Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Utak-atik Koalisi Parpol Menuju Pilpres 2024: Figur Penentu Suara?

Korelasi antara poros koalisi tidak sepenuhnya efektif karena publik lebih melihat figur capres-cawapres daripada konstelasi poros koalisi.

Utak-atik Koalisi Parpol Menuju Pilpres 2024: Figur Penentu Suara?
Ilustrasi partai politik Indonesia. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Konstelasi pemilu serentak 2024 semakin menghangat menjelang tahun politik 2022. Sejumlah lembaga pun mulai intens merilis hasil temuan mereka, salah satunya KedaiKOPI yang merilis hasil survei mereka terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia periode 16-24 November 2021 di 34 provinsi. Dalam survei itu, KedaiKOPI berupaya menggambarkan proses pemilihan capres, peta konstelasi poros partai hingga kandidat yang paling kuat.

Dalam proses pemilihan capres, KedaiKOPI memperhitungkan soal proses rujukan pemilih dalam menentukan pilihan. Setidaknya 3 pertimbangan terbesar adalah keluarga/pasangan (32,7 persen), orangtua/mertua (16,4 persen), dan lingkungan sekitar (14,6 persen). Selain itu, KedaiKOPI juga menemukan 3 partai dengan pemilih capres-cawapres berbasis partai terbesar yakni Gerindra (75,9 persen), Golkar (70,5 persen) dan Demokrat (68,4 persen), sementara PDIP di bawah Demokrat (67,1 persen).

Hal unik lain yang ditemukan KedaiKOPI adalah simulasi pemilih berdasarkan koalisi partai. Mereka mendapati sekitar 64,3 persen responden mempertimbangkan bentuk koalisi. Bentuk koalisi dengan kepercayaan tertinggi adalah Golkar+Gerindra dengan 65,9 persen. Angka ini lebih rendah daripada koalisi Gerindra yang digadang-gadang selama ini (PDIP+Gerindra) yang hanya 63,6 persen.

Sementara itu, koalisi di peringkat ketiga adalah Golkar+Gerindra+PAN di angka 62 persen. Koalisi Pilpres 2019 Gerindra+PAN+PKS hanya mampu mengangkat pada angka 60,3 persen. Di sisi lain, poros parpol berbasis Islam, yaitu PKB+PAN+PPP+PKS diprediksi hanya mampu membawa suara 48,2 persen.

Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo menjelaskan, pertimbangan mereka memasukkan simulasi koalisi sebagai upaya untuk mengetahui apakah pemilih menimbang soal platform koalisi parpol. Sebagai contoh, pemilih berpotensi besar tidak akan memilih koalisi PDIP yang bergandengan dengan PKS.

“Kalau kenapa akhirnya mempertimbangkan partai koalisi menjadi tinggi? Menurut saya pemilih juga mempertimbangkan bahwa ada partai-partai yang senada, ada partai-partai yang menurut mereka satu platform sehingga akan sangat aneh kalau partai-partai mengejar kekuasaan asal membentuk koalisi saja," kata Kunto kepada reporter Tirto, Senin (20/12/2021).

Kunto pun mengaku muncul temuan-temuan menarik dari upaya merefleksikan temuan tersebut. Ia mencontohkan bagaimana ternyata koalisi Partai Gerindra+Golkar jauh lebih baik daripada koalisi PDIP+Gerindra maupun isu poros Islam yang digagas PKB+PPP+PAN ditambah dengan PKS.

Meskipun pertanyaan berbasis pertanyaan tertutup, setidaknya KedaiKOPI mengetahui Gerindra+Golkar lebih disenangi responden daripada PDIP+Gerindra maupun PDIP+Golkar (56,2 persen) karena Gerindra dan Golkar mendapat benefit sebagai partai tengah. Partai Islam yang seharusnya menjadi partai kuat, justru tidak sekuat partai kombinasi Islam+nasionalis.

Kunto menduga, komposisi yang terjadi mengarah pada simulasi Prabowo+Ganjar lawan Anies+Sandi jika mengacu pada peta koalisi. Akan tetapi, korelasi antara poros koalisi tidak sepenuhnya efektif karena publik lebih melihat figur capres-cawapres daripada konstelasi poros koalisi.

“Namun ketika semuanya sama, things being equal, kualitasnya sama, kualitas calon misalnya sama, dan semua variabel-variabel sama bisa jadi koalisi partai ini menjadi menentukan karena di situ walau sedikit ada pertimbangan pemilih, di situ untuk memperhatikan koalisi partai," kata Kunto.

Koalisi Pengaruhi Suara?

Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai bahwa pemilihan mitra koalisi tidak akan selalu berpengaruh kepada elektabilitas partai. Ia beralasan, pemilih Indonesia terbagi dua, yakni pemilih berbasis partai yang memang loyal dan pemilih yang melihat figur. Pemilih berbasis partai umumnya loyalis partai besar seperti Golkar maupun PDIP. Sementara itu, partai yang melihat figur lebih pada ketokohan daripada partai.

“Sisanya lebih banyak kecenderungannya memilih tokoh daripada parpol. Dengan kondisi itu, saya kira komposisi koalisi bisa saja mempengaruhi, tetapi tidak signifikan. Kenapa? Karena lebih signifikan lagi kalau tokoh yng lebih menonjol lebih dulu kemudian tokoh inilah yang akan mempengaruhi koalisi berhasil atau tidak," kata Dedi kepada reporter Tirto.

Dedi mencontohkan pemilih berbasis tokoh pernah dilakukan PKB. Di masa lalu, PKB menggunakan figur publik seperti Rhoma Irama hingga Zainuddin MZ sebagai upaya menarik pemilih. Hal itu sukses dan ditiru sejumlah partai saat ini meski akhirnya tokohnya tidak diperhatikan lagi di dalam partai.

Dedi menuturkan, parpol tidak akan ambil pusing dalam pemilihan mitra koalisi. Mereka mengejar kemenangan dalam pemilu. Oleh karena itu, kata dia, koalisi tidak akan melihat platform partai tetapi bagaimana memenangkan pemilu.

“Sejauh ini koalisi parpol memang untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk nilai dasar perjuangan, itulah sebabnya koalisi dinamis, tidak tetap sebagaimana di negara lain," kata Dedi.

Dedi menambahkan, "Selama parpol hanya mementingkan ego parsial, untuk menang agar berkuasa, maka ada masa di mana pemilih semakin tidak percaya pada parpol dan parpol saat ini mungkin sudah menyadari, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak ingin penghapusan ambang batas karena bisa jadi ancaman di mana parpol minim kuasa di masa mendatang.”

Sikap Partai dalam Membentuk Poros Koalisi

Sejumlah partai pun angkat bicara soal pertimbangan poros koalisi dengan mengacu pada kedekatan parpol. Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid menilai PKB tidak ambil pusing dalam menentukan mitra koalisi.

Ia menilai, PKB akan membentuk poros yang dipastikan menang dalam pemilu mendatang sebagaimana periode sebelumnya. Namun poros yang dibangun PKB tentu harus diselaraskan dengan partai-partai pendukung lainnya.

“Wajar saja jika 2024 PKB berupaya membentuk dan memimpin poros koalisi alternatif. Tentu kami harus duduk bersama menyusun agenda bersama bagi lahirnya harapan baru pasca Covid 19," kata Jazilul kepada reporter Tirto, Senin (20/12/2021).

Jazilul pun mengaku, PKB tidak akan milih-milih rekan. Namun ia memastikan bahwa poros koalisi yang akan dibentuk pasti menang.

“Sejauh ini PKB tidak pernah neko-neko, PKB mengedepankan kebersamaan dan kepentingan orang banyak. Yang jelas PKB akan membentuk dan bersama poros yang menang. Kami punya pengalaman panjang juga. Insya Allah yang bersama PKB akan menang," kata Jazilul.

Di sisi lain, PKS juga memastikan mitra koalisi mereka dalam Pemilu 2024 harus sejalan dengan partai dan rakyat. “Syarat utama koalisi tentu sejalan dengan tujuan PKS. Pihak-pihak yang diajakn PKS berkoalisi berkomitmen memberantas korupsi, mewujudkan pemerintahan yang melayani dan mensejahterakan rakyat," kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada reporter Tirto.

Mardani pun mengaku, PKS terus membangun komunikasi dengan semua pihak. Ia mengingatkan, membangun Indonesia tidak bisa dilakukan sendiri sehingga perlu kerja sama semua pihak. Ia sebut, PKS tidak menyoalkan soal ideologi harus islamis atau tidak.

“Baik partai islamis atau nasionalis semua punya kesempatan yang sama selama masuk dom kriteria Island of Integrity. Pulau Integritas," kata Mardani.

Sementara itu, Partai Demokrat lewat Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, mengatakan bahwa pembahasan Pemilu 2024 tidak sembarangan. Mereka akan berhati-hati karena Pemilu 2024 berbicara soal masa depan bangsa.

“Pilihan mitra koalisi maupun calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung kami, tentunya bakal melalui proses yang penuh dengan pertimbangan. Bagaimanapun, ada nasib bangsa dan negara ini yang dipertaruhkan," kata Herzaky kepada reporter Tirto, Senin (20/12/2021).

Ia menambahkan, "Demokrat tentunya berharap kita bisa memilih pemimpin terbaik dan lebih baik dari saat ini, agar akselerasi pembangunan Indonesia bisa berjalan dengan lebih cepat, tanpa mengabaikan demokrasi dan lingkungan hidup.”

Herzaky menuturkan, Demokrat pasti akan bermitra dengan partai yang memiliki kesamaan platform partai, mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi, sesuai UUD 1945 dan Pancasila serta mengedepankan semangat kolaboratif dan sinergi dalam mengelola bangsa dan negara ini. Bukan yang sibuk memecah belah apalagi melanggengkan polarisasi demi keuntungan elektoral.

“Cukup sudah bangsa ini terpecah belah, terkotak-kotak. Saatnya kita melangkah bersama, di atas semua perbedaan. Inilah yang menjadi prinsip dasar kami, dalam memilih calon mitra koalisi maupun calon pemimpin nasional," kata Herzaky.

“Tentunya ini semua akan kita bahas bersama, seperti yang sudah disampaikan Ketum Partai Demokrat, Mas AHY dalam berbagai kesempatan, setelah pandemi benar-benar mereda, dan krisis ekonomi akibat pandemi sudah mulai bisa diatasi. Rakyat yang harus jadi prioritas," tutup Herzaky.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz