tirto.id - Bank Indonesia tengah menjajaki desain dan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau mata uang digital. Rencana penerbitan itu dilatarbelakangi oleh masifnya perkembangan aset kripto di dalam negeri.
Dari data yang dirilis oleh Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), nilai transaksi aset kripto Januari - Februari 2022 tembus Rp83,8 triliun. Jumlah itu melibatkan 12,4 juta pengguna kripto. Sedangkan selama 2021, nilai transaksinya mencapai Rp859,4 triliun.
Indonesia bahkan menempati peringkat ke-5 negara dengan investor kripto terbesar di Asia Tenggara. Serta berada di urutan 25 untuk adopsi kripto.
Deputi Gubernur BI, Doni P Joewono menyadari, digitalisasi dan pandemi COVID-19 membuat aset kripto tumbuh cepat seiring pergerakan ekonomi yang turun tajam. Diikuti kebijakan moneter dan fiskal longgar yang terjadi secara merata di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Bank sentral tak menampik aset kripto memiliki potensi untuk mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan. Namun, di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.
“Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, maka dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya," ujar Doni dalam Side Event G20 Advancing Digital Economy and Finance. di Nusa Dua, Bali, Selasa (12/7/2022).
Sebagai pelaku industri crypto exchange, Indodax merespons baik rencana bank sentral dalam menerbitkan uang digital. CEO Indodax, Oscar Darmawan mengatakan, pihaknya sedari awal tidak pernah berniat untuk menjadikan kripto sebagai currency atau alat pembayaran di Indonesia. Sejak awal sampai sekarang pemerintah Indonesia men-treat dan men-define kripto itu sebagai alternatif investasi dan komoditas digital bukan sebagai subtitusi dari rupiah.
“Saya merasa jika nantinya Bank Indonesia melakukan pengebutan untuk membuat mata uang digital justru malah baik. Saya menanggapi rencana ini dengan positif karena bisa bersama-sama untuk mendukung ekosistem ekonomi digital Indonesia," kata Oscar kepada Tirto.
Oscar yakin digitalisasi hadir sebagai solusi atas permasalahan yang selama ini terjadi. Tujuannya agar dapat dijangkau masyarakat dengan mudah, oleh siapa saja dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas, efisiensi, transparansi dan tentunya keamanan transaksi.
“Jika pembuatan mata uang digital mengedepankan prinsip tersebut, maka pemerintah pun bisa mengadopsi teknologi blockchain yang memiliki sifat dan kelebihan untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut," ujarnya.
Dengan adanya pembentukan mata uang digital oleh Bank Indonesia, Oscar berharap, ini bisa membantu para pelaku industri yang berkecimpung di ekonomi digital. Terutama untuk meningkatkan literasi penggunaan internet, literasi keuangan digital, ataupun literasi teknologi blockchain yang memiliki banyak manfaat.
Daftar Negara Sudah Terapkan Uang Digital
Tidak hanya di Indonesia, saat ini mayoritas bank sentral dunia telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan masuk ke uang digital sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Saat ini baru terdapat 10 negara yang sudah meluncurkan uang digital bank sentralnya. Sembilan di antaranya adalah negara-negara kepulauan di Laut Karibia yakni; Jamaika, Bahama, Grenada, Antigua dan Barbuda, Saint Kitts dan Nevis, Montserrat, Saint Vincent dan Grenadines, Republik Dominika, dan Saint Lucia.
Sementara satu negara lainnya, Nigeria, negara dengan ekonomi terbesar di Benua Afrika meluncurkan CBDC pada Oktober 2021. Berdasar penelusuran tim riset Tirto, terdapat juga 15 negara yang sudah masuk tahap percontohan (pilot), 24 negara masuk tahap pengembangan, 43 negara tahap riset, 10 negara nonaktif, dan dua negara membatalkan uang digital bank sentral.
Sementara Cina disebut akan memperluas cakupan rencana percontohannya pada 2023. Sedangkan Indonesia, berencana menerbitkan peta jalan Digital Rupiah pada akhir 2022. Namun dalam implementasinya, penerapan uang digital tetap membutuhkan dukungan industri sebagai masukan penting bagi bank sentral dalam merencanakan desain CBDC.
“Berbagai bank sentral berhati-hati dan terus mempelajari kemungkinan dampak dari CBDC tersebut, termasuk Indonesia," kata Deputi Gubernur BI, Doni P Joewono.
BI sendiri meyakini, mata uang digital memiliki peluang meningkatkan pertumbuhan pasar modal Indonesia. Hal ini sekaligus juga akan memfasilitasi akses pembayaran dan inklusi keuangan.
“Kita juga bisa belajar tentang implikasi dan peluang positif CBDC bagi sistem keuangan. Dengan demikian CBDC akan membantu membuka peluang bisnis dan transformasi kebijakan," ujar Doni.
Peluang positif tersebut diamini Analis Ekonomi Perbankan, Chandra Bagus Sulistyo. Dia menilai, penggunaan mata uang digital bakal meningkatkan inklusi keuangan Indonesia. Terlebih, saat ini pengguna handphone di Tanah Air semakin meningkat atau di atas 90 persen.
“Iya, CBDC akan mampu meningkatkan inklusi keuangan nusantara,” kata Chandra kepada reporter Tirto.
Penggunaan uang digital ke depan, kata dia, bisa menjadi pilihan opsi dan bagian menarik untuk masyarakat. Sebab menurutnya penggunaan uang digital akan lebih efisien, simpel, dan tidak merugikan banyak orang.
“Bagaimanapun BI tidak ada pilihan harapannya sudah tidak ada sekat wilayah antara negara dan wilayah dan proses transaksi bisa berjalan dengan nilai yang ada," ujarnya.
Dikritik Bank Dunia dan IMF
Di tengah upaya bank sentral, Bank Dunia justru menilai menilai uang digital tidak akan berdampak langsung terhadap inklusi keuangan di masyarakat. Kehadiran mata uang digital juga tidak menjamin akses masyarakat terhadap layanan keuangan meningkat.
“Saya pikir CBDC dengan sendirinya, tidak menjamin akses dan tidak serta merta berkontribusi langsung pada inklusi keuangan," ujar Lead Financial Sector Specialist Payment System Development Group Bank Dunia, Harish Natarajan.
Bank Dunia lebih memandang CBDC sebagai sebuah program yang dipimpin oleh otoritas publik. Menurutnya, mata uang digital pasti akan membawa perhatian pada beberapa masalah lama yang bertanggung jawab atas akses dan penggunaan yang lebih rendah.
Di sisi lain, Bank Dunia juga melihat ada masalah mendasar yang perlu ditangani sebagai bagian dari peluncuran yang sukses. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan selain dari fitur khusus dan fitur ekosistem CBDC yang dapat mengganggu sistem keuangan sebelumnya.
“Pertama, masuknya pemain baru dan model bisnis dan distribusi baru. Dan di sini saya mengacu pada masuknya pemain nonbank dan kemudian juga layanan berbasis agen dan model lainnya yang mungkin merupakan persyaratan nasabah yang lebih esensial, disederhanakan dan berjenjang," ujar dia.
Kedua adalah CBDC harus cocok dengan berbagai faktor bentuk dan instrumen yang sudah nyaman bagi individu dan bisnis. Dalam beberapa konteks, ia mengatakan, mungkin perlu jenis struktur yang mensimulasikan sedemikian rupa sehingga dapat diakses melalui ponsel atau alat digital lain.
“Kemudian saya pikir terakhir, perlindungan data dan privasi kami akan menjadi sangat penting. Dan khususnya, saya pikir privasi perlindungan data di sini tidak selalu berarti anonimitas penuh. Lebih kepada kenyamanan tanpa proses yang semestinya, data transaksi tidak disalahgunakan," kata Harish.
Dalam kesempatan sama, Dana Moneter Internasional atau IMF juga menilai uang digital tidak menguntungkan bagi masyarakat maupun perbankan. Karena konsep CBDC saat ini tak ada bedanya dengan dompet digital dimiliki bank komersial.
“Dan tidak jelas bahwa CBDC akan memiliki keuntungan,” ujar Kepala Divisi Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF, Tommaso Manchini Griffoli.
Dia menjelaskan, CBDC tidak menawarkan suku bunga kepada perbankan maupun masyarakat yang akan menyimpan dananya dalam bentuk uang digital bank sentral. Padahal, masyarakat yang menyimpan dana di bank saat ini mendapat bunga deposito dari bank.
Begitu juga dengan bank komersial yang menyimpan dana di bank sentral saat ini akan mendapatkan bunga. "Deposito bank komersial mungkin sama amannya, tetapi lebih banyak menawarkan imbalan yang lebih tinggi," ujarnya.
Pandangan dua lembaga keuangan dunia itu, ditanggapi santai oleh Bank Indonesia. Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Ryan Rizal justru menilai, kritikan tersebut menjadi sebuah hal wajar.
“Ketika kita bicara, itu wajar mencerminkan diskusi global. Ini masih banyak perdebatan apakah CBDC itu meningkatkan kualitasnya. Ada yang ragu, ada yang percaya," kata Ryan.
Ryan mengatakan, perbedaan pandangan tersebut menjadi tantangan akan dijawab oleh bank sentral lainnya, termasuk Bank Indonesia. Utamanya bagaimana menjelaskan CBDC ini dapat memberi solusi bagi industri keuangan.
“Bagaimana desainnya agar CBDC punya karakter dalam mendorong inklusi keuangan," ujarnya.
Eksplorasi penerbitan CBDC sendiri dilakukan berdasarkan enam tujuan. Pertama, menyediakan alat pembayaran digital yang risk-free menggunakan central bank money. Kedua, memitigasi risiko non-sovereign digital currency. Ketiga, memperluas efisiensi dan tahapan sistem pembayaran, termasuk cross border.
Keempat, memperluas dan mempercepat inklusi keuangan. Kelima, menyediakan instrumen kebijakan moneter baru. Keenam atau terakhir memfasilitasi distribusi fiscal subsidy.
Implementasi Uang Digital Masih Ada Masalah?
Namun, di tengah dorongan bank sentral dalam menjajaki desain uang digital, masih terdapat masalah serius yang perlu ditangani dalam merancang uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Salah satunya yakni menerapkan penerbitan dan distribusi yang efektif dan kuat.
“Di dalam hal ini, kami perlu mengeksplorasi bagaimana kami dapat memanfaatkan kemampuan program CBDC fitur untuk memfasilitasi transfer uang tunai dan surat berharga secara efisien, serta untuk memberikan layanan inovatif baru kepada pelanggan," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung.
Tantangan kedua, mengaktifkan penyertaan keuangan. Menurut Juda, perlu mengeksplorasi bagaimana bisa mengaktifkan CBDC menyediakan jalur alternatif bagi masyarakat unbanked. Terutama untuk membuka transaksional akun dan berpartisipasi dalam ekonomi digital formal.
“Kami juga perlu mengkonfigurasi desain yang sesuai, sehingga CBDC dapat diimplementasikan dengan baik tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan dengan internet yang terputus-putus atau tidak terjangkau konektivitas," jelasnya.
Ketiga, memastikan interoperabilitas, interkonektivitas, dan integrasi (3I). Menurutnya perlu menggali lebih dalam tentang bagaimana dapat mengaktifkan konektivitas dan interoperabilitas dengan CBDC lainnya, dengan pembayaran domestik yang ada seperti RTGS, kliring sistem, ATM dan kartu debit.
“Jadi bahwa cara terbaik bagi bank sentral untuk mengatasi ketiga masalah tersebut dan mempersiapkan CBDC adalah dengan mengeksplorasi, bereksperimen, serta melakukan pilot proyek CBDC," jelasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz