sadat semakin lemah jika perang itu semakin lama berlangsung. Ahron Bregman dalam Israel’s Wars: A History since 1947 (2000) menelaah bahwa pada minggu ketiga Oktober, Israel melakukan serangan balasan. Pasukannya bergerak jauh ke dalam wilayah Arab hingga hanya berjarak sekitar 60 mil dari Kairo dan hanya 20 mil dari Damaskus.
Keberhasilan itu diperoleh dengan pengorbanan luar biasa. Sekitar 2.800 tentara Israel tewas dan 8.800 lainnya terluka. Jika mengacu pada populasi Israel dan gabungan negara-negara Arab, jumlah korban di pihak Israel secara proporsional jauh lebih merugikan dibandingkan 8.500 tentara Arab yang tewas dan hampir 20.000 terluka dalam perang itu (hlm. 68).
Serangan balik Israel meningkatkan ketegangan baru antara kedua negara adidaya. Saat Israel berhasil mengepung pasukan Mesir di tepi barat Terusan Suez, Perdana Menteri Uni Soviet Leonid Brezhnev mengirimkan sepucuk surat kepada Nixon. Dalam suratnya, Brezhnev menyerukan tindakan diplomatik bersama. Setelah beberapa jam ketegangan yang meningkat, kedua negara adidaya sepakat menggabungkan kekuatan untuk menyerukan upaya diplomatik guna mengakhiri Perang Yom Kippur.
Setelah perang intensif selama 16 hari, kedua pihak sudah siap untuk meletakkan senjata dan menyepakati genjatan senjata yang dinegosiasikan melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 22 Oktober 1973. Pada hari yang sama, DK mengeluarkan Resolusi 338 untuk mempertegas Resolusi 242 yang menyerukan penyelenggaraan konferensi perdamaian melalui pertukaran tanah.
Pada Desember 1973, PBB akhirnya menyelenggarakan konferensi internasional di Jenewa untuk membahas masalah tanah Arab yang diduduki Israel pada 1967 sebagai langkah pertama menuju resolusi yang adil dan abadi atas konflik Arab-Israel.
Konferensi Jenewa terbukti tak menghasilkan keputusan apapun. Mesir menyebut Tepi Barat sebagai wilayah Palestina dan merusak posisi negosiasi Yordania. Yordania merasa Mesir sedang menghukum mereka karena tidak ambil bagian dalam Perang Yom Kippur.
Menteri Luar Negeri Yordania Samir al-Rifa’i menyerukan penarikan seluruh tentara Israel dari semua wilayah Arab yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Sementara Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menegaskan bahwa Israel tidak akan kembali ke garis batas 1967 dan menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tak terpisahkan.
Satu-satunya hasil penting dari konferensi itu adalah penciptaan bersama kelompok kerja militer Mesir-Israel untuk merundingkan penarikan mundur tentara Mesir dan Israel dari Sinai.
Sebagai buntut dari kegagalan konferensi itu, Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger memulai upaya diplomasi gencar untuk mengadakan perjanjian penarikan mundur tentara antara Israel dan tetangga Arab-nya. Perjanjian disepakati antara Mesir dan Israel pada 18 Januari 1974 dan antara Suriah dan Israel pada Mei 1974.
Lewat perjanjian tersebut, Mesir mendapatkan kembali seluruh tepi timur Terusan Suez, dengan zona penyangga yang dikendalikan PBB. Suriah juga memperoleh kembali sepotong wilayah Golan yang hilang dalam Perang Juni 1967, diiringi pula penempatan tentara penyangga PBB.
Dengan berakhirnya perang dan diplomasi gencar yang dilakukan setelahnya, negara-negara Arab menyatakan tujuan mereka telah tercapai dan mengakhiri embargo minyak pada 18 Maret 1974.
====================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan