Menuju konten utama

Belajar Tax Amnesty dari Nelson Mandela

Pemerintah Afrika Selatan sukses menjalankan kebijakan tax amnesty di negerinya. Sementara Argentina, Chili dan Kolumbia gagal. Pemerintahan Jokowi dituntut melakukan reformasi perpajakan.

Belajar Tax Amnesty dari Nelson Mandela
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi ketua dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan) dan Dirjen Pajak Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi (kanan) saat sosialisasi pengampunan pajak (amnesti pajak), di JI-Expo, Kemayoran, Jakarta, Senin (1/8). [antara foto/puspa perwitasari/ama/16]

tirto.id - Afrika Selatan sukses menjalankan pengampunan pajak atau tax amnesty. Kesuksesan itu tak lepas dari sosok Nelson Mandela. Sebagai pemimpin yang dicintai rakyat, ia mampu melakukan reformasi perpajakan di negaranya.

"Rata-rata negara yang sukses dalam tax amnesty itu karena sudah punya sistem administrasi yang lebih baik, lalu ada kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah. Selain trust, adanya reformasi pajak yang menyeluruh. Di Afrika Selatan, ada komitmen Nelson Mandela yang dipercaya untuk reformasi pajak," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada tirto.id, Selasa (26/7/2016).

Dalam laman resmi presiden.go.id disebutkan, pemerintah Afrika Selatan berhasil menggunakan strategi "Pull and Push" dalam menjalankan program tax amnesty. Pull, yaitu menarik atau memberikan insentif agar wajib pajak tertarik ikut serta dalam program ini. Misalnya penghapusan denda dan bunga pajak terutang atau pembayaran tebusan dengan tarif rendah.

Sementara Push, dilakukan dengan memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman seandainya wajib pajak tidak mau berpartisipasi. Misalnya, peningkatan kuantitas dan kualitas tax audit, strategi pemilihan target penyidikan yang tepat dan transparansi hasil penyidikan, serta sanksi pidana pajak sementara sebelum program tax amnesty diumumkan.

Afrika Selatan telah melaksanakan tax amnesty sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1995, 1996 dan 2003. Akan tetapi, pada 2003, ada special amnesty di mana ruang lingkupnya dibatasi hanya pada pengakuan aset atau wajib pajak yang ada di luar negeri.

Lebih spesifik, amnesti pajak ini dibatasi kepada mereka yang memiliki aset di luar negeri tetapi belum membayar pajak di masa lalu. Dalam tax amnesty tahun 2003, pengampunan pajak hanya terbatas pada PPh Orang Pribadi (Personal Income Tax), termasuk pajak atas warisan (estate duty). Sedangkan PPN dan withholding taxes tidak termasuk dalam program ini.

Masyarakat Afrika Selatan menyambut positif program ini. Hal ini terlihat dari tren pendaftaran secara eksponensial di mana proporsi jumlah wajib pajak dan masyarakat yang mendaftar saat menjelang tenggat waktu melonjak drastis. Total penerimaan uang tebusan tax amnesty mencapai 8 miliar dolar Amerika.

Soekarno hingga SBY

Jika Afrika Selatan sukses, beberapa negara di Amerika latin justru gagal dalam menerapkan pengampunan pajak. Kegagalan disebabkan sistem perpajakan belum baik. Juga tidak adanya upaya perbaikan reformasi perpajakan setelah dilakukan pengampunan pajak.

"Sebagian negara Amerika Latin dan berkembang gagal. Contohnya Argentina, Chili, Kolumbia dan Filipina. Kegagalan negara tax amnesty karena sistem perpajakannya belum baik," kata Prastowo.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejatinya, tax amnesty di era pemerintahan Jokowi yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bukan yang pertama.

Pada tahun 1964, Presiden Soekarno telah membuat kebijakan tax amnesty melalui Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Sayangnya gagal. "Kegagalan tax amnesty pada 1964 karena adanya G 30 S," kata Presiden Joko Widodo, di JIEXpo Kemayoran, Jakarta (1/8/2016).

Pengampunan pajak juga dilakukan di masa Soeharto dan Orde Baru, saat dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak. Selanjutnya di era Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan Sunset Policy melalui UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kemudian pada tahun 2015, di era Presiden Jokowi, sempat keluar reinventing policy melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29 dan 91 tahun 2015.

Sayangnya, kebijakan tax amnesty di era Soeharto dan SBY gagal karena pemerintah tidak melakukan reformasi perpajakan, seperti penguatan sistem perpajakan, peraturan, maupun kelembagaannya.

Seolah tak ingin mengulang kegagalan yang sama, pemerintahan Presiden Jokowi tampaknya sudah mencoba mengantisipasi. Menurut Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, tax amnesty kali ini justru awal dari reformasi perpajakan.

Setelah lahir UU Nomor 11 tahun 2016, menurut Hestu, bakal ditindak lanjuti dengan merevisi Undang-Undang Perpajakan lainnya, seperti UU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

"Kalau KUP sudah masuk ke legislasi DPR dan sekarang sudah siap untuk dibahas bersama wakil rakyat. UU PPh sendiri sudah masuk registrasi. Kita menunggu DPR kapan mau bahas sama pemerintah," kata Yoga kepada tirto.id, pada Senin (25/7/2016).

Langkah berikutnya, UU Perbankan juga harus diubah karena pada tahun 2018 Indonesia bakal memasuki keterbukaan informasi internasional. “Tidak mungkin UU Perbankan ini menjaga kerahasian nasabah seperti sekarang terhadap perpajakan,” katanya. Jadi kita tunggu saja berbagai kebijakan yang mendukung reformasi perpajakan.

Baca juga artikel terkait TAX AMNESTY atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti