tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyepakati 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025-2029. RUU tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty menjadi salah satu dari 41 RUU yang bakal dibahas oleh Komisi XI DPR mulai tahun depan.
Berdasarkan draf prolegnas prioritas 2025 yang disepakati saat Rapat Kerja (Raker) pada Senin (18/11/2024), naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disiapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Meski sempat ditahan untuk tetap menjadi usul inisiatif DPR, namun surat dari Komisi XI DPR bernomor B/14608/LG.01.01/11/2024 membuat Baleg semakin mantap untuk membawa RUU Tax Amnesty ke rapat paripurna pada Selasa (19/11/2024).
“Kalau kemudian mau dijadikan prolegnas prioritas, maka sebagai Ketua Komisi XI yang selama ini bermitra dengan Menteri Keuangan, yang didalamnya itu ada Direktorat Jenderal Pajak, maka Komisi XI berinisiatif untuk kemudian mengusulkan itu menjadi prioritas di 2025,” jelas Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, saat ditemui awak media, usai Sosialisasi UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045, di Kementerian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).
Anggota DPR dari fraksi Partai Golongan Karya itu mengakui, masuknya RUU Tax Amnesty ke Raker Baleg hingga kemudian diketok di rapat paripurna cukup tiba-tiba. Karenanya, ke depan dia juga masih harus membahas RUU ini dengan pemerintah, yang dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan.
“Kita lagi membahas substansinya. Kalau saya mengatakan, kalau memang sudah ada di dalam prolegnas, prolegnas long list itu kan dibahas bersama pemerintah. Nah, ketika akan dijadikan prioritas, maka berinisiatif lah Komisi XI. Nah, kalau kemudian dikatakan jilid 3, bisa jadi jilid 3,” terang Misbakhun.
Dengan belum adanya pembahasan bersama pemerintah, dia juga belum dapat memastikan sektor apa saja yang nantinya akan mendapatkan pengampunan pajak. Namun, dia ingin pembahasan RUU Tax Amnesty bisa dilakukan di tahun depan agar nantinya pengampunan pajak ini bisa segera dilakukan dengan menggunakan tanggal batas (cut-off) pada tahun pajak 2024.
“Ini yang harus kita sampaikan. Sama pada saat saya aktif di dua tax amnesty sebelumnya, 2016, dan kemudian berganti nama dengan Pengampunan Sukarela, Pengakuan Sukarela. Di situ kan kita lihat tahun berapa sama berapa. Ini nanti periodenya berapa yang akan kita...window time-nya itu kan penting,” tegas dia.
Apalagi, tax amnesty diusulkan untuk menguatkan sistem perpajakan nasional. Selain itu juga mencari jalan keluar bagi permasalahan di sektor pajak hingga membangun basis perpajakan.
“Tujuannya amnesti itu adalah mencari jalan keluar, membangun tax base dan sebagainya. Nanti diskusi teknis,” terang Misbakhun.
Belum adanya pembahasan antara DPR dengan pemerintah ini diamini oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti. Karena itu, dia mengaku masih perlu mendalami RUU yang diusulkan Baleg DPR RI ini.
“Kami belum melakukan pembahasan terkait hal tersebut. Terkait rancangan Undang-Undang Tax Amnesty, kami akan mendalami rencana tersebut,” kata Dwi singkat, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Rabu (20/11/2024).
Ada Tax Amnesty, tapi Juga Ingin PPN 12%
Sementara itu, masuknya RUU Tax Amnesty ke dalam prolegnas 2025 di tengah rencana pemerintah untuk menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025, menjadikan ini sebuah ironi.
Sebab, pada dasarnya konsep tax amnesty adalah mengampuni para pengemplang pajak. Dan ini bertolak belakang dengan janji dan upaya pemerintah untuk menjalankan kebijakan perpajakan yang lebih adil.
Pada saat yang sama, pemerintah bersikukuh ingin menaikkan tarif PPN dengan alasan menunaikan amanat dari Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Padahal, Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai PPN lebih bersifat universal menyasar seluruh kelompok lapisan masyarakat, tak terkecuali kelas menengah ke bawah.
Dengan dua kali dilaksanakannya tax amnesty, yakni pada 2016-2017 dan Januari-Juni 2022 dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang lebih dikenali dengan Tax Amnesty jilid II, pemerintah seharusnya sudah memegang erat data dari para pengemplang pajak. Sehingga, alih-alih mengampuni para pendosa tersebut, DPR seharusnya meminta pemerintah untuk mengejar kewajiban yang belum dilaksanakan.
Hal ini sekaligus juga dapat menjadi cara pemerintah untuk melakukan intensifikasi perpajakan guna menggali potensi penerimaan dari pajak yang tidak disetorkan kepada negara secara benar.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya memberikan hukuman berupa denda besar kepada para pengemplang pajak ini, daripada menaikkan tarif PPN di tengah daya beli masyarakat yang sedang melambat.
“Saya kira sebenarnya kalau kita bicara bisa diundur atau tidak (kenaikan PPN 12 persen), jawabannya bisa. Tergantung dari bagaimana pemimpinnya tertinggi dalam hal ini Presiden Prabowo meninjau kembali kebijakan ini. Jadi jika misalnya pemerintah mau melihat kebijakan untuk menunda,” ucap Yusuf.
Sebenarnya, untuk menunda atau membatalkan kenaikan tarif pajak ini, Presiden Prabowo Subianto hanya perlu mengeluarkan regulasi yang lebih tinggi tingkatannya dari undang-undang, misalnya Peraturan Presiden (Perpres).
Selain itu, sampai saat ini pemerintah juga sudah dengan mudahnya menganggap undang-undang yang sudah ada bak angin lalu, contohnya adalah terkait penerapan pajak karbon yang juga termaktub dalam UU HPP.
Namun, pajak karbon khususnya untuk sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang seharusnya diterapkan pada 1 April 2022, sampai saat ini belum juga diimplementasikan. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah bisa ditunda untuk sementara waktu.
“Kalau seandainya memang tidak memungkinkan atau kondisinya tidak ideal untuk dilakukan. Jadi saya kira memang masih bisa dilakukan pembatalan,” imbuh dia.
Di sisi lain, Yusuf menilai penerapan tax amnesty di Indonesia cukup ‘unik’ karena jangka waktu yang dibutuhkan untuk menerapkan Tax Amnesty Jilid I dan II hanya berjarak lima tahun. Jika dengan lolosnya RUU Tax Amnesty dalam prolegnas membuat pemerintah menggelar Tax Amnesty Jilid III, pemerintah sangat berbaik hati kepada para pengemplang pajak karena mengampuni dosa-dosa yang mereka lakukan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tak sampai 10 tahun.
“Biasanya, pengampunan pajak itu dilakukan dalam range waktu yang lama. Artinya, kalau misalnya kebijakan pengampunan pajak dilakukan tahun ini, Itu bisa kemudian dilakukan 10 atau mungkin 15 tahun berikutnya. Jadi saya kira seharusnya pemerintah sudah relatif ‘baik’ kepada mereka yang selama ini belum melaporkan pajaknya secara regulasi yang sudah ditentukan,” tambah Yusuf.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut tax amnesty sebagai kebijakan yang blunder apabila tujuannya adalah untuk menaikkan penerimaan pajak maupun rasio perpajakan (tax ratio). Padahal, saat tax amnesty diterapkan pada 2016-2017, penerimaan dan rasio pajak di saat itu tak juga mengalami penaikan signifikan.
DJP mencatat, pada 2016 rasio pajak turun menjadi 9 persen, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp1.283 triliun atau sekitar 83,4 persen dari target Rp1.539 triliun. Kemudian, pada 2017 rasio pajak kembali turun di angka 8,5 persen dengan realisasi penerimaan Rp1.147 triliun atau 89,4 persen dari target Rp1.283 triliun.
“Apa pengaruhnya tax amnesty? Jelas tidak ada,” kata Bhima, kepada Tirto, Rabu (20/11/2024).
Kemudian, saat PPS diterapkan pada awal sampai pertengahan 2022, penerimaan pajak memang melonjak bahkan 115,6 persen melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp1.485 triliun, menjadi Rp1.717,8 triliun dengan rasio pajak 10,38 persen. Rasio pajak ini mengalami penaikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 9,11 persen. Namun, pasca penerapan PPS di 2023, rasio pajak kembali turun di level 10,31 persen dengan penerimaan pajak mencapai Rp1.869,2 triliun atau 102,8 persen dari target Rp1.718 triliun.
Tidak efektifnya pengampunan pajak juga terlihat dari komitmen repatriasi pada Tax Amnesty Jilid I yang hanya memperoleh Rp147 triliun dari target Rp1.000 triliun. Hasil serupa ditemukan pada perolehan uang tebusan sebesar Rp129 triliun, padahal negara menargetkan Rp165 triliun.
Pun, ketika pemerintah menerapkan PPS, jumlah peserta bahkan tak mencapai sepertiga dari tax amnesty sebelumnya, yakni hanya sekitar 247.918 Wajib Pajak. Nilai harta yang diungkap juga terbilang jauh, hanya Rp1.250,67 triliun atau sekitar 25,7 persen dibandingkan jilid sebelumnya.
“Bukannya mengejar kepatuhan pajak dan pencocokan data aset dari hasil tax amnesty sebelumnya, ini malah buat Tax Amnesty jilid III. Saya gagal paham dengan logika pajak pemerintah,” tegas Bhima.
Jika soal kebaikan pemerintah terhadap pengusaha, pemerintah toh telah memberikan diskon tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang pada tahun depan hanya akan sebesar 20 persen dari sebelumnya 22 persen. Namun, bukannya memajaki orang-orang super kaya atau mengejar para pengemplang pajak, DPR dan pemerintah justru ingin membebaskan para pengemplang tersebut dari dosa-dosanya.
Belum lagi, atas dasar amanat UU HPP, pemerintah juga masih tetap berdiri pada pendiriannya untuk menetapkan tarif PPN 12 persen mulai awal tahun depan.
“Iya (pemerintah) pertama tebang pilih, kedua berburu di kebun binatang, ketiga disebut primitif karena kebijakan menaikan tarif PPN adalah kebijakan yang tidak butuh kreativitas. Yang dikejar cuma wajib pajak dan objek pajak yang sudah terdaftar bukan perluas basis pajak. Kan ada pajak kekayaan, pajak karbon, ada pajak ekologis banyak yang belum di eksplor pemerintah,” imbuhnya.
Selain itu, pengampunan pajak yang terlalu sering bisa buat kepatuhan orang kaya dan korporasi kelas kakap turun. Sehingga, ketika Tax Amnesty Jilid III berlaku nantinya, akan menimbulkan moral hazard sangat besar.
“Di sisi yang lain kenaikan tarif PPN 12 persen akan ciptakan pelemahan daya beli kelas menengah ke bawah, pelaku usaha juga terpukul dan bisa sebabkan PHK massal di ritel dan industri pengolahan. Di mana letak keadilan pajaknya?” ujar Bhima.
Kalau memang tujuannya adalah untuk mengerek penerimaan dan juga meningkatkan rasio pajak, ekstensifikasi atau perluasan basis pajak adalah jalan keluarnya. Selain itu, sistem pajak yang lebih canggih dengan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) juga dapat digunakan untuk menelusuri kebocoran pajak.
“Mengejar under invoicing dan misinvoicing atau kebocoran pajak karena data yang disetor perusahaan tambang dan komoditas perkebunan tidak sesuai dengan data faktual. Perkebunan sawit, tambang-tambang juga perlu diaudit. Kebocoran sektor tambang sangat besar,” tukas Bhima.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto