tirto.id - Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) dan Komisi III DPR RI yang membidangi hukum sepakat tidak akan menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf RUU KUHP yang sedang dibahas di parlemen. Pemerintah dan legislatif seolah-olah tidak peduli dengan penolakan publik terkait pasal karet tersebut.
Ketua Komisi III DPR, Babang Wuryanto memastikan pasal penghinaan presiden masuk dalam draf RUU KUHP yang menjadi inisiatif pemerintah. Pria yang akrab disapa Bambang Pacul bahkan “menantang” orang-orang yang menolak pasal penghinaan presiden agar menuntut ke Mahkamah Konstitusi.
“Saat ini yang dipermasalahkan oleh para adik-adik mahasiswa adalah penghinaan presiden yang dicabut oleh MK. Kalau kau merasa dalam diri kau ini adalah suatu bentuk hinaan, maka boleh dong untuk menuntut,” kata politikus PDI Perjuangan itu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (29/6/2022).
Pacul menggunakan alasan bahwa presiden adalah manusia. Oleh karena itu, presiden boleh diberikan hak untuk melapor ke aparat atas penghinaan dari seseorang, baik melapor pribadi atau lewat pihak lain seperti kuasa hukum.
“Kalau dihina kemudian beliau tidak terima boleh tidak menuntut? Ya tentu boleh, bisa pakai kuasa hukum, atau dirinya sendiri juga boleh,” kata dia.
Pacul menambahkan, “Undang-undang ini perlu diperbaiki agar masyarakat tertata dengan benar. Jadi kalau menghina intinya, siapapun yang dihina sebagai HAM boleh menuntut balik penghinanya.”
Hal senada juga ditegaskan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Ia mengatakan pemerintah tidak akan menghilangkan pasal penghinaan tersebut. Ia beralasan antara penghinaan dan kritik adalah sesuatu yang berbeda.
“Tidak akan kami hapus. Intinya kami begini, kami tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Jadi kalau nggak setuju pintu MK terbuka lebar,” kata pria yang akrab disapa Eddy Hiariej.
Eddy Hiariej sebut mereka yang tidak sepakat dengan pasal penghinaan presiden agar menggugat ke MK. Tak hanya itu, dosen pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta itu bahkan menyebut pihak yang menuding pemerintah antikritik akibat mengesahkan pasal itu sebagai orang yang sesat berpikir.
“Itu orang yang sesat secara berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik. Perlu dibaca bahwa mengkritik itu tidak boleh dipidana. Karena ada pasalnya. Jadi yang mengatakan bahwa penghinaan sama dengan kritik itu mereka sesat pikir yang tidak membaca,” kata Hiariej.
Ugal-ugalan DPR dan Pemerintah
Logika Eddy Hiariej dan Bambang Pacul mengingatkan kembali soal 'ugal-ugalan' pemerintah dan DPR yang ingin mengesahkan RKUHP dengan memasukkan pasal penghinaan presiden pada 2019. Aksi tersebut urung dilakukan setelah mendapat penolakan kuat dari pemerintah. Setelah lama tidak terdengar, pemerintah dan DPR kembali menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden akan masuk dalam RKUHP terbaru.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengritik poin-poin pasal RKUHP yang akan disahkan pemerintah dan DPR, termasuk pasal penghinaan presiden yang diatur dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
Kasus penghinaan presiden dinilai masuk dalam pasal-pasal kolonial yang tidak relevan untuk masyarakat demokratis. Pasal itu, dalam pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, juga dibatalkan MK dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum, kebebasan berpendapat dan prinsip kepastian hukum.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang merupakan bagian koalisi Aliansi Nasional Reformasi KUHP, M. Isnur memandang, upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden menandakan pemerintah dan DPR bersikap mengarah pada otoritarian.
“Jelas ini menandakan karakter pemerintah dan DPR yang menunjukkan gejala-gejala otoritarian, gejala-gejala yang tidak demokratis, gejala-gejala yang tidak menghendaki adanya prinsip equality before the law di mana Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan adanya persamaan posisi hukum antara presiden dengan warga negara,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (29/6/2022).
Isnur juga mengkritik pernyataan Eddy Hiariej yang tidak melihat situasi dalam pelaksanaan regulasi penghinaan presiden. Saat ini, aparat penegak hukum kerap kali menafsirkan kritik sebagai penghinaan. Hal itu sudah menyasar beragam elemen masyarakat.
“Problemnya, kan, tafsir atas ‘kata penghinaan’ tersebut. Selama ini secara empiris terbukti bahwa kritik sangat sering dianggap penghinaan. Sudah sangat jamak, teman-teman BEM, aktivis dan lain-lain yang dalam kapasitas mereka adalah kritik dengan berbagai medium dianggap menghina dan dikriminalisasi," kata Isnur.
Oleh karena itu, Isnur menilai, tidak perlu ada pengaturan khusus pasal baru. Ia mengingatkan, pertama, pasal penghinaan presiden sudah dihapus oleh MK sehingga tidak perlu disinggung lagi. Kedua, presiden juga bagian dari masyarakat sehingga tidak perlu mengatur secara spesifik. Ketiga, pasal penghinaan presiden merupakan pasal warisan kolonial.
Apabila pasal penghinaan presiden tetap disahkan, ia khawatir ada kriminalisasi di masa depan.
“Dampaknya jika presidennya mudah baper atau mudah tersinggung ketika orang mengkritik jabatannya, ya dengan mudah dia melakukan pelaporan dan mengkriminalkan. Karena penghinaan ini, kan, sangat subjective delict," kata Isnur.
Melanggar Prinsip Dekolonialisasi
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menilai, upaya pengesahan pasal penghinaan presiden melanggar prinsip dekolonialisasi dalam hukum pidana Indonesia. Ia mengingatkan esensi pasal penghinaan presiden mengambil dari pasal penghinaan ratu dan presiden di hukum Belanda. Penghidupan kembali pasal penghinaan presiden justru berlawanan dengan semangat dekolonialisasi.
“Dulu penghinaan dilarang untuk ratu dan raja sekarang diganti ke presiden. Lah, katanya dekolonialisasi menghilangkan unsur colonial, tapi kok ngotot gitu loh? Jadi benar nggak semangat dekolonialisasi ini ada dalam KUHP? Kalau ini tetap dipertahankan, maka dekolonialisasi yang mana, apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal ini,” kata Fachrizal kepada Tirto.
Fachrizal pun menyindir pandangan Eddy Hiariej yang menyebut orang-orang yang salah berpikir dalam menjawab kelompok kontra pasal penghinaan presiden. Ia menilai Eddy Hiariej secara tidak langsung menyalahkan logika Mahkamah Konstitusi yang menghapus pasal tersebut.
“Jadi kenapa kok ngotot itu juga apa namanya aneh kalau kita disebut salah berpikir, lah keputusan Mahkamah Konstitusi itu apa juga salah, gitu ya?" kata Fachrizal mempertanyakan.
Ia menambahkan, "Memang gradasinya sekarang jadi delik aduan, tapi bagaimana mungkin seorang presiden mengadukan kasusnya ke polisi yang merupakan bawahannya? Tidak bisa ditindaklanjuti begitu ya.”
Fachrizal mengamini logika Eddy Hiariej yang menyatakan bahwa penghinaan dan kritik berbeda. Akan tetapi, pelaksanaan pasal penghinaan presiden kerap kali menyasar para pengkritik. Ia mencontohkan kasus eks dosen Unsyiah Saiful Mahdi. Mahdi sempat dipenjara gara-gara mengkritik pengelolaan kampus. Ia khawatir, pasal penghinaan presiden akan memicu kriminalisasi baru.
Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan agar pengaturan penghinaan presiden cukup diatur dalam pasal penghinaan biasa. Ia khawatir, presiden berpotensi menyalahgunakan ketika ada rakyat yang mengkritik kebijakan yang tidak memuaskan. Ia bahkan khawatir pasal ini bisa menyasar pada kebebasan pers.
“Itu yang perlu dilihat dari praktik ya, beberapa banyak kasus kritik yang kemudian dijadikan, dimasukkan dalam kasus penghinaan. Jadi kira-kira itu ya dampak buruknya, saya kira mengulang lagi yang dulu," tutur Fachrizal.
Menurut Fachrizal, “Jadi apalagi sekarang misalkan karikatur Tempo yang kemarin memanjangkan hidung Presiden Jokowi, ya itu bisa-bisa dilaporkan itu redaktur Tempo. Ini, kan, akan membatasi kebebasan pers juga, padahal kan itu bentuk ketidakpuasan publik kepada pemimpin,” kata dia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz