tirto.id - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berencana meluncurkan uang digital yang diterbitkan langsung dari bank sentral atau dikenal Central Bank Digital Currency (CBDC). BI menyatakan CBDC merupakan representasi digital dari uang fisik yang diterbitkan bank sentral.
Uang digital ini menjadi tanggung jawab BI pada pemegangnya. Hal ini berbeda dengan uang elektronik buatan swasta lantaran tanggung jawab berada pada penerbit instrumen pembayaran masing-masing pada konsumennya.
Official Monetary and Financial Institutions Forum [PDF] mencatat ada 2 jenis uang digital yaitu wholesale dan retail. Retail berarti uang digital diterbitkan sebagaimana uang cash dalam bentuk elektronik untuk kebutuhan transaksi masyarakat dan bisnis pada umumnya. Sementara wholesale terbatas penggunaannya oleh institusi tertentu dalam pasar antarbank.
Menurut Bank for International Settlements (BIS), hampir seluruh negara dunia sudah mulai mencicipi CBDC dengan tahapan yang bervariasi. Namun perkembangan CBDC dipimpin oleh Kepulauan Bahamas di Amerika Tengah lantaran sudah menerapkan uang digital ini dengan model retail atau pernah dikenal dengan nama proyek “Sand Dollar."
Di belakangnya, ada Bank Sentral Karibia Timur, Swedia, Cina dan Korea Selatan yang sedang dalam tahap uji coba uang digital model retail. Indonesia tercatat masih dalam tahap riset dan pengembangan model retail dan wholesale seperti yang dilakukan di Uni Eropa, Inggris, Jepang dan kebanyakan negara di ASEAN. Sisanya memilih salah satu antara retail atau wholesale saja.
Presiden European Central Bank (ECB) Christine Lagarde mengatakan kehadiran uang digital tak semata-mata untuk menggantikan uang kertas, tetapi melengkapinya. Keduanya tetap dapat digunakan untuk bertransaksi.
Menurut Mantan Direktur Pelaksana IMF itu, uang digital diperlukan seiring perkembangan aktivitas masyarakat yang semakin mengarah ke digital baik itu berbelanja, menabung maupun menginvestasikannya.
“Tugas kami menjaga kepercayaan pada uang. Artinya memastikan Euro dapat memperoleh tempat di era digital,” ucap Christine dalam keterangan tertulis, 2 Oktober 2020 lalu.
Sejalan dengan itu, masyarakat di berbagai belahan dunia memang mengarah pada digitalisasi. Laporan S&P Global yang terbit Januari 2021 lalu mencatat permintaan uang cash di Thailand dan Singapura terkontraksi atau tumbuh minus 2 persen dan 1 persen sepanjang 2016-2019. Sebaliknya pertumbuhan alat pembayaran nontunai kedua negara mampu tumbuh positif lebih dari 100 persen dan 20 persen.
Selama periode itu, Indonesia relatif tertinggal dengan pertumbuhan cash dan nontunai yang hampir sama tingginya. Namun, Indonesia terus menyusul. Data S&P Global mencatat transaksi uang elektronik di Indonesia mampu tumbuh hampir 170 persen dari 2016 ke 2019 mengalahkan Thailand yang hanya tumbuh di kisaran 50 persen.
Data Bank Indonesia tentang uang beredar juga sama. Jumlah uang elektronik beredar mampu tumbuh 47-85 persen sepanjang 2016-2020 sedangkan uang beredar yang mewakili uang di tangan masyarakat (kartal) dan giro (giral) atau pendeknya M1 hanya tumbuh 7,43-18,54 persen di periode yang sama.
Direktur riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan langkah BI ini sejalan dengan upaya berbagai negara mengantisipasi pesatnya pertumbuhan alat pembayaran dompet digital seperti OVO dan Gopay maupun kehadiran uang kripto yang semakin diminati. Sayangnya uang digital BI ini menurutnya hanya akan akan mampu membendung pengaruh dari dompet digital saja.
Sebaliknya uang digital BI belum tentu mampu mengimbangi apalagi menahan laju perkembangan uang kripto. Pasalnya uang kripto saat ini memiliki peran lebih dari sekadar mata uang digital potensial yaitu sebagai sarana investasi dan komoditas yang dapat diperdagangkan.
Trennya bahkan berkembang menjadi aset safe haven alternatif selayaknya dolar AS dan emas. Sangking berkembangnya perusahaan dunia seperti Tesla, MasterCard dan lainnya memutuskan menerima pembayaran dalam aset kripto meski fungsinya sebagai uang digital masih ditolak berbagai negara.
“Kalau BI ingin mengantisipasi atau menahan laju perkembangan uang kripto tidak bisa dengan memunculkan uang digital,” ucap Piter kepada Tirto saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
Ekonom Bank Mandiri Reni Eka Puteri menduga CDBC punya potensi mengambil rupa sebagai instrumen investasi yang diterbitkan dan bisa diawasi langsung perdagangannya oleh BI. Bila arahnya demikian, Reni meyakini uang digital milik BI dapat berhadap-hadapan dengan tren kemunculan jual-beli aset kripto. Uang digital ini, bank sentral menurutnya lebih unggul karena uang kripto tak dijamin serta hanya bergantung pada komunitas.
“Kemungkinan urgensinya, mungkin BI ini lebih mengamankan, mengawasi supaya dana masyarakat enggak lari ke luar. Jadi berencana membuat digital curency yang diawasi oleh BI supaya tidak mengalir ke uang digital yang ada di luar,” ucap Reni kepada Tirto saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
Majalah The Economist dalam artikel, 16 Februari 2021 menyatakan CDBC memiliki sejumlah keuntungan. Salah satunya ia dapat memperkokoh posisi bank sentral di tengah derasnya tren masyarakat beralih ke alat pembayaran digital milik swasta.
Di sisi lain, dalam jangka panjang, uang digital juga lebih efisien karena tidak perlu dicetak secara fisik dan didistribusikan terlebih ke wilayah terpencil. Potensi lain, uang digital mudah dilacak sehingga semakin sulit digunakan untuk kejahatan.
Meski demikian, uang digital tetap ada risikonya. Misalnya perlindungan dari aksi peretasan. Belum lagi kehadiran bank digital yang dikhawatirkan diikuti aksi masyarakat mengalihkan tabungannya ke dalam bentuk uang digital secara massal sehingga menyebabkan bank kekurangan likuiditas.
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz