Menuju konten utama

Batu Rintangan Amnesti Pajak

Pemerintah berharap banyak pada dana repatriasi program amnesti pajak atau Tax Amnesty. Namun, pelaksanaan UU Pengampunan Pajak ini tidaklah mudah, karena banyak yang berusaha mengganjal. Akankah pemerintah dapat melewati segala rintangan tersebut?

Batu Rintangan Amnesti Pajak
DPR menyetujui RUU tentang pengampunan pajak disahkan menjadi Undang-Undang. [Antara foto/Akbar Nugroho Gumay]

tirto.id - Akhir Juni lalu sidang Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) menjadi UU. Pengesahan ini cukup melegakan pemerintah yang sejak awal berjuang meloloskan rancangan UU tersebut sebagai senjata baru untuk menggenjot penerimaan negara tahun ini.

Meski demikian, pelaksanaan amnesti pajak ini tidaklah mudah. Banyak yang mengganjal, salah satunya adalah uji materi UU Pengampunan Pajak yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Rintangan lain kabarnya datang dari luar negeri. Adalah Singapura yang kabarnya akan berjuang keras agar dana-dana WNI yang sudah lama bercokol di negara tersebut tidak pulang ke tanah air setelah ada amnesti pajak. Kabar ini pula yang sempat membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro naik pitam. Ia menegaskan, Indonesia tidak takut pada negara kecil seperti Singapura.

Kemarahan Menkeu Bambang tersebut cukup beralasan. Sebab, kalau pelaksanaan amnesti pajak ini gagal, maka target penerimaan negara dari pajak yang dipatok sebesar Rp1.360 triliun pada APBN 2016 terancam tidak tercapai. Target tersebut memang memperhitungkan tambahan pemasukan dari UU Tax Amnesty ini.

Benarkah Singapura Keberatan?

Sejak UU Pengampunan Pajak disahkan, Singapura dikabarkan berupaya mati-matian untuk menghadangnya. Singapura bahkan dikabarkan sudah melakukan sejumlah upaya untuk menahan dana repatriasi yang akan masuk ke Indonesia, salah satunya dengan cara memberikan insentif.

Kekhawatiran Singapura dinilai wajar, sebab dana besar yang ada di bank-bank Singapura dapat menjadi likuiditas yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Artinya, apabila dana para nasabah Indonesia ditarik, maka likuiditas negeri Singa tersebut akan anjlok.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, langkah yang diambil Singapura merupakan hal yang lumrah dan tidak melanggar hukum. Negara mana pun tentu akan berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai reaksi terhadap kebijakan negara lain yang berpotensi merugikan kepentingannya.

“Apa yang dilakukan Singapura bukanlah hal yang tiba-tiba dan reaktif. Justru mereka sudah dengan cermat berhitung dan menyusun langkah-langkah antisipasi terhadap inisiatif global untuk menangkal praktik penghindaran pajak yang agresif,” kata Prastowo.

Ia juga mengkritik respons Menkeu Bambang yang dinilai berlebihan dalam menyikapi rumor sikap Singapura tersebut. Seharusnya, hal tersebut menjadi tantangan konkret bagi pemerintah untuk menempatkan amnesti pajak dalam kerangka reformasi fiskal dan moneter yang komprehensif.

Rumor tersebut memang sudah dibantah oleh Pemerintah Singapura. Seperti dilansir channelnewsasia.com, dalam pernyataan bersama Kementerian Keuangan Singapura dan Otoritas Moneter Singapura (MAS) menegaskan bahwa isu negaranya berusaha menggagalkan program amnesti pajak oleh pemerintah Indonesia tidak benar.

Pemerintah Singapura juga mengklaim, pihaknya akan berusaha tetap menaati kesepakatan internasional untuk memerangi tindak pidana pencucian uang dan pertukaran informasi terkait penggelapan pajak lintas negara.

“Kami telah membantu dan akan terus membantu sesuai dengan standar internasional,” ujarnya seperti dikutip channelnewsasia.com.

Sebagai informasi, selain terikat dalam kebijakan keterbukaan informasi perpajakan dan perbankan secara internasional atau automatic exchange of information (AEOI) yang akan berlaku pada 2018, Indonesia dan Singapura juga terikat perjanjian bilateral tentang pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan yang ditandatangani pada 15 Desember 2014 silam.

Pada pertemuan tersebut, kedua menteri keuangan membahas mengenai upaya-upaya peningkatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Singapura, khususnya di bidang pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan dalam upaya untuk melawan penghindaran dan pengelakan pajak lintas negara.

Investasi Penampungan

Satu lagi masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia adalah instrumen investasi untuk menampung dana-dana yang pulang kampung tersebut. Karena itu, pemerintah kini mulai berbenah mempersiapkan instrumen untuk menampung dana repatriasi yang diprediksi akan mendorong peningkatan investasi dan peningkatan likuiditas domestik.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga mengatakan, saat ini ada sekitar 67 bank persepsi, dan 18 di antara bank persepsi tersebut telah ditunjuk oleh Kementerian Keuangan sebagai Bank Persepsi Khusus untuk menerima dana repatriasi.

“Bank Persepsi ini ditunjuk sebagai gateway. Misalnya wajib pajak yang melakukan repatriasi dari luar negeri ke Indonesia melalui bank-bank tersebut [18 bank]. Bank Persepsi secara keseluruhan boleh menerima tebusan pajak, sama seperti membayar setoran pajak tahunan,” ujar Hestu kepada tirto.id.

Dalam konteks ini, menurut Prastowo, pemerintah perlu menegaskan keberpihakannya pada penguatan perbankan nasional. Untuk itu, sudah sepantasnya amnesti pajak ini menjadi kesempatan untuk bank-bank BUMN ambil bagian yang utama dan pertama, sambil mereka diberi kesempatan berkembang dan kuat.

Namun, jika kemudian bank-bank BUMN tersebut tidak sanggup menampung dan menyalurkan dana repatriasi, maka kesempatan tersebut baru dapat diberikan kepada bank swasta nasional. Presiden Jokowi juga perlu segera menginstruksikan kementerian dan lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah, untuk menyesuaikan diri dan memfasilitasi proses investasi terutama di sektor riil yang berdampak luas.

Selain investasi penampungan, pemerintah juga menerapkan tarif deklarasi harta pengampunan pajak dalam tiga periode. Misalnya, untuk pengungkapan harta yang berada di dalam wilayah Indonesia, periode I sejak UU berlaku sampai akhir bulan ke-3 diberlakukan tarif 2 persen. Periode II, yaitu bulan ke-4 sejak UU berlaku sampai 31 Desember 2016 diberlakukan tarif 3 persen. Sedangkan periode III yaitu mulai 1 Januari 2017 sampai Maret 2017 yaitu 5 persen.

Sedangkan tarif pengungkapan harta yang berada di luar negeri, yaitu: periode I diberlakukan tarif 4 persen, periode II dipatok tarif 6 persen, dan periode II dengan tarif 10 persen. Tarif ini berlaku jika harta tersebut tidak dialihkan ke dalam negeri.

Namun, jika dialihkan dan diinvestasikan ke dalam negeri, maka tarif yang berlaku juga berubah atau dapat insentif (tarif spesial). Misalnya, para periode I bagi Wajib Pajak yang mengalihkan dan menginvestasikan harta di luar negeri ke dalam wilayah NKRI, maka ia dapat tarif spesial, dari yang awalnya 4 persen menjadi 2 persen. Di periode II juga sama, yaitu dari yang sebelumnya 6 persen menjadi 3 persen, periode III juga mendapatkan potongan separuh, yaitu dari 10 persen menjadi 5 persen.

Untuk diketahui, hingga Selasa (26/7/2016) penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak telah mencapai Rp23,7 miliar, meski pelaksanaan dari kebijakan ini baru berjalan efektif selama satu pekan.

“Tebusannya telah mencapai Rp23,7 miliar, itu dari deklarasi aset sebesar Rp989 miliar," kata juru bicara Kementerian Keuangan, Luky Alfirman seperti dikutip Antara.

Dana Repatriasi Picu Pertumbuhan?

Pemerintah memang sangat berharap ada repatriasi dengan adanya amnesti pajak ini. Menkeu Bambang mengklaim, dana repatriasi sebagai dampak kebijakan pengampunan pajak akan memicu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Repatriasi modal dari tax amnesty akan mendorong pertumbuhan dari sisi investasi.

Bambang menjelaskan, perekonomian global saat ini dalam kondisi yang sulit, namun pemerintah berani menetapkan asumsi makro pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dalam APBN-P 2016 karena ada kebijakan pengampunan pajak.

Karena itu, pemerintah berupaya mendorong investasi swasta yang bersumber dari dana repatriasi modal karena sangat sulit menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga maupun belanja pemerintah.

“Kami berharap repatriasi bisa mendorong investasi swasta, jadi kalau investasi tumbuh cepat maka dampaknya juga ke pertumbuhan ekonomi lebih tinggi," ujar Bambang seperti dikutip Antara.

Bambang boleh saja optimistis terhadap program amnesti pajak tersebut. Namun, analisis dari ekonom CIMB, Song Seng Wun juja patut dipertimbangkan. Seperti dilansir todayonline.com, Song mempredikasi rencana pemerintah Indonesia menarik dana yang ada di luar negeri (repatriasi) tidak akan semulus yang diharapkan.

Menurut Song, Pemerintah Indonesia bisa saja mendapatkan informasi tentang dana yang diparkir di luar negeri melalui deklarasi pajak. Namun, pada kenyataannya, setiap pertukaran data dengan negara lain harus terlebih dahulu memenuhi kriteria yang cukup ketat, termasuk kerangka hukum yang kuat untuk menjaga kerahasiaan informasi. Song menilai, Indonesia tidak akan mampu menegakkan hukum di negara lain.

“Sama seperti Singapura tidak bisa menegakkan peraturan anti kabut di Indonesia, Indonesia tidak akan mampu menegakkan peraturan pajak di tanah Singapura," kata Song.

“Ini akan menarik untuk melihat berapa banyak [dana] akan mengalir kembali... mungkin tidak sebanyak yang Indonesia harapkan,” demikian Song menegaskan.

Ekonom senior yang juga mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia 1999-2004, Anwar Nasution menyatakan, amnesti pajak tidak akan dapat mendorong pengembalian kembali kekayaan maupun dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri.

Ini dikarenakan penyebab utama diaspora modal ke luar negeri bukan karena tingginya pajak penghasilan di Indonesia, melainkan karena buruknya sistem politik dan hukum di Tanah Air yang tidak kondusif untuk menyimpan kekayaan di Indonesia.

"Sistem hukum nasional tersebut tidak mampu melindungi hak milik individu maupun memaksakan kontrak perjanjian," ujarnya seperti dikutip Antara.

Selain itu, buruknya produk maupun pelayanan lembaga keuangan nasional juga menjadi faktor lain orang Indonesia lebih senang menyimpan asetnya di luar negeri.

Pemerintah memperkirakan wajib pajak yang mendaftar kebijakan pengampunan pajak akan mendeklarasikan asetnya di luar negeri hingga Rp4.000 triliun, dengan kemungkinan dana repatriasi yang masuk mencapai kisaran Rp1.000 triliun dan uang tebusan untuk penerimaan pajak Rp160 triliun.

Lantas, apakah program amnesti pajak akan menuai sukses? Apakah dana repatriasi dapat memicu pertumbuhan ekonomi seperti yang diklaim Menkeu Bambang? Mari sama-sama kita menantikannya dalam beberapa bulan ke depan.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti