tirto.id - Pemerintah berencana akan memberlakukan pengampunan pajak periode 3 alias Tax Amnesty Jilid 3. Lalu, kapan dan untuk siapa saja pengampunan pajak tersebut?
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025.
Pada 19 November 2024, Komisi X DPR RI telah mengadakan Rapat Paripurna yang menyepakati RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Menyusul hal tersebut, kabar mengenai Tax Amnesty Jilid 3 menjadi perbincangan. RUU Tax Amnesty ini muncul pertama kali sesaat setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan pemerintah dan DPD mengadakan rapat kerja.
Saat itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR RI. Tak lama kemudian, Komisi XI DPR mengusulkan kepada Baleg DPR untuk mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty.
Jauh sebelum itu, pemerintah telah mengeluarkan dua kali kebijakan Tax Amnesty yakni Jilid 1 pada 18 Juli 2016-31 Maret 2017, dan Jilid 2 pada 1 Januari-30 Juni 2022 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Penyebab Tax Amnesty Jilid 3 Diberlakukan dan Mulai Kapan?
Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi Amro, Tax Amnesty ini dicanangkan akan dibahas mulai 12 Januari 2025.
Fauzi Amro membeberkan bahwa program Tax Amnesty Jilid 3 ini dicanangkan akan mulai dijalankan pada 2025 setelah pemerintah dan DPR menyepakati penerapan program tersebut.
"Kita kan 5 Desember sudah sidang reses. Itu sampai 12 Januari kalau enggak salah. Mungkin setelah 12 Januari kita bicarakan tax amnesty, langsung kita bicarakan," kata Fauzi Amro seusai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024 di Jakarta, Jumat (29/11/2024) dikutip CNBC.
Jika mengacu pada hal tersebut, artinya pemerintah belum memastikan tanggal pemberlakuan program Jilid 3 ini. Regulasi tersebut masih akan melewati sejumlah proses.
Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Misbakhun, menjelaskan RUU Taz Amnesty diusulkan untuk menguatkan sistem perpajakan nasional. Regulasi ini juga merupakan cara untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan di sektor pajak hingga membangun basis perpajakan.
“Tujuannya amnesti itu adalah mencari jalan keluar, membangun tax base dan sebagainya. Nanti diskusi teknis,” terang Misbakhun.
RUU Tax Amnesty yang akan diterapkan juga diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi pajak untuk menutupi besaran defisit APBN 2025.
Selain itu, program ini juga diklaim sebagai tindak lanjut dari amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mewajibkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang direncanakan naik 12% mulai Januari 2025.
Tax Amnesty Jilid 3 Rencananya Berlaku untuk Siapa Saja?
Rancangan pembahasan RUU Tax Amnesty Jilid 3 diklaim akan mengevaluasi pelaksanaan program Tax Amnesty Jilid 1.
Pasalnya, program Tax Amnesty sebelumnya dinilai masih banyak pengemplang pajak yang mengikuti program pengampunan pajak tersebut, sebelum sepenuhnya mendeklarasikan 100 persen hartanya serta memenuhi kewajiban pembayaran pajak kepada pemerintah.
Mengacu pada hal tersebut, program Jilid 3 ini mayoritasnya akan menargetkan wajib pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty Jilid 1, bukan pengemplang pajak baru.
Artinya, program ini nantinya akan difokuskan pada wajib pajak yang telah menjadi peserta program Tax Amnesty di jilid 1.
RUU Tax Amnesty ini juga nantinya akan mengatur konsep pemberian sanksi kepada para pengemplang pajak yang tak memenuhi kewajiban perpajakan.
Di lain pihak, pengamat hukum dan pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho, mengkritik RUU Tax Amnesty yang dinilai dapat membuka jalan bagi para pelanggar pajak untuk bebas dari tanggung jawabnya.
Hardjuno juga mengkritik DPR RI yang lebih mementingkan pengampunan pajak dibanding RUU Perampasan Aset. Padahal menurutnya, perampasan aset bagi para koruptor jauh lebih penting dan mendesak.
"Langkah ini menuai pertanyaan mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan?" tutur Hardjuno dikutip Antara.
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Balqis Fallahnda & Dipna Videlia Putsanra