tirto.id - “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis.” Tulisan itu terlihat dari sebuah papan persegi yang dibawa oleh Santi Warastuti (43) saat acara Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat pada 26 Juni 2022. Sementara di samping dia terdapat sang suami, Sunarta dan putrinya bernama Pika Sasikirana yang menderita cerebral palsy yang tengah berbaring di kursi roda.
Santi merupakan salah satu dari tiga ibu yang menjadi pemohon uji materi Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada November 2020 agar ganja untuk kepentingan medis dilegalkan.
Pagi itu sekitar pukul 07.15 WIB, perempuan lulusan Fakultas Fisipol, UNS Solo itu bersama sang suami, dan anaknya melakukan aksi jalan kaki dari Bundaran HI menuju MK untuk membawa surat dari sang putri yang dimuat dalam sebuah bingkai.
Tujuannya, meminta MK agar segera memberikan putusan atas gugatan yang sudah mereka ajukan untuk mengubah bunyi pasal di UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tepatnya Pasal 8 ayat 1 dan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a, supaya Golongan I yang di dalamnya termasuk tanaman ganja dapat digunakan untuk keperluan medis. Sehingga Pika bisa mendapat terapi ekstrak minyak ganja yang sangat dibutuhkannya dengan segera.
Mereka datang dari Sleman, DI Yogyakarta ke Jakarta untuk melakukan aksi yang juga bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional pada Minggu, 26 Juni 2022.
“Kami mau ke MK, mau kasih surat ini, meminta MK segera memutuskan uji materi kami agar melegalkan ganja untuk medis untuk mengobati anak saya yang menderita cerebral palsy,” kata Santi saat ditemui reporter Tirto di lokasi.
Sepanjang perjalanan, aksinya itu disaksikan ribuan warga yang tengah melakukan aktivitas di CFD. Banyak juga warga yang memberikan dukungan moril maupun materiil sepanjang perjalanannya.
Salah satunya aktris sekaligus penyanyi, Andien Aisyah yang saat itu ada di lokasi. Dia tampak terharu dan empati melihat perjuangan Santi bersama keluarganya.
Ungkapan kesedihan pun dituliskan oleh Andien melalui akun Twitter pribadinya. “Tadi di CFD, ketemu seorang Ibu yang lagi bawa anaknya (sepertinya ABK), bawa poster yang menurutku berani banget. Pas aku dekatin beliau nangis. Remuk hati aku.”
Setelah satu jam lebih mereka berjalan, akhirnya sekitar pukul 08.40 WIB, mereka tiba di depan Gedung MK. Santi pun langsung mengeluarkan obat cairan untuk diminum Pika yang harus disalurkan melalui suntikan. “Minum obat dulu ya nak, biar sembuh,” kata Santi kepada Pika.
Suntikan berisi cairan itu pun dimasukkan ke mulut Pika. Namun, tampak terjadi penolakan dari Pika. “Maaf nak, nggak enak ya obatnya,” tutur Santi dengan raut wajah yang sedih.
Lalu, Santi mendatangi petugas keamanan yang berjaga di MK untuk memberikan surat dari Pika. Namun sayangnya, petugas tidak mau menerima surat tersebut lantaran hari libur, sehingga Santi diminta kembali lagi esok pada hari kerja.
“Saya sebagai tugas pengamanan biar tidak ada masalah, jadi arahan saya seperti itu saja," kata Kepala Petugas yang berjaga saat itu.
Raut kesedihan terlihat dari wajah Santi dan suami lantaran usahanya itu harus pupus karena suratnya tak diterima. Terpaksa ia dan keluarga harus kembali ke MK esok hari.
Jika ganja tak dilegalkan untuk medis, maka dia khawatir anaknya akan mengalami seperti anak temannya yang juga merupakan salah satu anak pemohon, Musa IBN Hasan. Musa akhirnya meninggal dunia setelah berjuang menghadapi kondisi cerebral palsy akibat perkembangan otak yang tidak normal pada 28 Desember 2020.
Musa mendapatkan pengobatan ganja di Australia pada 2016 dan sempat membaik. Akan tetapi, pengobatan tersebut berhenti setelah Musa kembali ke Indonesia dan meninggal dunia pada 2020.
“Surat saya buat sendiri untuk mengetuk hati para hakim agar segera memberikan keputusan yang terbaik buat kami. Kami mohon sih untuk dilegalkan ganja medis," kata Santi.
Awal Mula Pika Sakit
Sejak lahir pada 25 September 2008, Pika tidak memiliki penyakit berat. Saat itu, Pika bersama keluarga tinggal di Bali. Namun, ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), berusia enam tahun, Pika sesekali mengalami pingsan hingga muntah-muntah.
Santi dan suaminya yang kala itu tengah bekerja terpaksa harus izin ke sekolah untuk menjemput anaknya. Setelah istirahat, Pika sehat kembali. Peristiwa itu terjadi beberapa kali, sampai mengalami kejang-kejang.
Kemudian Pika pun dilarikan ke rumah sakit dan diperiksa oleh dokter syaraf. Alhasil, buah hatinya itu divonis penyakit epilepsi karena kejang tanpa demam. Itu menjadi pil pahit bagi Santi dan sang suami.
“Waktu pertama divonis epilepsi saya merasa gagal sebagai ibu, tidak bisa menjaga dia. Saya menyalahkan diri sendiri, kenapa bisa begini, apa salah saya? Saya stres sendiri, nggak mau makan sampai kurus saya," kata Santi.
Setelah diperiksa, Pika juga terkena penyakit Japanese Encephalitis (JE) atau radang otak yang ditularkan oleh nyamuk. Kemudian Pika menderita cerebral palsy atau lumpuh otak.
“Jadi hampir semua sarafnya terganggu, saraf motorik, intelektual. Jadi dia tergantung dengan saya 24 jam,” kata Santi bercerita.
Sehari-hari Pika harus mengonsumsi obat stesolid sekali pakai untuk mengobati kejangnya. Seiring berjalannya waktu, kondisi Pika semakin memburuk dan jalannya sempoyongan. Selain pengobatan medis, Pika pun mencoba lakukan terapi.
Santi bersyukur anaknya sempat membaik dan tubuhnya bisa tengkurap. Tetapi sayangnya, kondisinya itu tak bertahan lama, bahkan mengalami kemunduran. Pika pun harus memulai dari awal karena kembali alami kejang.
“Setiap Pika kejang benar-benar mematahkan hati saya,” ucapnya.
Merasa tak menemukan hasil, Santi mencoba pengobatan alternatif untuk anaknya yakni metode tusuk jarum. Ditambah meminum jamu dan vitamin yang harganya mencapai Rp1,5 juta.
Setengah tahun tak ada perkembangan, Pika beralih ke fisioterapi. Melihat kondisi Pika semakin memburuk, Santi memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya di perusahaan garmen di Bali agar bisa secara total mengurus putrinya.
Lantaran di Bali sulit mencari tempat terapi, akhirnya Santi dan Pika memutuskan pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta pada 2015. Sementaranya suaminya tetap tinggal di Bali untuk bekerja.
Pika pun mulai melakukan pengobatan medis, alternatif, hingga terapi akupunktur seminggu dua kali. Merasa kesepian hanya berdua, Santi meminta sang suami untuk ikut ke Yogyakarta. Akhirnya suaminya pindah pada 2020, namun tetap mengurus pekerjaannya di Bali.
“Di Bali kerja mendesain gambar airbrush gitu. Memang cepat putar uangnya di Bali, tapi kan karena harus ada salah satu yang diprioritaskan, jadi fokus Pika," tuturnya.
Selama delapan tahun merawat Pika, Santi mengaku terkena psikis, mental, hingga ke kehidupannya. Apalagi ketika mengajak Pika keluar rumah dan banyak orang-orang yang melihat Pika. "Padahal dilihat gitu saja, tapi saya sensi duluan," ucapnya.
Bahkan, Pika pernah positif COVID-19 saat kasus virus Omicron memuncak. Namun dia bersyukur Pika masih bisa tertangani dengan baik dan keterisian rumah sakit kala itu masih banyak.
Selain itu, perekenomian Santi juga berdampak selama merawat Pika. Biaya untuk merawat Pika terbilang cukup besar, apalagi kini hanya suaminya saja yang bekerja.
Seminggu sekali Pika harus menjalani terapi dengan biaya Rp100.000, obat sekali konsumsi Rp53.000, akupuntur Rp250.000 seminggu dua kali, sepatu anak berkebutuhan khusus Rp950.000, matras Rp750.000, dan standing frame Rp2 juta.
“Kalau dihitung sebulan bisa habis Rp2-3 juta," tuturnya.
Ia pernah mendapat saran dari kawannya untuk melakukan terapi CBD Oil. Akan tetapi, terapi itu tidak berani dilakukan Santi karena bahan yang digunakan masuk larangan narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 tahun 2009.
“Memohon kepada MK agar keputusan permohonan kami segera diberikan keputusan setelah dua tahun menggantung, untuk anak saya terutama," harap Santi.
Selain Santi, terdapat dua ibu lainnya yakni Dwi Pertiwi dan Nafiah Murhayanti yang menguji UU Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Saat ini, permohonan mereka dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020 belum masuk tahap putusan. Sidang terakhir digelar pada 7 Maret 2022 dengan agenda keterangan ahli presiden.
Sidang uji materi UU Narkotika di MK tersebut pun telah menerima pendapat dari para ahli. Dekan Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya, Jakarta, Asmin Fransiska menyatakan dirinya setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan.
Sebab, berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun, serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau non discrimination principle.
Kemudian ahli lainnya, Miss Pakakrong Kwankhao selaku pharmacis ganja asal Thailand mengatakan, ganja memang perlu dilegalkan untuk keperluan medis. Tetapi dengan persyaratan penggunaan tidak digunakan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan.
Sejak 2018, Thailand menjadi negara Asia pertama yang melagalkan ganja untuk urusan medis. Klinik yang menggunakan ganja tersedia pada awal April 2022, namun mulai beroperasi pada 9 Juni 2022.
Sementara itu, Ahli asal Inggris, Stephen Rolles menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan I adalah kebijakan politis. Stephen menilai disetaraannya golongan ganja dengan heroin, sabu hingga ekstasi bukan didasarkan alasan kesehatan.
Seiring munculnya penelitian terbaru tentang manfaat ganja, khususnya di bidang medis, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun ikut melakukan penelitian dan menemukan bahwa senyawa cannabidiol—senyawa yang tidak memabukkan—tidak tunduk pada hukum internasional.
CBD pun dianggap telah banyak berperan penting dalam terapi kesehatan selama beberapa tahun terakhir, serta mendorong industri senilai miliaran dolar AS.
Akhirnya dalam pertemuan ke-41, Komite Ahli Ketergantungan Obat (ECDD) mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres agar menghapus ganja dari golongan 4 Konvensi Tunggal Narkotika.
Surat itu yang akhirnya ditindaklanjuti Komisi Narkotika PBB pada 2 Desember 2020. Dari 53 negara anggota, sebanyak 27 negara menyetujui rekomendasi WHO tersebut, 25 negara menolak, dan 1 negara abstain.
Melalui sebuah voting ketat, akhirnya Komisi Narkotika PBB (CND) mencabut ganja dan turunannya dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika. Artinya, ganja tidak lagi dianggap obat-obatan adiktif dan berbahaya. Keputusan bersejarah itu menandai babak baru sejarah panjang upaya legalisasi ganja.
Respons MK dan DPR
Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, uji materi UU Narkotika saat ini masih dalam pembahasan hakim konstitusi. “Saat ini posisinya sedang dalam pembahasan internal oleh Hakim Konstitusi,” kata Fajar saat dikonfirmasi Tirto, Senin (27/6/2022).
Fajar menjelaskan sidang perkara uji materi UU Narkotika cukup panjang karena menghadirkan banyak ahli dari pihak yang beperkara. Sidang terakhir digelar 7 Maret 2022.
Sampai dengan hakim membacakan putusan, uji materi UU Narkotika masih harus melewati beberapa tahap lagi, seperti pembahasan perkara, termasuk penyampaian legal opinion hakim.
“Kalau sudah sepakat, baru drafting putusan. Kalau sudah siap, dijadwalkan sidang pengucapan putusan,” kata Fajar menjelaskan.
Kendati demikian, Fajar mengatakan, dirinya tidak mengetahui kapan uji materi UU Narkotika akan diputuskan. “Saya tidak dapat memperkirakan [kapan putusan], bergantung pada dinamika pembahasan itu sendiri. Tapi mudah-mudahan segeralah ya," tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Dasco Sufmi Ahmad akan membuka kajian perihal penggunaan ganja dalam proses pengobatan atau medis. Hal itu lantaran ganja saat ini masih dilarang dalam UU Narkotika.
“Apakah ganja bisa dimungkinkan untuk menjadi salah satu obat medis yang memang bisa digunakan? Karena saat ini di Indonesia belum ada kajiannya," kata Dasco di Gedung DPR RI pada Senin (27/6/2022).
Saat ini Komisi III DPR RI sendiri tengah melakukan revisi UU 35/2009 tentang Narkotika. Politikus Partai Gerindra itu mengatakan akan berkoordinasi dengan Komisi III dan Komisi IX DPR RI, termasuk Kementerian Kesehatan untuk membahas apakah ganja dapat dilegalkan untuk kepentingan medis.
“Nanti kita akan coba koordinasi dengan komisi teknis, Kemenkes agar kita bisa kemudian menyikapi hal itu," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz