Menuju konten utama

Menyelisik Sebab Semakin Semaraknya Bisnis Bank Digital Indonesia

Banyak pihak terjun ke bisnis bank digital. Apa sebabnya?

Menyelisik Sebab Semakin Semaraknya Bisnis Bank Digital Indonesia
Ilustrasi nasabah bank digital. foto/Istockphoto

tirto.id - Perusahaan teknologi finansial (fintech) beramai-ramai merambah bisnis bank digital di Indonesia. Nama-nama startup yang sudah beken gencar mengakuisisi bank konvensional untuk disulap menjadi bank yang sepenuhnya menyelenggarakan layanan dan bisnis digital.

Contohnya adalah pembelian PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) oleh Sea Group, induk e-commerce Shopee. Nama BKE selanjutnya diubah menjadi SEA Bank, Senin (22/1/2021). Sebelumnya Gojek mengakuisisi Bank Artos dan kemudian mengubahnya menjadi Bank Jago pada Juni 2020 lalu.

Bank konvensional juga tak mau ketinggalan. Bank Central Asia (BCA), pada 2020 lalu, juga mengakuisisi Bank Royal yang kemudian diubah menjadi Bank Digital BCA. Bank KB Bukopin juga dikabarkan berminat merambah bisnis bank digital ini.

Merespons perkembangan yang serba cepat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya membuat regulasi pendirian bank digital. Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menargekan beleid dapat rampung dalam waktu dekat dan para pelaku bank digital diharapkan dapat memenuhi persyaratannya paling lambat tahun 2022. “Sebelum pertengahan tahun ini, mudah-mudahan sudah akan kami rilis POJK ini,” ucap Anung dalam konferensi pers virtual, Kamis (18/2/2021).

Salah satu aspek yang akan diatur adalah modal minimum pendirian bank digital. Jika seseorang ingin mendirikan bank dari nol, maka modal minimumnya adalah Rp10 triliun. Pada kasus akuisisi dari bukan kelompok bank seperti Bank Jago dan SEA Bank, maka modal minimumnya cukup Rp3 triliun. Jika akuisisi dilakukan dalam satu kelompok bank seperti Bank Digital BCA, modal minimumnya cukup Rp1 triliun.

OJK juga hanya mewajibkan bank memiliki satu kantor saja. Selanjutnya perusahaan cukup memiliki skema model bisnis yang jelas, kemampuan teknologi informasi, mitigasi serangan digital, sampai tata kelola perlindungan data pribadi nasabah.

Syarat-syarat ini belum final. Anung mengatakan ketentuan masih dapat berubah lantaran OJK masih menerima masukan dari para pemangku kepentingan.

Gencarnya aksi Gojek hingga Shoppe, dan upaya otoritas keuangan untuk membuat regulasi terkait, bisa dimengerti karena potensi ekonomi digital Indonesia memang cukup besar. Riset e-Conomy yang diterbitkan Google dan TEMASEK mencatat pada tahun 2020 saja nilai ekonomi internet ASEAN mencapai 105 miliar dolar AS Gross Merchandise Volume (GMV) atau diukur dari total penjualan barang digital. Indonesia berkontribusi sekitar 41,9 persen atau 44 miliar dolar AS GMV.

Per 2025, nilai ekonomi internet ASEAN diperkirakan mencapai 309 miliar dolar AS GMV dan kontribusi Indonesia 40,12 persen atau setara 124 miliar dolar AS GMV.

Sejalan dengan itu, tren yang berkembang adalah konsumen lebih banyak menghabiskan waktu di internet. Masih berdasarkan riset e-Conomy, rata-rata waktu pemakaian internet Indonesia 3,6 jam/hari sebelum pandemi dan 4,7 jam/hari saat pandemi. Setelah pandemi diperkirakan tetap tinggi di kisaran 4,3 jam/hari.

Jumlah masyarakat yang lebih memilih menyelesaikan urusannya melalui layanan digital juga terus bertambah. Jumlah konsumen yang mencoba layanan pembelian kebutuhan sehari-hari lewat e-commerce di ASEAN telah bertambah dua kali lipat karena pandemi. Lebih dari 75 persen menyatakan akan tetap bertahan menggunakan layanan itu setelah pandemi.

Bagi sektor keuangan juga sama. Riset e-Conomy juga menunjukkan lembaga keuangan di Indonesia yang meningkatkan layanannya melalui aplikasi mengalami peningkatan interaksi dengan konsumen hingga 40 persen.

Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menilai bank digital menjadi solusi bagi perusahaan teknologi lantaran layanan digital mereka masih bergantung pada perbankan. Nailul mencontohkan, selama ini konsumen harus melakukan top up melalui bank agar dapat menggunakan aplikasi mereka. Melalui bank digital, mekanisme itu bisa saja berubah.

“Nah, mereka pasti berpikir kenapa tidak buka bank digital saja sekalian,” ucap Nailul kepada reporter Tirto, Selasa (23/2/2021).

Terjun ke bank digital ini juga sejalan dengan pola perusahaan teknologi di Indonesia yang umumnya mengarah pada super app atau aplikasi serba bisa. Nailul mencontohkan aplikasi Gojek saat ini tak terbatas pada ride-hailing, tetapi juga dompet digital, investasi, kredit, sampai asuransi. Kehadiran bank digital dalam lini bisnis Gojek tentu akan semakin membuat layanan digital terintegrasi. Misalnya konsumen dapat dibebaskan dari biaya top up atau dapat langsung menggunakan layanan bila menggunakan bank digital perusahaan itu.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan bisnis bank digital memang sedari awal menarik lantaran lebih efisien. Misalnya, perusahaan cukup memiliki satu kantor saja alih-alih bank konvensional yang mau tak mau harus memiliki ribuan kantor cabang. Layanan perbankan bisa diselesaikan secara digital alih-alih tatap muka dan memerlukan tenaga kerja.

Keuntungan-keuntungan itu yang membuat bank konvensional juga tertarik terlibat. “Kehadiran bank digital akan mendorong bank-bank lain untuk meningkatkan pelayanan digital mereka,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa.

Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, Piter yakin “bank digital akan banyak mengubah peta perbankan.”

Baca juga artikel terkait BANK DIGITAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino