tirto.id - Kapal Belanda berlabel “De Voetboog” berlabuh di Madagaskar pada Juli 1693 itu. Inilah tempat pengasingan terbaru bagi Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, seorang ulama asal Gowa, Sulawesi Selatan, yang dibuang paksa dari tanah airnya karena dianggap menentang Belanda.
Syekh Yusuf menikahi putri Kesultanan Gowa sebelum merantau hingga ke Banten dan bersahabat dengan Pangeran Surya. Setelah sang pangeran naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), ia diangkat sebagai mufti Kesultanan Banten. Di sinilah, Syekh Yusuf bersama Sultan Ageng Tirtayasa mengenalkan Islam sebagai prinsip kemerdekaan (Zaim Uchrowi, Menggagas Renaisans Indonesia, 2004:74).
Sultan Ageng Tirtayasa ditahan Belanda dan dibui di Batavia hingga wafat pada 1683. Tak lama berselang, September 1684, Syekh Yusuf juga ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di tempat yang kini bernama Srilanka ini, ia menyebarkan dakwah Islam hingga memiliki ratusan murid.
Diaspora Syekh Yusuf: Srilanka, Madagaskar, Cape Town
Belanda yang khawatir atas sepak-terjang Syekh Yusuf lantas memindahkannya ke Madagaskar atau yang kala itu masih bernama Zandvliet. Bersama 49 pengikutnya yang sebagian besar orang Melayu, Syekh Yusuf tetap bersyiar Islam di pengasingan yang baru ini. Bahkan, warga Melayu kemudian menjadi suku bangsa yang paling berpengaruh di Madagaskar kala itu (FIB-UGM, Sastra: Teori & Metode, 2011:183).
Dari Madagaskar, Syekh Yusuf dipindahkan lagi, masih tetap di kawasan Afrika Selatan, yakni di Cape Town yang diduduki Belanda sejak tahun 1652. Syekh Yusuf dan orang-orang Melayu pengikutnya lantas membangun kehidupan di sini hingga beranak-pinak dan meninggalkan jejak khas Nusantara yang masih dapat ditemukan sampai sekarang.
Abu Hamid (1994) dalam buku Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, menyebut bahwa Syekh Yusuf adalah peletak dasar kehadiran komunitas muslim di Afrika Selatan dan Srilanka, bahkan dianggap sebagai tokoh berpengaruh yang bersikukuh menentang penindasan atas dasar perbedaan warna kulit.
Inilah yang membuat Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai salah satu inspirator terbaik dan teladan bagi Afrika (Solichin Salam, Syekh Yusuf Singa dari Gowa: Ulama Berkaliber Internasional, 1994:5). Syekh Yusuf dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Melayu itu adalah contoh diaspora yang dialami atau dilakukan oleh nenek moyang bangsa-bangsa di Nusantara.
Diaspora Nusantara Tuan Guru Asal Tidore
Setelah era Syekh Yusuf yang wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699, ada lagi rombongan diaspora dari Nusantara yang datang dan akhirnya membangun kehidupan di Afrika. Rombongan berikutnya itu dipimpin oleh Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam atau lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru.
Tuan Guru lahir di Tidore, Maluku Utara, yang tiba di Cape Town pada 1770 (Alan Mountain, An Unsung Heritage: Perspectives on Slavery, 2004:89). Sama seperti Syekh Yusuf, Tuan Guru diasingkan ke Afrika lantaran menentang Belanda yang mengangkangi Nusantara. Konon, Tuan Guru sebenarnya adalah seorang pangeran dari Kesultanan Tidore meskipun ia lebih memilih jalan dakwah (Abdul Nasier, Saya Asal Macassar, 2006:75).
Selama lebih dari 11 tahun, Tuan Guru ditahan di Pulau Robben yang berlokasi di Teluk Table, sekitar 7 km di sebelah barat pesisir Cape Town. Pulau ini memang dijadikan sebagai tempat buangan bagi tahanan politik. Dua pemimpin Afrika, Makanda Nxele dan Nelson Mandela, kelak juga mendekam di Pulau Robben ini sebagai tahanan.
Sebelum dipindah ke Cape Town, Tuan Guru bersyiar Islam di Pulau Robben (Bunyamin Marasabessy, Tuan Guru Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam: Perlawanan Terhadap Imperialisme Belanda dan Pengasingan di Cape Town, 2005). Tuan Guru wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699, meninggalkan ratusan pengikut yang kemudian mewariskan berbagai produk budaya khas Nusantara di Afrika Selatan.
Warisan Diaspora Nusantara di Afrika
Amat berpengaruhnya Syekh Yusuf, yang kemudian dilanjutkan Imam Abdullah alias Tuan Guru, meninggalkan jejak yang jelas dari diaspora orang-orang Nusantara di Afrika Selatan, khususnya di Madagaskar dan Cape Town,
Di Cape Town, ada daerah bernama Macassar Faure atau Kampung Makassar, merujuk pada asal-usul Syekh Yusuf dan para pengikutnya yang berasal dari Sulawesi Selatan. Keturunan Syekh Yusuf di sana dikenal sebagai orang Cape Malay yang kebudayaannya bisa dilacak kemiripannya dengan budaya bangsa Indonesia (Lona Hutapea, Di Balik Gerbang, 2016:211).
Salah satu warisan diaspora Nusantara di Afrika yang paling kentara adalah bahasa, seperti yang diakui oleh Andrajati, mantan Konsul Jenderal RI di Cape Town.
“Setidaknya terdapat 350 kosa kata bahasa Melayu yang masih digunakan di Cape Town,” kata Andrajati dalam diskusi yang diselenggarakan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bersama Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gajah Mada (PSSAT-UGM) di Yogyakarta pada 20 Mei 2009.
Seperti dikutip dari MelayuOnline.com (24 Maret 2009), kosa kata yang berasal dari bahasa Melayu tersebut antara lain: minta maaf (mohon maaf), terama kasie (terima kasih), sembayang (beribadah), wagtoe (waktu), labarang (lebaran), badjoe (baju), tusok konde (tusuk konde), dan masih banyak lagi.
Tak hanya bahasa, adat-istiadat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh orang-orang Melayu di Indonesia juga masih berlaku di Cape Town sampai saat ini. Beberapa di antaranya adalah tradisi memotong rambut bayi, menguburkan jenazah, serta peringatan kematian setelah 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya.
Inilah contoh diaspora orang Indonesia yang ternyata sudah dijalani oleh leluhur Nusantara sejak abad ke-17, ini merujuk pada pengertian istilah diaspora yang dirumuskan oleh Antje Missbach (2012) dalam buku Separatist Conflict in Indonesia: The Long-distance Politics of the Acehnese Diaspora.
Missbach dalam konteks ini memaknai diaspora dengan kesan konotatif, yakni orang-orang yang meninggalkan tanah airnya karena pengalaman negatif, semisal lantaran pengusiran, perlakuan tidak adil, pemiskinan, penganiayaan, atau trauma. Kesan konotatif ini untuk membedakan “diaspora” dengan “migrasi” juga “merantau”.
Apa yang dialami oleh Syekh Yusuf maupun Tuan Guru beserta para pengikutnya masuk dalam pemaknaan diaspora versi Missbach tersebut. Mereka berdiaspora sampai ke Afrika Selatan karena diusir, diperlakukan tidak adil, alias dibuang atau diasingkan oleh penjajah Belanda.
Lebih dari itu, pengalaman Syekh Yusuf dan Tuan Guru juga selaras dengan pengertian diaspora menurutEncyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World yang dihimpun oleh Melvin Ember, Carol R. Ember, dan Ian Skoggard, (2004). Disebutkan, diaspora berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari kata diasperien. Istilah ini terdiri dari dua suku kata, yakni dia yang berarti “lintas” atau “penyebaran”, dan sperien yang bermakna “menanam benih”.
“Penyebaran” dan “menanam benih” itulah yang dilakukan Syekh Yusuf dan Tuan Guru di tanah pembuangan. Mereka menyebarkan ajaran Islam sekaligus menanamkan benih berupa adat-istiadat, tradisi, atau kebiasaan orang-orang Melayu di Afrika Selatan. Benih-benih warisan diaspora Nusantara itu ternyata tumbuh subur di benua hitam dan masih lestari hingga kini.
Ya, diaspora bukan sekadar fenomena perpindahan sekelompok manusia laiknya migrasi atau merantau, tapi mengandung makna yang ternyata lebih dalam dan meninggalkan pengaruh besar ditempatnya yang baru.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS