tirto.id - Pemerintah akan mulai menerapkan sistem inti perpajakan (core tax system) pada 1 Januari 2025. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor r 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (core tax) sebagai pijakan untuk pelaksanaan core tax.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, mengatakan, PMK yang dirilis pada 18 Oktober 2024 ini dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan fleksibel. Selain itu, penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan ini juga dilakukan untuk mendukung proses bisnis masyarakat, karena pada pelaksanaannya didukung oleh teknologi informasi berbasis data. Singkatnya, core tax diimplementasikan untuk mereformasi sistem perpajakan di Indonesia.
“Seperti diketahui reformasi pajak melibatkan 5 (lima) pilar, yaitu pilar Organisasi; Sumber Daya Manusia; Teknologi Informasi dan Basis Data; Proses Bisnis; dan Peraturan Perundang-undangan,” kata dia, dalam keterangannya kepada Tirto, dikutip Senin (18/11/2024).
Dwi menambahkan, core tax juga dinilai akan memberikan kemudahan kepada wajib pajak (WP), mulai dari registrasi yang menjadi lebih mudah karena dapat dilakukan di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless), melalui berbagai saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau melalui pihak lain (omni channel), dan tervalidasi dengan sumber data (single source of truth); tersedianya Akun Wajib Pajak (Taxpayer Account) yang dapat diakses secara daring melalui Portal Wajib Pajak sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik; penyeragaman jatuh tempo pembayaran atau penyetoran masa beberapa jenis pajak menjadi tanggal 15 bulan berikutnya untuk memudahkan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.
Kemudian, wajib pajak juga dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak untuk mencegah risiko keterlambatan pembayaran pajak; proses permohonan fasilitas PPh yang lebih mudah tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi kriteria yang ditentukan; adanya satu kode billing yang dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak.
“Kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan fitur prepopulated. Sebelumnya, fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis pajak PPh Pasal 21. Ke depannya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam core tax karena bukti potong dibuat di sana,” sambung Dwi.
Selain berbagai kemudahan tersebut, core tax juga digadang-gadang dapat meningkatkan target penerimaan pajak yang setiap tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan, sistem inti perpajakan ini digadang-gadang oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sebagai backbone atau tulang belakang pemerintah untuk terus mendongkrak penerimaan pajak.
Hal ini bersamaan dengan reformasi perpajakan yang juga dilakukan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) serta perbaikan organisasi tata kelola serta infrastruktur di bidang perpajakan.
“Reformasi perpajakan, termasuk pelaksanaan core tax menjadi backbone atau tulang belakang yang kuat bagi pemerintah untuk terus mencapai target penerimaan negara dan mendukung pembiayaan pembangunan,” kata Sri Mulyani, dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR, Fathi, berharap agar core tax benar-benar efektif untuk mengurangi beban administrasi wajib pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan mereka dalam membayar pajak lewat berbagai kemudahan yang ditawarkannya.
“Sebetulnya banyak masyarakat yang masih kesulitan melaporkan pajaknya karena proses pengisian SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dianggap rumit. Saya berharap, dengan kemudahan seperti ini, lebih banyak masyarakat yang tergerak untuk taat pajak dan berkontribusi bagi negara,” ujar Fathi, dalam pesan singkatnya kepada Tirto, Senin (18/11/2024).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Segara Institute, Pitter Abdullah, menilai, core tax seharusnya dapat mereformasi sistem perpajakan, sehingga dapat mengerek penerimaan negara. Apalagi, melalui core tax, pemerintah juga bermaksud memperbaiki sistem tata kelola perpajakan di tanah air. Selain itu, core tax juga merupakan penggabungan dari berbagai layanan DJP seperti DJP Online, e-Nofa, Portal Exchange of Information (Portal EoI), serta kanal pembayaran dalam satu sistem yang terpusat
“Namanya juga reformasi dan reformasi yang secara lebih luas ya yang dilakukan oleh Dirjen Pajak. Harapannya tentu ya atau tujuannya memang untuk menaikkan penerimaan pajak. Perubahan-perubahan yang ada di dalam, yang dilakukan oleh Dirjen Pajak itu diharapkan akan bisa meningkatkan efektivitas dari penerimaan pajak,” kata dia, kepada Tirto, Senin (18/11/2024).
Meski begitu, Piter tak yakin akan seberapa besar core tax dapat meningkatkan penerimaan negara. Ia beralasan, besarnya penerimaan negara akan sangat tergantung pada seberapa luas basis pajak yang dapat disasar pemerintah.
Belum lagi, masih banyak aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) yang belum menjadi sasaran pemerintah karena pendapatan yang diraup masuk ke dalam golongan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Adapun pelaku ekonomi yang masuk ke dalam golongan ini adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
“UMKM itu kan rata-rata, yang banyak itu terutama usaha mikro. Usaha mikro itu kan kalau dilihat dari omset banyakan memang tidak kena pajak. Penerimaan mereka banyakan itu adalah perusahaan yang mereka dibebaskan pajak. Karena kan ada pendapatan tidak kenapa pajak,” ujar dia.
Perlu diketahui, pada tahun 2024 jumlah UMKM Diperkirakan akan mencapai 65 juta unit atau tumbuh dibandingkan tahun 2021 yang berjumlah 64,2 juta unit. Sementara itu, jumlah UMKM yang telah tergiditalisasi atau go digital sampai Juli 2024 telah mencapai 25,5 juta unit. Angka ini naik tipis dari akhir tahun 2023 yang terdapat 25 juta UMKM telah tersambung dengan ekosistem digital.
Dalam hal ini, lanjut Piter, pemerintah seharusnya telah menyiapkan solusi bagi wajib pajak yang belum terdigitalisasi. Namun, pada awal peluncurannya, core tax nampaknya lebih menyasar wajib pajak-wajib pajak yang telah terdigitalisasi.
“Tapi kan yang namanya wajib pajak besar adalah mereka yang sudah nggak mungkin omsetnya triliunan yang belum terkena digitalisasi. Tidak mungkin dia tidak punya HP, tidak mungkin dia tidak punya sistem komputer,” sambung Piter.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, beranggapan, efektivitas core tax dalam meningkatkan penerimaan pajak baru bisa dilihat ketika sistem perpajakan anyar ini sudah diterapkan. Namun, yang pasti, core tax akan meningkatkan semua fungsi administrasi perpajakan di DJP.
“Berbagai teknologi informasi termutakhir di CTAS (core tax administration system) membuat efektivitas CTAS akan optimal di untuk transformasi pajak dan optimalisasi penerimaan pajak. Selain itu, ada 21 proses bisnis di DJP yang diintegrasikan ke CTAS,” ucap Prianto, kepada Tirto, Senin (18/11/2024).
Proses-proses bisnis tersebut antara lain, registrasi, pelayanan, pengelolaan SPT, ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, penagihan pajak, pembayaran, penilaian, keberatan dan banding, Taxpayer Account Management (TAM), dan non keberatan. Kemudian, intelijen perpajakan, penegakan hukum pidana perpajakan, pengelolaan data pihak ketiga, exchange of information, Document Management System, Data Quality Management, Knowledge Management, Compliance Risk Management, serta Business Intelligence.
Pada saat yang sama, DJP juga mengusung berbagai teknologi dalam implementasi core tax, antara lain business intelligence and analytics, sistem basis data terpusat dan terdistribusi, cloud computing, blockchain, application programming interface (API), artificial intelligence (AI).
“Implementasi CTAS memungkinkan DJP melakukan banyak proses secara simultan, yaitu memberikan layanan yang lebih efisien kepada wajib pajak, mempercepat proses validasi data, mengotomasi banyak proses, meningkatkan akurasi ketika mendeteksi kecurangan,” sambung Prianto.
Core tax, menurutnya, mendukung proses data matching atau penyesuaian data. Jadi, dengan teknologi API, core tax dapat berinteraksi dengan sistem informasi di instansi pemerintah lainnya. Dalam hal ini, core tax mengusung konsep interoperability. Artinya, data dari wajib pajak akan dibandingkan dengan data-data yang DJP peroleh dari institusi pemerintah tersebut secara online dan real time.
“Teknologi AI akan membantu pengolahan data secara sistematis sehingga dapat disajikan informasi yang lebih akurat dan lengkap untuk pengambilan keputusan. Jadi, informasi yang samar-sama dari berbagai sumber dapat dibuatkan olahan datanya melalui beberapa teknologi kecerdasan buatan yang ada di CTAS,” jelas dia.
Untuk selanjutnya, petugas pajak akan menindaklanjutinya dengan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Informasi (SP2DK) hingga proses pemeriksaan untuk menguji kepatuhan. Kedua proses itu pun berujung pada target penerimaan pajak yang meningkat.
Oleh karena itu, dengan penggunaan teknologi ini diharapkan dapat menjangkau seluruh Indonesia, bahkan sampai ke desa. Dengan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), core tax menarget pembelian dan penjualan barang oleh orang maupun badan usaha.
“Jadi transaksi itu yang dilakukan oleh orang ataupun wajib pajak, itu akan tercatat oleh sistem gitu,” kata Analis Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronny Bako, kepada Tirto, Senin (18/11/2024).
Namun, yang berpotensi menjadi masalah adalah sampai sekarang pemerintah belum menjelaskan kepada masyarakat tentang mekanisme core tax. Selain itu, infrastruktur internet yang belum merata di seluruh Indonesia juga masih menjadi tantangan penerapan core tax. Ia juga menekankan tak sedikit aktivitas perdagangan yang dilakukan di laut lepas. Selain itu, seiring dengan percepatan digital di Indonesia, banyak pula UMKM-UMKM yang mengandalkan teknologi untuk menjalankan bisnisnya, salah satunya adalah pengiriman makanan.
“Kalau penjualan itu di desa atau pun di laut atau di gunung, nah itu mampu nggak deteksi gitu-gitu. Itu salah satu tantangannya. Tantangannya itu tadi sejauh mana kesiapan perangkat IT itu sampai menjangkau ke desa ataupun ke laut,” kata Ronny.
Pengajar di UPH itu melanjutkan, Indonesia memang membutuhkan sistem administrasi pajak yang andal, sehingga bisa mengakomodasi seluruh kepentingan perpajakan di Tanah Air. Namun, di saat yang sama pemerintah juga harus memperhatikan keamanan data masyarakat karena basis data yang digunakan adalah NIK.
“Saya berharap, ini sudah menjadi perhatian pemerintah saat meluncurkan core tax. Semoga, keamanan data masyarakat yang ada dalam sistem cortex dapat diantisipasi dari kemungkinan kebocoran data,” tegas Ronny.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher