tirto.id - Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat menuai polemik. Bukan hanya persoalan administrasi PSE dan ancaman pemblokiran saja, tapi juga ada ‘pasal karet dan multitafsir’ termaktub dalam regulasi yang diteken Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate.
Salah satunya Pasal 9 ayat (4) huruf b yang menyebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dilarang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Poin “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dinilai tak jelas indikatornya.
Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief berpendapat, definisi ‘meresahkan dan mengganggu ketertiban umum’ tidak dijelaskan gamblang dalam peraturan itu. Sementara pemerintah juga mencantumkan soal ‘pornografi anak’ dan ‘terorisme’ –dua hal terakhir lebih jelas indikatornya—.
“Meresahkan masyarakat itu seperti apa? Bisa saja (pemerintah) menyebutkan sebagai ajakan untuk makar, misalnya, atau ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Itu lebih jelas,” ucap dia kepada reporter Tirto, Kamis, 21 Juli 2022.
Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan banyak interpretasi, kata Yovamtra. Hal tersebut, tak cuma warga yang berpotensi jadi korban kriminalisasi aturan ini, bahkan jurnalis pun bisa jadi korban.
Umpama, ada pemberitaan perihal dugaan korupsi oleh pejabat daerah. Lalu, jurnalis memberitakan hal tersebut dan muncul keresahan penduduk daerah tersebut karena rasuah yang dilakukan si pemimpin wilayah. “Warga yang resah dengan kondisi sekitar, itu hal yang baik. Karena kalau tidak resah, orang tak mau melakukan perubahan. Maka pasal ini akan sangat berbahaya bagi demokrasi.”
Yovantra menilai tidak mungkin jajaran Kominfo tak paham memberikan indikator tingkat kejelasan. Bahkan pemerintah bisa bekerja sama dengan koalisi masyarakat sipil untuk merumuskan definisi yang lebih spesifik. Lalu, apa yang menyebabkan pemerintah ‘hobi’ menyisipkan ‘pasal karet’ yang merugikan rakyat?
Yovantra berpendapat hal ini seolah menjadi tren. Ambil saja contoh RKUHP yang memasukkan pasal penghinaan presiden. “Saya rasa ini tren. Tren di mana pemerintah akhirnya lebih peduli soal bagaimana warga menggunakan media sosial,” ucap dia.
Seakan-akan mengajak para pengguna media sosial agar ‘lebih sopan’ di dunia maya itu. Definisi sopan itu bisa saja seperti tidak mengkritik pemerintah atau publik tak perlu resah terhadap kelakuan pemerintah.
“Kalau pakai definisi yang sama, sebenarnya Kominfo sekarang sedang membuat keresahan publik. Dia mengancam memblokir Google dan sebagainya, publik resah. Bagaimana tidak resah? Publik pakai (aplikasi) itu semua. Semua orang resah, tapi tak bakal ada yang melaporkan Kominfo meresahkan masyarakat, kan?” terang Yovantra.
Kendali Utuh yang Pincang
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez menilai, kewajiban bagi PSE untuk mendaftarkan diri ke Kominfo akan menjadi awal kontrol penuh negara di ruang digital. Hal tersebut dapat dilihat dari regulasi yang dijadikan sebagai dasar hukum dan kecenderungan pemerintah untuk melakukan moderasi konten di internet.
Misalnya melirik persoalan ini dari kacamata perlindungan data pribadi masyarakat sebagai pengguna. Pasal 3 ayat (4) aturan ini yang memerintahkan PSE Lingkup Privat untuk memberikan perlindungan data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini saja sebenarnya sudah bermasalah.
“Ketentuan terkait pengumpulan hingga pemprosesan data pribadi hanya diatur secara parsial dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tanpa adanya undang-undang khusus yang memayungi aturan pelaksana tersebut,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (21/7/2022).
UU ITE juga tidak dapat dijadikan sebagai cantolan utama terkait mekanisme penggunaan data pribadi ini. Hanya terdapat satu ayat, yaitu Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang memuat ketentuan tentang data pribadi. Ketiadaan pengaturan hukum yang spesifik terkait perlindungan data pribadi membuat kewajiban bagi PSE untuk mendaftarkan diri merupakan langkah yang terburu-buru oleh pemerintah.
“Seharusnya pemerintah bersama dengan DPR selaku pembuat undang-undang segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) sebelum mengeluarkan kebijakan yang berdampak besar di ruang digital,” tegas Hemi.
Moderasi terhadap konten yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat sebenarnya harus kembali ditinjau ulang.
Selain karena tidak ada tolok ukur yang jelas, moderasi konten di internet juga akan mengancam hak masyarakat untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. “Pada akhirnya publik bisa bertanya kepada pemerintah, sebenarnya tujuan pendaftaran PSE ini kebutuhan dan kehendak siapa?” kata Hemi mempertanyakan.
Sesuka Negara
Permenkominfo 5/2020 ini juga mencantumkan ihwal pengawasan. Definisi 'pengawasan' pun sangat luas. Pasal 21 ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, saat ini legislasi utama terkait perlindungan data pribadi yang komprehensif yakni RUU PDP belum disahkan.
Minimnya regulasi dan mekanisme pengawasan PDP menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi. “Jika nantinya, otoritas PDP yang didirikan berdasarkan RUU PDP, disematkan sebagai bagian dari kementerian/lembaga atau lembaga pemerintah nonkementerian, otomatis pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan akan sangat tinggi,” kata peneliti Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat, Alia Yofira dalam diskusi daring, Kamis (21/7/2022).
Tidak hanya kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum juga bisa minta akses terhadap sistem elektronik untuk pengawasan. Bahkan tidak ada kewajiban untuk meminta surat penetapan dari pengadilan negeri. Kemudian Pasal 23 ayat (1) mengatur bahwa akses terhadap sistem elektronik untuk pengawasan disampaikan secara tertulis berdasarkan pada penilaian atas kepentingan pengawasan dan proporsionalitas serta legalitas.
Masalah lain dari Permenkominfo ini ialah jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses. Pasal 27 dan Pasal 31 mengatur bahwa PSE Privat harus memenuhi permintaan akses dalam lima hari kalendar. Jangka waktu yang relatif sempit ini tidak memberikan waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisis secara saksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keleluasaan negara tercermin lagi dalam pasal lain. “Tidak ada kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan untuk akses terhadap data elektronik,” tutur Alia.
Hal itu tercantum dalam Pasal 32 yang hanya mengatur bahwa akses terhadap data elektronik oleh aparat penegak hukum untuk tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun. “Tidak ada prasyarat untuk mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu,” kata Alia.
Perusahaan pers dan jurnalis juga terancam dengan adanya Permenkominfo 5/2020. Pasal 2 ayat (2) huruf b menegaskan kriteria PSE Lingkup Privat, salah satunya yang memiliki portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan melalui internet dipergunakan untuk layanan mesin pencari, layanan penyediaan informasi elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/atau seluruhnya.
“Dalam hal ini, pers, ya dia menyediakan informasi. Menyediakan gambar, suara, rekaman video. Masukkah (pers) dalam PSE Lingkup Privat? Iya,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, dalam diskusi daring. “Artinya termasuk perusahaan media, tidak ada terkecuali di dalamnya.”
Ade menilai, potensi penyensoran sangat besar karena peraturan ini, sehingga ruang-ruang demokrasi digital semakin menyempit atau bahkan lenyap.
Permenkominfo 5/2022 ini turut melanggar prinsip legalitas, kata dia. Dalam Pasal 9 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3), tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan pelarangan beberapa perbuatan tersebut. Selain itu, potensi pembungkaman kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan konstitusi menyebabkan pembatasan itu tidaklah sah menurut hukum.
“Siapa yang berhak menafsirkan bahwa informasi yang muncul oleh sebuah media atau blog itu meresahkan?” kata Ade perihal pasal multitafsir di regulasi ini.
Menurut Ade, semestinya pemerintah bisa memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukukan, sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak, mengetahui pertimbangan pembatasan hak atas informasi.
Respons Kementerian Kominfo
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengklaim, tidak ada ‘pasal karet’ dalam Permenkominfo tersebut. “Tidak ada pasal karet. Sangat jelas, pasal yang mana?” kata dia, Kamis (21/7/2022).
Ia menilai, banyak yang bicara tentang konten yang meresahkan dan mengganggu kepentingan umum. Terkait pasal itu harus ada dua unsur, yakni harus benar-benar meresahkan dan harus benar-benar mengganggu. Yang terpenting, harus ada kejadiannya.
“Contoh yang paling konkret baru saja terjadi, ada pemuka agama lain mengkritisi agama lain tentang kitab sucinya dan jadi ramai. Itu sudah mengganggu dan benar-benar ramai di sosial media, sampai menko pun turun tangan. Jadi tidak ada yang namanya pasal karet,” kata Semuel.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz