tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi melakukan perjalanan ke Ukraina dan Rusia dengan misi perdamaian setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Jerman, Senin (27/6/2022) waktu setempat. Mantan Wali Kota Solo itu akan pergi ke Ukraina lewat negara Polandia.
“Saya juga melakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak dalam rangka kunjungan Bapak Presiden ke Ukraina dan ke Rusia. Tentunya komunikasi ini terus kita lakukan dengan Ukraina dan Rusia sendiri,” kata Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dalam keterangan secara daring dari Munich, Jerman, Senin (27/6/2022) waktu setempat.
Berdasarkan keterangan Biro Pers dan Media Istana, Selasa (28/6/2022) pukul 17.57 waktu Jakarta, Jokowi sudah tiba di Polandia sekitar pukul 11.50 waktu setempat. Dari Polandia, Jokowi dan rombongan akan menaiki kereta api selama kurang lebih 12 jam untuk mencapai ibu kota Ukraina, Kiev.
Kedatangan Jokowi ke Ukraina dan Rusia memang sudah menjadi agenda Jokowi dalam lawatannya ke luar negeri. Jokowi sebut kedatangan dirinya ke Ukraina dalam rangka bertemu Presiden Ukraina, Zelensky. Ia akan mendorong konflik Ukraina dan Rusia berakhir setelah perang meletus awal 2022.
“Dari Ukraina, saya akan menuju ke Rusia untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin sekali lagi dengan misi yang sama. Saya akan mengajak Presiden Putin untuk membuka peluang dialog dan sesegera mungkin untuk melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang,” kata Jokowi sebelum berangkat ke luar negeri di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (26/6/2022).
Misi Perdamaian Jokowi & Politik Bebas Aktif
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang, Jokowi tengah menangkap aspirasi sebagian masyarakat agar Indonesia lebih aktif dalam konflik Rusia-Ukraina, terutama demi kepentingan dalam negeri. Ia menilai Indonesia terancam menerima dampak yang lebih besar bila perang terus berlarut.
Di sisi lain, kata Fahmi, Jokowi juga diminta untuk tegas dalam pelaksanaan asas politik luar negeri bebas aktif dan menggunakan posisi Indonesia untuk menyelesaikan konflik kedua negara di meja perundingan.
“Mengapa baru sekarang? Menurut saya ini berkaitan dengan momentum. Secara domestik, terdapat sinyal melemahnya kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. Kunjungan yang dilakukan serangkai dengan agenda menghadiri KTT G-7 itu menjadi peluang untuk meningkatkan kepuasan domestik sekaligus membangun persepsi adanya dukungan yang kuat dari AS dan negara-negara barat,” kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/6/2022).
Fahmi mengingatkan politik bebas aktif bukan pada isu netralitas, tetapi pada independensi sikap Indonesia dalam suatu masalah. Jokowi tengah melakukan langkah yang sebenarnya bisa dilakukan sejak awal.
Apakah ada risiko, apalagi Jokowi berpotensi mempertaruhkan citra Indonesia sebagai keketuaan G20? Fahmi menjawab “Ini adalah sebuah langkah dengan risiko terukur. Meski belum tentu dapat mencapai target resolusi damai yang diharapkan dalam konteks internasional, namun seperti dijelaskan di awal, prioritas Jokowi adalah meningkatkan kepuasan domestik dan citranya di mata AS dan negara-negara barat.”
Namun Fahmi pesimistis Jokowi bisa mendorong perdamaian Ukraina-Rusia bila sendirian. Ia menilai perlu ada upaya kolaborasi dan manajemen nilai tawar Indonesia untuk memberikan tekanan signifikan kepada pihak yang terlibat konflik Ukraina-Rusia.
“Menurut saya, ini juga ujian bagi politik 'perimbangan kekuatan' yang kerap dimainkan Presiden Jokowi dalam berbagai krisis. Namun jika keberhasilan itu dilihat dari perspektif domestik, saya kira langkah ini sudah menunjukkan positif. Media bahkan mempublikasikan secara masif, sambutan hangat Joe Bidden pada Jokowi di forum G-7 kemarin,” kata Fahmi.
Posisi Indonesia sebagai Presidensi G20
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana menilai, aksi Jokowi patut diapresiasi. Pertama, ia sebut, Indonesia memang harus mengambil inisiatif dalam menyelesaikan konflik Ukraina-Rusia karena telah menimbulkan dampak kepada negara-negara lain.
“Indonesia sebagai Presiden G20 telah mengambil inisiatif untuk menciptakan perdamaian dan menghentikan tragedi kemanusiaan di Ukraina, bahkan mencegah terjadinya tragedi pangan dunia. Hal ini karena perang di Ukraina telah menyengsarakan banyak pihak, termasuk negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik, dan telah berdampak pada perekonomian dunia,” kata Hikmahanto saat dihubungi reporter Tirto.
Kedua, kata Hikmahanto, Jokowi juga menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Indonesia harus ikut dalam menjaga ketertiban dunia. Ketiga, Jokowi dinilai telah melakukan kunjungan politik dengan asas politik luar negeri bebas aktif. Indonesia harus berpihak pada perdamaian dunia dan mengakhiri tragedi kemanusiaan.
Kunjungan kerja juga dilakukan untuk mendalami upaya agar kedua negara melakukan gencatan senjata. Hikmahanto menilai, Jokowi tidak perlu ngoyo untuk membuat perdamaian secara penuh dengan menghentikan perang. Ia bilang Jokowi sebaiknya lebih mengedepankan upaya gencatan senjata kedua negara agar mengakhiri tragedi kemanusiaan kedua negara.
“Kemungkinan berhasilnya misi untuk menciptakan gencatan senjata dan pengakhiran tragedi kemanusiaan sangat besar daripada mendamaikan kedua negara,” kata Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, setidaknya ada dua alasan besar lebih baik gencatan senjata daripada penghentian perang. Pertama, konflik senjata Ukraina terjadi sudah berlangsung lama.
Ia menduga, Rusia tengah menanggung beban akibat serangan militer hingga dampak legitimasi kepada rakyat, sementara Ukraina menderita tragedi kemanusiaan akibat perang berkepanjangan. Kemudian, legitimasi kedua pemimpin terus tergerus. Di sisi lain, kedua negara berupaya berdamai, tapi tidak ingin kehilangan muka di dunia internasional.
Kedua, belum ada negara yang berupaya menciptakan gencatan senjata kecuali Indonesia. Turki dan Israel tengah berupaya mendamaikan, tetapi gagal karena kedua negara masih 'semangat' untuk berperang.
Di sisi lain, Hikmahanto melihat Rusia bisa menjadi inisiasi untuk menghentikan perang. “Ada indikasi bahwa Rusia hendak menghentikan ini. Ini karena Rusia bersedia menerima kunjungan Presiden Jokowi meski Rusia tahu Indonesia adalah ko-sponsor dari sebuah Resolusi Majelis Umum PBB yang disponsori oleh Amerika Serikat yang mengutuk serangan Rusia sebagai suatu agresi,” kata dia.
Hikmahanto menambahkan, “Bila Rusia tidak memiliki keinginan untuk menghentikan perang, tentu Rusia akan menolak kehadiran Presiden Jokowi yang menganggap Indonesia telah berpihak pada AS dan sekutunya.”
Perlu Libatkan Amerika, Inggris, dan Cina
Ahli komunikasi dan hubungan internasional dari Universitas Jember, M. Iqbal juga menilai, upaya penghentian perang Ukraina-Rusia tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai keketuaan G20 pada 2022. Ia juga memilih turun tangan agar Zelensky dan Putin selaku pemimpin negara bisa memahami dampak perang mereka kepada dunia global.
“Minimal adalah mereka baik Putin maupun Zelensky turut memperhatikan adanya ancaman-ancaman krisis pangan dan krisis energi global yang sudah sangat menghantam sekian negara dan tentu akan berimbas pada bagaimana krisis fiskal maupun moneter secara global dan tentu pemicunya saat ini memang adalah perang Ukraina dan Rusia,” kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, “Tantangan besar yang mau dijawab presiden untuk bisa menjawab persoalan supaya perang Rusia-Ukraina ini betul-betul bisa berakhir dan kedua negara itu bisa lebih mengedepankan kepentingan atas ancaman krisis pangan dan krisis energi global.”
Akan tetapi, upaya Jokowi untuk mendamaikan Rusia-Ukraina tidak akan mudah. Sebab, kepentingan Rusia sebagai sebuah negara tengah terancam bila tidak berperang. Hal itu tidak terlepas dari posisi Ukraina yang mau masuk North Atlantic Treaty Organization atau organisasi pertahanan atlantik utara (NATO).
Posisi Ukraina yang mau masuk NATO mengancam posisi Rusia yang merupakan salah satu superpower di blok timur. Situasi semakin memburuk karena NATO lewat Inggris mendorong Finlandia dan Swedia menjadi bagian NATO. sementara kedua negara tersebut berbatasan langsung dengan Rusia.
“Ini kalau kita meletakkan persepsi simpati dan empati kepada Rusia, Putin tentu sangat gelisah terhadap ekspansi NATO ini dan tentu ini yang saya maksud bahwa tidak mudah presiden dengan modal misi perdamaian dan sebagai presidensi G20 untuk mendamaikan Putin dan Zeleynski,” kata Iqbal.
Iqbal justru menilai penyelesaian konflik hanya bisa dilakukan tidak hanya dengan mengunjungi Ukraina dan Rusia. Ia menilai, Amerika, Inggris dan Cina harus ikut dilibatkan dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina agar konflik bisa dihentikan.
Lalu apa kepentingan Jokowi mau turun menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina yang bukan kepentingan nasional? Iqbal mengatakan, hal itu tidak terlepas dari upaya Jokowi untuk meneguhkan kembali posisi Indonesia dalam politik internasional.
“Soal kepentingan utama Presiden Jokowi untuk kemudian bersikeras mengunjungi dua negara itu tidak lain dan tidak bukan tentu upaya Presiden Jokowi untuk membuat satu legacy kepada masyarakat Indonesia, tentu saja dunia di akhir periode jabatannya bahwa Indonesia politik luar negerinya adalah bebas aktif dan non-blok,” kata Iqbal.
Iqbal melihat Indonesia memang terlihat mulai meninggalkan asas non-blok dalam politik internasional. Padahal, Indonesia adalah negara yang aktif dalam membangun semangat non-blok dalam Konferensi Asia-Afrika di masa lalu. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara besar ASEAN dinilai tidak mampu dalam membuat keseimbangan geopolitik dalam politik bebas aktif dan non-blok, terutama pada kasus Rohingya, Uighur serta kasus Afghanistan.
“Sehingga banyak kalangan merindukan spirit Sukarno untuk melihat bagaimana spirit Konferensi Asia Afrika dan non-blok ini dimainkan oleh Indonesia dan saya yakin dalam konteks itulah misi Presiden Jokowi adalah upaya untuk membangun kembali imaji dunia kepada bagaimana spirit non-blok dan bebas aktifnya itu," kata Iqbal.
Oleh karena itu, kata Iqbal, Jokowi harus berani membuat pertemuan tidak hanya kepada Ukraina dan Rusia, tapi juga membuat forum bersama Presiden AS, Joe Biden dan PM Inggris, Boris Johnson untuk membahas nasib perang dan ancaman krisis pangan maupun energi. Setidaknya ada 4 forum yang harus dibuat untuk menciptakan legasi tersebut.
“Kalau itu tidak terjadi atau belum terjadi, maka jangan sampai nanti Indonesia, Presiden Jokowi hanya akan dipandang sedang melakukan posisi riding the wave, menunggangi gelombang, artinya bahwa ketika kondisi dunia saat ini terimbas secara inflasi ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina ini, lalu Indonesia mencoba untuk membuat pertemuan-pertemuan yang sifatnya hanya artifisial,” kata Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz