tirto.id - Rapar Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem mengumumkan tiga nama bakal calon presiden yang akan diusung pada Pilpres 2024. Dua tokoh adalah kepala daerah, yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sementara figur ketiga adalah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh mengatakan, penentuan ketiga nama tersebut merupakan suara dari para kader Nasdem. Ia pun mengatakan Nasdem akan menentukan satu nama di masa depan.
“Insyaallah kita akan tetapkan 1, waktu dan tempatnya kita cari hari baik. Bulan baik. Bagi kita tidak ada satupun hal yang amat membuat kita terdesak. Karena apa? Saya nyatakan apa pun keputusan kita, kita ingin mencalonkan yang terbaik untuk kepentingan bangsa ini,” kata Paloh dalam pidatonya di penutupan Rakernas Nasdem di Jakarta Convention Center pada Jumat (17/6/2022).
Munculnya nama Andika menambah daftar panjang kandidat potensial untuk maju sebagai bakal calon presiden di Pemilu 2024 dari kalangan militer. Sebelumnya, sudah ada nama eks Danjen Kopassus Letjen (purn) Prabowo Subianto dan Mayor (purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Prabowo, yang juga Ketua Umum DPP Partai Gerindra, merupakan “veteran” dalam gelaran pilpres. Ia pernah mencoba keberuntungan sebagai pendamping Megawati Soekarnoputri pada Pemilu 2009 sebagai cawapres. Prabowo juga tercatat sebagai “rival abadi” Presiden Joko Widodo dalam dua kali pemilu, yakni 2014 dan 2019.
Kalah dalam tiga pemilu sebelumnya tidak membuat Partai Gerindra patah arang. Parpol yang ia dirikan kembali mendorong Prabowo untuk maju lagi dalam Pemilu 2024. Kini, pria yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju itu tengah mencari mitra koalisi untuk kembali bertarung di Pemilu 2024.
Misalnya, Prabowo menerima kunjungan Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar pada Sabtu (18/6/2022) untuk pembahasan koalisi. Kemudian, Prabowo bertemu dengan Erick Thohir, Menteri BUMN yang juga mantan ketua tim sukses Jokowi-Maruf Amin atau kompetitor mantan Danjen Kopassus itu pada saat Pemilu 2019.
Berbeda jauh dengan Prabowo, AHY tergolong lebih muda saat terjun ke politik praktis. Karier terakhir anak Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY itu di militer adalah Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning. AHY langsung terjun sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kalah dalam Pilkada DKI tidak menghentikan karier AHY. Putra sulung SBY itu kemudian didapuk sebagai Ketua Satgas Kogasma Partai Demokrat, tim yang dibentuk untuk memenangkan Demokrat pada Pemilu 2019.
Usai Pemilu 2019, AHY pun akhirnya didaulat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2020-2025, menggantikan ayahnya yang menjadi ketua umum, ketua pembina dan ketua mahkamah partai secara bersamaan. Terkini, Demokrat tengah mencari mitra koalisi untuk bisa mengusung AHY maju di Pemilu 2024.
Meski sudah mulai ada pengusung, tapi para kandidat berlatar belakang militer ini punya tantangan berat. Dari ketiga nama berlatar belakang militer, hanya Prabowo Subianto yang punya kesempatan menang tinggi saat berhadapan dengan bakal calon presiden potensial lain pada Pilpres 2024.
Hasil survei SMRC periode 8-10 Februari 2022 misalnya [PDF], nama Prabowo berada di angka 10,4 persen atau berada satu peringkat di bawah peringkat tertinggi, yakni Ganjar Pranowo (19,9 persen) atau satu tingkat di atas peringkat tiga, Anies Baswedan (9,8 persen).
Sementara nama AHY berada di peringkat 7 dengan 1,2 persen, sedangkan Andika di peringkat 10 dengan 0,4 persen. Selain dua nama itu, ada kandidat berlatar militer lain yakni eks Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo (0,3 persen).
Sedangkan dalam survei Indokator Indonesia, [PDF] nama Prabowo masih berada di peringkat kedua dengan angka 23,9 persen. Angka ini berbeda dengan Ganjar yang di peringkat pertama (26,7 persen) atau Anies yang berada di peringkat ketiga (19,4 persen). Nama AHY masuk di peringkat kelima di angka 3,2 persen, Andika tidak masuk dalam bursa. Nama Gatot malah masuk dalam bursa dengan angka hanya 0,4 persen.
Survei lain adalah Trust Indonesia yang merilis hasil survei terhadap 1.200 responden yang dilakukan pada 3-12 Januari 2022 dengan konsep multistage dragon sampling. Prabowo berada di peringkat pertama dengan 22,7 persen. Posisi kedua, Anies Baswedan (13,7 persen) dan Ganjar (11persen). Nama AHY masuk di peringkat 6 dengan angka 4,0 persen. Andika hanya mendapat angka 0,4 persen, sementara Gatot berada di atas Andika dengan angka 0,5 persen.
Kombinasi Sipil-Militer Masih Diminati
Analis politik sekaligus Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam menilai, militer masih mempunyai pengaruh kuat dalam Pemilu 2024. Ia malah menyebut bahwa kombinasi sipil-militer atau militer-sipil masih diminati oleh pemilih berdasarkan hasil survei.
“Beberapa hasil survei menyebut sosok paslon capres yang paling ideal kombinasi tentara-sipil. Jadi capres berlatar belakang tentara tentu masih sangat potensial dalam Pilpres 2024," kata Imam kepada reporter Tirto, Senin (20/6/2022).
Imam mengutip hasil suvei Trust Indonesia bahwa kombinasi pasangan ideal capres-cawapres dalam persepsi publik adalah kombinasi militer-sipil maupun sebaliknya. Apabila dianggap sama, total angka mencapai 48,3 persen (militer-sipil 25 persen dan sipil militer 23,3 persen).
Imam memandang bahwa publik masih mempersepsikan kandidat berlatar belakang militer bersikap tegas. Ia pun memandang, memajukan AHY dan Prabowo adalah upaya untuk membawa efek ekor jas (coattail effect) bagi partai mereka.
Sementara itu, kata Imam, pada kasus Andika, Nasdem melihat potensi perkembangan elektabilitas Andika yang mulai merangkak naik. Oleh karena itu, ia masih melihat potensi para bakal kandidat berlatar militer bisa maju dalam Pemilu 2024 baik sebagai bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden.
“Semua masih berpeluang jadi capres atau cawapres,” kata Imam.
Pemerhati militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengingatkan, bahwa latar belakang militer merupakan salah satu profesi di Indonesia. Dengan kata lain, posisi militer sama dengan profesi lain sehingga tidak ada jaminan bahwa militer punya kemampuan mumpuni dalam mengelola negara.
“Tentara itu, kan, profesi juga. Sama dengan pengusaha, birokrat atau profesi-profesi lainnya. Tak istimewa sebenarnya. Artinya tak ada garansi, capres berlatar militer pasti lebih baik, lebih kapabel dan kompeten dalam mengurus negara," kata Fahmi saat dihubungi reporter Tirto.
Fahmi mengingatkan pemilihan presiden adalah ajang kontestasi yakni upaya calon kontestan membangun hubungan dengan konstituen. Para calon kontestan berupaya membangun dan menyampaikan citra positif dengan strategi kreatif dan upaya mengelola isu secara menarik. Hal itu lantas menjadi faktor yang mempengaruhi elektabilitas seseorang.
Fahmi mengakui publik memiliki banyak pilihan dan tidak mempersepsikan kepemimpinan dengan militer. Hal itu tidak lepas dari kemunculan kandidat bakal capres sipil. Di sisi lain, para kandidat militer tidak banyak yang bermain pada isu pro demokrasi dan pro-rakyat.
Namun Fahmi melihat bahwa publik mulai melirik kembali capres berlatar belakang militer karena kekecewaan terhadap pemerintahan sipil.
“Harus diakui bahwa ada persepsi yang belakangan kian menguat di tengah masyarakat bahwa kepemimpinan sipil telah gagal atau lemah, membahayakan kedaulatan, mengancam keutuhan negara, tak mampu melindungi rakyat. Sehingga kepemimpinan militerlah yang kemudian paling bisa diandalkan sebagai juru selamat. Dan ceruk pemilih yang meyakini ini cukup besar," kata Fahmi.
Fahmi juga melihat bahwa tidak sepenuhnya capres berlatar militer teruji dalam mengelola masyarakat meski sudah teruji kepemimpinan di lingkungan militer. Ia mengingatkan, para kandidat berlatar belakang militer tersebut belum jelas apakah resmi maju sebagai calon presiden di 2024 atau tidak.
Selain itu, sikap dan perilaku para calon kandidat berlatar belakang militer ini masih bisa berubah lantaran waktu 2024 masih jauh. Oleh karena itu, upaya menyimpulkan bahwa para kandidat bisa maju ke 2024 masih sangat dini.
“Ini bukan karena enggak ada yang mumpuni, tapi sekarang preferensi publik lebih beragam. Walaupun segmen pemilih dengan preferensi tokoh militer tetap ada, tapi bursa sekarang jadi lebih kompetitif dengan hadirnya sosok-sosok sipil yang dinilai layak. Artinya, mitos ksatria pemimpin sudah bukan lagi sesuatu yang dominan," kata Fahmi.
Lalu apakah berarti para kandidat militer bisa memenangkan Pemilu 2024? Fahmi tidak memungkiri hal tersebut. Ia mengingatkan bahwa TNI memiliki kemampuan propaganda dalam membangun kepercayaan publik, apalagi kondisi TNI saat ini mendapat tempat sebagai lembaga terpercaya publik. Upaya propaganda pun mempengaruhi pada citra para jenderal.
Di sisi lain, pemerintahan Jokowi saat ini 'dekat' dengan TNI. Hal ini menunjukkan pemerintah mengandalkan militer dalam mengatasi persoalan di tengah masyarakat.
“Masalahnya, apakah itu sehat? Saya pastikan tidak. Pada tataran yang lebih serius, itu berpotensi menebalkan dikotomi sipil-militer, mengancam demokrasi dan membuka jalan bagi fasisme dalam berbagai bentuknya," kata Fahmi.
Fahmi menambahkan, “Jika pemerintahan Jokowi dianggap gagal sekalipun, tetap saja tak boleh menjadi alasan membuka kotak pandora. Mestinya penting bagi para pihak untuk lebih mencermati profil para bakal capres/cawapres. Terutama dalam soal gagasan, rekam jejak, dan lingkungan 'pergaulannya'," tutur Fahmi.
Akan tetapi, Fahmi berharap, upaya propaganda yang dibangun tetap bernuansa positif dan memenuhi kaidah demokrasi, kebebasan sipil dan HAM. Ia tidak ingin propaganda yang dibangun justru bergerak keliru sehingga mendeligitimasi sipil.
“Konten yang dipublikasikan hendaknya juga tidak mengarah pada pembangunan opini untuk melibatkan TNI di luar tugas pokoknya, atau TNI yang superhero. Sebab, TNI merupakan alat negara yang bertugas menjaga kedulatan dan keutuhan negara, bukan alat politik atau bahkan juru selamat. Dan itu saya kira adalah batasan yang mestinya juga dipedomani oleh para elite berlatar belakang militer," kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz