Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Kepentingan Oligarki Membuat Presidential Threshold Sulit Direvisi

Kunto menilai sulit bagi parpol besar mendukung penghapusan atau penurunan presidential threshold kecuali ada benefit yang diperoleh dari revisi ini.

Kepentingan Oligarki Membuat Presidential Threshold Sulit Direvisi
Suasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% selalu mengemuka jelang pemilihan umum. Sejumlah pihak, mulai organisasi sipil hingga tokoh politik meminta agar ketentuan ini dihapus. Bahkan berkali-kali pasal yang mengatur soal ambang batas ini diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi selalu gagal.

Isu ini kembali mengemuka setelah Ketua KPK Firli Bahuri mendorong agar ambang batas pencalonan presiden ini dihapus demi mencegah politik transaksional. Di sisi lain, eks Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga mengajukan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini ke MK.

Pasal tersebut mengatur soal syarat minimal pengajuan calon presiden dan wakil presiden, yakni harus 20 persen suara parpol atau gabungan partai politik. Gatot meminta MK mengkaji ulang dan memutuskan pasal tersebut tidak berlaku.

Sejumlah politikus pun angkat bicara soal isu ini. Anggota DPR Komisi II dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus mendukung wacana penghapusan presidential threshold 20 persen. Ia menilai, aturan itu memicu ongkos politik mahal dan mencegah oligarki politik dalam mensponsori figur untuk menjadi presiden.

“Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)” kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (15/12/2021).

Ia pun memandang penghapusan aturan presidential threshold akan mencegah konflik di masyarakat. Ia mencontohkan polarisasi politik pada Pilpres 2019 sebagai dampak lanjutan akibat kemunculan kebijakan ambang batas ini.

Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas,” tukasnya.

PKB juga mendukung agar ada perubahan soal ketentuan presidential threshold ini. Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar malah memandang agar presidential threshold setidaknya diturunkan pada angka 5 hingga 10 persen demi kepentingan kompetisi politik.

“Masih belum cita-cita kita, cita-cita kita 5-10 persen. Supaya lebih memberi ruang ekspresi dan kompetisi, semua punya hak yang sama,” kata Muhaimin usai menghadiri KWP Award di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/12/2021) seperti dikutip Antara.

Meskipun mendukung perubahan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, tapi pria yang karib disapa Cak Imin ini enggan presidential threshold diturunakn hingga 0 persen. Ia beralasan, ambang batas presidensial tetap dibutuhkan.

“Idealnya 0 persen, tapi tidak luculah ya, harus ada pembatasan. Tapi gagal kemungkinan ya, karena sudah ada pembatasan (PT), mungkin pada pemilu yang akan datang," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi memandang ambang batas presiden yang digagas selama ini sebagai upaya menghargai partai politik. Ia mengingatkan, pemerintahan membutuhkan peran parlemen sehingga ambang batas parlemen menjadi penting untuk diatur.

“Jangan sampai presiden terpilih nantinya tidak dapat dukungan di parlemen sehingga akan menghambat kebijakan yang dibuatnya,” kata Baidowi di Jakarta, Rabu (15/12/2021).

Baidowi menyatakan sah-sah saja publik mengajukan judicial review ke MK agar presidential threshold bisa 0 persen. Namun ia mengingatkan bahwa undang-undang tersebut sudah diputus berkali-kali dan MK memberi ruang bagi DPR dan pemerintah untuk mengatur ambang batas tersebut. Sampai saat ini, belum ada niat pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pemilu.

Mengapa Partai Kecil dan Menengah yang Justru Bersuara?

Analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam menilai penghapusan presidential threshold penting dilakukan, baik lewat gugatan Gatot Nurmantyo ke MK maupun melalui revisi UU Pemilu. Ia beralasan, penghapusan presidential threshold akan membuat kandidat tidak tersandera parpol untuk maju dalam pilpres mendatang.

“Saya kira permohonan kepada MK untuk uji materiil UU Pemilu agar menghapus presidential threshold atau diubah menjadi nol persen dalam rangka agar kita tak tersandera oligarki parpol,” kata Imam kepada reporter Tirto, Rabu (15/12/2021).

Imam berpendapat, ambang batas presiden sebaiknya atau setidaknya diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen. Partai menengah dan kecil akan diuntungkan bila presidential threshold turun, apalagi sampai 10 persen.

Namun ia menduga sulit angka tersebut turun karena partai besar akan mengalkulasi ulang lantaran berkaitan dengan kepentingan politik masa depan, apalagi partai besar belum berbicara dalam isu tersebut, seperti PDIP.

“Partai besar kenapa masih diam? Bisa jadi melihat respons publik, di samping boleh jadi ingin mempertahankan hegemoni politiknya," kata Imam.

Imam mengatakan, ada dampak besar bila ambang batas presidensial turun atau dihapus. Ia menduga, setidaknya ada 4 paslon yang akan maju dengan struktur 5 faksi besar, yakni faksi Cikeas, faksi Golkar, faksi Teuku Umar, faksi JK dan faksi Jokowi. Kelima faksi besar ini bisa saja saling bergabung dalam menghadapi pilpres mendatang.

“Jika nol [persen] tentu akan lebih banyak lagi," kata Imam.

Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Padjadjaran Kunto A. Wibowo menilai ambang batas presiden ini adalah bagian dari strategi pemenangan partai besar. Oleh karena itu, ia menilai sulit bagi partai besar mendukung penghapusan atau penurunan ambang batas presiden kecuali ada benefit yang diperoleh dari penurunan ambang batas itu.

“Bagi mereka (partai politik suara besar), mereka membayangkan ini sebagai sebuah arena perlombaan atau kompetisi yang mereka sangat diuntungkan aturan-aturan ini. So buat mereka tentu saja akan menjadi jelas, mereka harus mengorbankan sesuatu kalau mereka mendukung presidential threshold ini dipotong jadi 0 persen," kata Kunto saat dihubungi reporter Tirto.

Kunto mengatakan, penurunan ambang batas presiden akan membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang muncul adalah kandidat capres-cawapres yang hadir dalam pemilu menjadi lebih banyak dan variatif. Selain itu demokrasi akan menjadi lebih berwarna.

Di sisi lain, dampak negatif yang muncul bukan sekadar soal waktu pencarian kandidat yang berpotensi lebih lama maupun biaya politik yang tinggi, tetapi pada kestabilan politik. Ia mencontohkan, seorang paslon bisa maju dengan syarat presidensial 0 persen lewat kekuatan relawan. Namun kandidat ini akan menghadapi kekuatan politik di parlemen yang berpotensi mengganggu pemerintahan. Hal itu sudah terjadi di daerah-daerah yang kepala daerahnya bukan berlatar belakang parpol selama ini.

Kunto mengakui bahwa partai-partai kelas menengah bisa saja bersatu untuk mendorong perubahan ambang batas presiden. Akan tetapi, partai besar tidak akan mudah untuk meloloskan revisi tersebut jika tidak ada keuntungan bagi mereka. Oleh karena itu, ada negosiasi politik dari partai menengah untuk mendorong hal tersebut.

“Jadi menurut saya selalu ada take and give kalau partai-partai besar ini mau giving, mau memberikan presidential threshold diturunkan, lalu apa yang mereka dapatkan, yang bisa ditawarkan partai-partai kelas menengah ini," kata Kunto.

Kunto menambahkan, “Persoalannya, kan, di situ apakah menimbulkan sebuah aturan baru yang menguntungkan partai-partai besar ini dalam jangka panjang atau jangka pendek. Itu hitung-hitungan politik yang sangat praktis," tutur Kunto.

Baca juga artikel terkait AMBANG BATAS PRESIDEN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz