Menuju konten utama
Mozaik

Rachel Corrie, Aktivis Pro Palestina Digilas Buldoser Israel

"Dia adalah bagian dari sejarah kota kami. Bahkan anak-anak kecil di kota ini (Rafah) yang lahir setelah kematiannya, juga mengenalnya."

Rachel Corrie, Aktivis Pro Palestina Digilas Buldoser Israel
Header Mozaik Rachel Corrie. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada akhir tahun 2002, Rachel Corrie mengajukan proyek kota kembar (sister city) sebagai tugas akhir studinya di Evergreen State College, Olympia, negara bagian Washington, Amerika Serikat.

Ia memilih kota kelahirannya, Olympia, dengan kota Rafah di Gaza, Palestina. Pilihan itu diambil tak lama setelah mendengar cerita dan pengalaman dari salah satu rekannya yang pernah terlibat dalam gerakan aktivis di Palestina bersama International Solidarity Movement (ISM). Sejak saat itu, ia juga memutuskan bergabung sebagai aktivis dari LSM pro-Palestina.

Seturut Joshua Hammer dalam artikel "The Death of Rachel Corrie" di Mother Jones, ia berangkat pada 22 Januari 2003 dari Seattle menuju Yerusalem Timur, Palestina. Selama dua hari ia mengikuti pelatihan sebagai aktivis di markas International Solidarity Movement di Tepi Barat.

Setelah pelatihan, bersama rekannya yang juga berasal dari Olympia, ia melanjutkan perjalanan menuju Rafah di perbatasan Gaza-Mesir dengan melewati perbatasan Erez.

Setibanya di Rafah, keduanya bergabung dengan para aktivis lain dan mendirikan sebuah kemah di blok J, di wilayah pemukiman padat penduduk, lalu membentangkan spanduk bertuliskan "warga internasional".

Namun, itu bukan jaminan bagi mereka untuk terbebas dari ancaman. Selama Intifada II (2000-2005), dari menara-menara pengawas, tentara Israel tak sungkan mengarahkan peluru-pelurunya ke arah kemah para aktivis.

Mengutip The Guardian, berdasarkan surat elektronik yang Rachel Corrie terima dari seorang serdadu sersan satu pasukan cadangan IDF (Israel Defense Force), mereka menuding para aktivis kerap menuliskan informasi yang tidak benar tentang militer Israel.

Selain gangguan tentara Israel, pada hari-hari pertama kedatangannya ke Rafah, para aktivis tidak mendapat sambutan hangat dari warga Palestina. Mereka dicurigai sebagai mata-mata.

Ia dan aktivis lainnya lalu melakukan sejumlah upaya untuk mengintegrasikan diri dengan penduduk Palestina. Misalnya dengan mempelajari beberapa frasa bahasa Arab, mengajarkan bahasa Inggris, tampil sebagai penggugat kebijakan George W. Bush dalam sidang tiruan, dan mempromosikan pertukaran budaya untuk proyek kota kembar.

Mereka juga membagikan kartu nama dan selebaran dengan kalimat yang menegaskan bahwa mereka datang untuk Palestina dan menentang pendudukan yang dilakukan Israel.

Perlahan mereka mulai diterima. Malah setelah itu mereka sering dijamu dengan segala hidangan hingga diperkenankan untuk menginap.

Hari demi hari, Rachel kian akrab dengan suara tembakan. Ia tak sungkan tampil sebagai perisai penduduk sipil dalam beberapa operasi militer Israel di wilayah permukiman Palestina.

"Kami tidak bersenjata. Kami bukan ancaman bagi kalian. Tolong jangan tembak," ujarnya menggunakan megafon.

Namun, keberadaan dan upaya para aktivis tidak berhasil menghentikan aksi militer Israel terhadap warga sipil. Seperti ia kisahkan dalam surat elektronik yang ditujukan kepada ibunya, buldoser Israel meratakan 25 rumah yang menjadi tempat tinggal bagi 300 penduduk Palestina.

"Sekitar 150 orang [Palestina] dikumpulkan dan dikurung di luar permukiman dengan tembakan di atas kepada dan di sekitar mereka," tulisnya dikutip dari The Guardian.

Dilindas Buldoser Caterpillar D9R

Pada 14 Maret 2003, ia dan beberapa kawannya diperbantukan oleh Direktur Air kota Rafah untuk menjaga proyek perbaikan sumur-sumur yang dirusak buldoser Israel yang menyebabkan pasokan air untuk penduduk Palestina terputus.

Setelah dua hari melakukan penjagaan, sekitar pukul 14.00 waktu setempat, ia menerima panggilan telepon. Kawannya mengabarkan dua buldoser Caterpillar D9R milik Israel sedang bergerak menuju daerah sekitar rumah apoteker bernama Samir Nasrallah di wilayah Hai Al-Salam, perbatasan Gaza-Mesir, yang kerap ia sambangi.

Pasukan Israel mengklaim sedang menjalankan operasi penyisiran terhadap bom-bom yang ditanam pejuang Palestina. Sementara para aktivis International Solidarity Movement menilai dua buldoser itu hendak menghancurkan permukiman penduduk Palestina.

Ia bergegas menuju lokasi dan tiba sekitar 20 menit kemudian. Bersama tujuh orang lainnya, mereka membentangkan spanduk dan mengeraskan suara dengan megafon, menyeru agar buldoser berhenti.

Tentara Israel menjawabnya dengan melemparkan granat kejut dan gas air mata ke arah para aktivis. Sekitar dua puluh orang warga Palestina mencoba memberi perlawanan dengan melempar balik granat kejut ke arah buldoser. Namun, perlawanan dapat segera dipatahkan setelah tentara Israel kembali menembakkan gas air mata.

Menjelang pukul 17.00, salah satu buldoser bergerak semakin dekat dengan rumah Samir Nasrallah. Rachel Corrie segera berlari ke tumpukan tanah dan berjongkok, seperti posisi orang tengah. Ia menyeru operator buldoser untuk segera menghentikan kendaraannya.

Namun buldoser semakin mendekat. Ia lalu berdiri untuk memberi tanda. Nahas, buldoser tidak kunjung berhenti. Tumpukan tanah mulai bergeser, ia terjatuh dan tertimbun tanah, tubuhnya dilindas.

Enam aktivis lainnya segera membawa Rachel Corrie ke tempat yang cukup aman. Dalam kondisi kaki terpelintir, bibirnya terbelah, dan darah yang menetes di pipi, ia berkata, "punggungku patah." Lalu ia pingsan.

Ambulans tiba dan membawanya ke Rumah Sakit Abu Yusuf Al Najjar. Berbagai upaya penyelamatan dilakukan, namun ketika jarum jam menunjuk pukul 18.30, jiwanya tak tertolong.

Berdasarkan hasil diagnosa, terdapat tiga penyebab utama kematiannya: "kerusakan pada paru-paru, penyumbatan pada saluran pernafasan, dan pendarahan yang parah," tutur Dr. Ali Moussa seperti dikutip Joshua Hammer dalam artikel "The Death of Rachel Corrie" di Mother Jones.

Infografik Mozaik Rachel Corrie

Infografik Mozaik Rachel Corrie. tirto.id/Tino

Menuntut Keadilan

Berita kematiannya segera tersebar. Sejumlah warga Olympia menyalakan lilin sebagai bentuk duka cita, seraya menyerukan penyelidikan kasus kematian perempuan kelahiran 10 April 1979 itu. Namun beberapa pihak, termasuk di negaranya, justru menyebut kematiannya akibat kesalahannya sendiri.

Pada 2005, kedua orang tuanya mengajukan gugatan perdata kepada Israel. Menurut mereka, anaknya dibunuh secara sengaja oleh militer Israel.

"Mereka menuntut ganti rugi simbolis sebesar satu dolar AS," tulis Vakkas Dongantekin, dikutip dari Anadolu Ajansi.

Setelah menjalani 15 kali persidangan dengan menghadirkan 23 orang saksi, pada 2012 diputuskan Pemerintah Israel tidak mesti bertanggung jawab.

"Kematian Corrie adalah kecelakaan [...] tidak ada kelalaian dari IDF," ujar hakim Oded Gershon dikutip dari The Sydney Morning Herald.

Di tengah kecaman terhadap keputusan pengadilan, Rachel Corrie dikenang sebagai martir bagi penduduk Palestina, khususnya di kota Rafah. Ia diabadikan sebagai nama jalan di Palestina dan nama dari salah satu armada Gaza Freedom Flotilla.

"Dia adalah bagian dari sejarah kota kami, dan lingkungan Al-Salam, tempat dia terbunuh. Bahkan anak-anak kecil di kota ini yang lahir setelah kematiannya [juga] mengenalnya," tutur Mohammad Gharib, koordinator acara olahraga tahunan untuk Rachel Corrie di Rafah, dikutip dari Middle East Minor.

Baca juga artikel terkait RACHEL CORRIE atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi