tirto.id - Munculnya empat bank asing di antara 18 bank yang ditunjuk sebagai penerima dana repatriasi hasil tax amnesty atau pengampunan pajak memunculkan pro dan kontra. Bagi yang mendukung, keterlibatan bank asing dinilai perlu karena memiliki jangkauan yang luas. Sementara bagi yang kontra, mereka menilai dilibatkannya bank asing akan mengurangi esensi dari repatriasi, di samping juga tidak bisa membantu mengembangkan bank BUMN.
Mengenai keterlibatan bank asing ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa, terdapat 18 bank persepsi khusus yang ditunjuk pemerintah untuk menampung dana repatriasi. Empat di antaranya memang merupakan bank asing, yakni Citibank, DBS, Standard Chartered, dan Deustche Bank AG. Sebelumnya, total bank persepsi memang 19 bank, sebelum HSBC mengundurkan diri.
“Secara umum untuk repatriasi, ada kriteria-kriteria yang ditetapkan di dalam peraturan menteri keuangan sehingga yang bisa masuk ke situ hanya 18 bank,” kata Hestu kepada tirto.id, pada Senin (25/7/2016).
Kekhawatiran terhadap munculnya bank-bank asing diketahui oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, masyarakat tidak perlu khawatir uang bakal kembali lari ke luar negeri. Pasalnya, ada kebijakan uang harus "dikunci sehingga tidak bisa pergi lagi". “Minimal tiga tahun,” katanya, pada Selasa (19/7/2016).
Penjelasan lebih jauh disampaikan oleh Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan, bahwa keikutsertaan bank asing sebagai penampung dana tax amnesty tidak menjadi masalah. Lembaga keuangan tersebut sudah melalui proses seleksi dan berbadan hukum Indonesia. Artinya, secara otomatis juga mengikuti aturan yang ada di Indonesia dan bakal diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pemerintah tampaknya memang sangat berhati-hati soal penunjukan bank asing ini. Bambang Brodjonegoro ketika masih menjabat sebagai menteri keuangan memberi beberapa syarat khusus bagi perbankan asing, yakni harus tanda tangan kontrak dan mengikuti promosi tax amnesty.
"Kemudian, kita juga harus dapat pernyataan dari pemilik modal di luar negeri, bahwa bank pusatnya yang ada di luar negeri mendukung tax amnesty ini di Indonesia dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan upaya kita dalam memaksimalkan tax amnesty dan repatriasi," kata Bambang, di Gedung DPR, pada Selasa (19/7/2016).
Bambang pun menyebut alasan mengikutsertakan bank asing, yakni agar proses repatriasi berjalan lancar. Para pemilik uang yang menempatkan dananya di luar negeri, biasanya menggunakan jasa bank-bank internasional. Sehingga apabila uangnya harus dipindahan ke Indonesia, mereka harus tetap mendapatkan keamanan dan kenyamanan dari pihak bank.
"Karena tax amnesty ini yang penting repatriasi, jadi kita ingin mereka senyaman mungkin mau pindah ke Indonesia. Jadi bank asing itu dibuka, tapi ada syarat tambahan," tandasnya sembari mengancam bakal menindak tegas bank asing yang melanggar syarat dari pemerintah.
Tekanan dan Lobi
Kekhawatiran munculnya bank asing menjadi bank persepsi khusus di antaranya disampaikan oleh Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Menurut Yustinus, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan bank milik pemerintah atau bank swasta nasional. “Harusnya kalau tujuannya untuk membangun perbankan nasional, tax amnesty merupakan kesempatan utama bagi bank BUMN. Beri kesempatan kepada bank BUMN karena selama ini mereka juga yang berkontribusi membantu pemerintah,” katanya kepada tirto.id, pada Selasa (26/7/2016).
Menjadi tidak adil apabila bank asing juga dipersilahkan menerima dana repatriasi. Sebab, bank asing hampir pasti mempunyai instrumen perbankan yang lebih bagus, sehingga bisa lebih dipercaya oleh para pemilik uang peserta tax amnesty.
“Mereka sudah punya kompetensi manajemen yang bagus. Sedangkan perbankan kita sedang belajar. Dalam kondisi seperti ini, tidak bijak dan tidak adil kalau membuka permainan atau kompetisi antara perbankan nasional dengan asing. Ya pasti kita kalah,” kata Yustinus.
Oleh sebab itulah, Yustinus meyakini masuknya bank-bank asing merupakan hasil lobi dan tekanan terhadap pemerintah. Dari mana datangnya tekanan itu?
“Kemungkinan dari dua pihak. Pertama, tekanan dari perbankan asing yang ingin menampung dana tax amnesty karena ini peluang besar. Kedua, tekanan dari wajib pajak besar atau pengusaha besar yang ingin uangnya disimpan di perbankan asing di Jakarta,” katanya.
Kekhawatiran Yustinus disanggah oleh Johnny G Plate, Wakil Ketua Komisi XI DPR. Menurutnya, bank asing harus membuat surat perjanjian dengan pemerintah bahwa mereka tidak melakukan tindakan-tindakan berlawanan dengan upaya memaksimalkan tax amnesty.
Apalagi dana repatriasi jumlahnya sangat besar, sekitar Rp 500 triliun hingga Rp 1.000 triliun. “Untuk kepentingan bank asing ya enggak mungkin, toh dana ini tidak bisa keluar, harus di dalam negeri,” katanya.
Johnny juga sepakat bahwa penunjukan bank asing bakal memudahkan peserta tax amnesty. Dia mencontohkan jika peserta tax amnesty berada di Paris. Mereka bakal kesulitan jika harus melapor ke BNI, Mandiri, atau BRI yang tidak ada di Paris. “Pemerintah membutuhkan bank asing untuk memberikan kemudahan bagi peserta agar tak sulit,” katanya.
Namun Johnny berharap kepada bank-bank pemerintah yang memiliki cabang di luar negeri agar aktif memberi informasi kepada para calon peserta tax amnesty. “Ada BNI di London dan BRI di Singapura. Mereka aktif dan informasi produk-produk yang bagus agar peserta tertarik,” katanya.
Pemerintah harus menyiapkan berbagai perangkat guna mendukung agar dana repatriasi benar-benar bisa dimanfaatkan secara maksimal. Salah satunya yakni memperketat pengawasan terhadap bank asing yang menerima dana tersebut.
Yustinus khawatir jika OJK dan Kemenkeu tak bisa sepenuhnya memantau aliran dana repatriasi yang masuk ke bank asing. “Siapa yang bisa mengawasi arus pembukuan bank asing di kantor pusatnya dan Indonesia?” tanyanya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho