tirto.id - Hingga Desember 2018, ada 2,6 juta aplikasi Android yang siap diunduh di toko aplikasi Google Play. Dari jutaan pilihan itu, ada berapa aplikasi yang ngendon di ponsel pintar Anda dan rutin Anda pakai?
Menurut laporan Techcrunch, rata-rata pengguna ponsel hanya menggunakan 30 aplikasi per bulan. Itu pun yang dipakai sehari-hari tak lebih dari 10 aplikasi.
Hutomo Yogasworo, karyawan swasta asal Tangerang, mengiyakan kecenderungan ini. Menurut pengakuannya, ia hanya menggunakan Instagram, Chrome, dan WhatsApp sebagai aplikasi yang digunakannya sehari-hari. Ada 17 aplikasi lain yang terpasang di ponselnya, tetapi hanya dipakai dalam kondisi tertentu.
“Kebanyakan [aplikasi] enggak [dipakai],” terangnya.
Pengguna lain, Irin Oktafiani, seorang pegawai negeri sipil, pun mengakui hal serupa. Ada lebih dari 20 aplikasi yang terpasang di ponselnya, tetapi Irin hanya sering menggunakan aplikasi e-mail, Spotify, serta WhatsApp. "Yang fungsional saja," kata Irin.
Semenjak booming aplikasi terjadi mulai Juli 2008 lalu, atau ketika Apple mulai melahirkan konsep toko aplikasi, lambat-laun memang terjadi penurunan unduhan. Beberapa jenis aplikasi bahkan harus mati.
Menurut laporan Vox, aplikasi sensasi selebritas seperti Kim Kardashian West App, Kylie Jenner Official App, Katy Perry: Pop, Britney Spears: American Dream, dan The Swift Life perlahan mati karena aplikasi-aplikasi itu gagal memberikan layanan atau produk berarti bagi penggunanya.
Padahal, The Swift Life pernah menduduki posisi pertama sebagai aplikasi populer di App Store. Mirisnya, hanya dalam dua pekan aplikasi yang digagas Taylor Swift itu merosot ke posisi 793 terpopuler.
Recode melaporkan sejak Mei 2015 hingga Mei 2016 di Amerika Serikat terjadi penurunan unduhan aplikasi hingga 20 persen. Orang cenderung hanya menggunakan aplikasi-aplikasi mainstream atau yang benar-benar mereka butuhkan.
Pengembang dan pengusaha rintisan aplikasi tentu ketar-ketir melihat perilaku pengguna seperti ini. Mereka mulai mengubah strategi. Konsep yang berkembang bukan lagi chat app atau ride-sharing app semata, melainkan super-app. Ia disebut super karena menyediakan beragam layanan dalam satu aplikasi, termasuk layanan-layanan yang tidak terkait satu sama lain.
Grab contohnya. Ia lahir sebagai aplikasi ride-sharing. Namun, seiring berjalannya waktu, para pengguna aplikasi ini bisa menggunakan si aplikasi untuk memesan makanan, membeli pulsa dan membayar tagihan, bermain kuis, hingga membaca horoskop.
Aplikasi ini menambah jumlah tangannya ketika bekerjasama dengan Hooq, aplikasi videostreaming kompetitor Netflix. Pengguna Grab akan mampu menonton film-film pilihan langsung di aplikasi Grab mulai akhir kuartal pertama 2019 mendatang.
Kepala Strategi Grab, Hidayat Liu, menyatakan bahwa keputusan menjadikan Grab super-app diambil guna berdamai dengan kecenderungan penggunaan aplikasi ponsel pintar hari ini.
“Pengguna cenderung membuka dua hingga tiga aplikasi maksimum per hari,” katanya kepada CNBC. Artinya, jika Grab tidak menjadi aplikasi pertama, kedua, atau ketiga, pengguna akan jarang menggunakannya.
Mediko Azwar, Direktur Pemasaran Grab Indonesia, menyebut langkah transformasi dari ride-sharing app ke super-app sudah dimulai pada Juli 2018 lalu. Grab ingin menjadikan aplikasinya platform terbuka, yakni dengan menambahkan beragam layanan harian yang sering digunakan ke dalam aplikasi Grab.
“Tujuan Grab adalah menjadi sebuah aplikasi yang menawarkan seluruh kebutuhan harian yang dibutuhkan pelanggan kapan pun, bahkan sebelum pelanggan menyadari bahwa mereka membutuhkannya,” terang Mediko.
Konsep aplikasi super pun diambil Go-Jek. Berawal dari layanan pemesanan ojek, Go-Jek berkembang hingga memungkinkan penggunanya membaca berita atau mencari masjid terdekat. Kepala Eksekutif Go-Jek, Nadiem Makarim, menyebut ia “ingin menciptakan yang pertama dari super-app, yang mampu memenuhi segala kebutuhan transaksional masyarakat.”
Super-app merupakan konsep yang tak terelakkan. "Dunia kini dipenuhi kaum milenial, kaum yang menginginkan segalanya dan menginginkannya sesegera mungkin," kata Anthony Tan, pendiri Grab.
Jika ditilik lebih dalam, konsep super-app digagas oleh WeChat, aplikasi dari konglomerasi Tencent asal Cina. Patrician Yanes dalam “How WeChat Has Changed The Face Of Marketing In China" (British Journal of Marketing Studies Volume 5, April 2017), perubahan WeChat dari chat app menjadi super-app terjadi manakala ada kesenjangan informasi dan infrastruktur yang terjadi dalam masyarakat Cina.
Di wilayah perdesaan, masyarakat memiliki keterbatasan sumber informasi, hiburan, hingga infrastruktur. Selain itu, keterbatasan kemampuan ponsel pun jadi masalah tersendiri. Aplikasi yang memberikan segala layanan adalah jawaban bagi masyarakat ini. Ketika WeChat lahir, keterbatasan akses itu diatasi.
Menurut Yanes, WeChat sukses mentransformasi kanal komunikasi dan infrastruktur masyarakat Cina. Bukan sebatas menyediakan layanan pesan instan, melainkan segala layanan yang dibutuhkan. Mulai dari komunikasi, informasi, transportasi, keuangan, hingga hiburan.
WeChat tak berhenti di situ. Sejak 2017, mereka memperkenalkan mini program, konsep yang memungkinkan aplikasi buatan pihak luar bisa hidup dalam aplikasi WeChat. Dengan mini program, WeChat seakan-akan menjadi sistem operasi sendiri, pesaing Android atau iOS, yang menjadi rumah bagi beragam aplikasi. Bahkan, sejak pertengahan 2018, Google merilis gim yang jika diterjemahkan bernama “Guess My Sketch” di mini program milik WeChat.
Selain Google, ada pula JD yang merilis versi mini program dari layanannya. Bahkan, di kota-kota kecil di Cina, versi mini program JD lebih laku dibandingkan versi native e-commerce tersebut. Di tier 4 kota-kota di Cina, versi mini program JD menyumbang 34,7 persen akses ke e-commerce. Versi native hanya 26,6 persen.
Grab dan Go-Jek mungkin belum sesuper WeChat. Namun, kemungkinan ke arah itu sangat terbuka lebar. Irin sebagai pengguna mengatakan ia sangat mungkin mencoba jika saja Go-Jek merilis layanan chat—di luar chat sebagai bentuk komunikasi dengan driver Go-Jek. Ia juga mau menggunakannya sebagai medium komunikasi, terutama jika orang-orang di sekitarnya menggunakan aplikasi tersebut untuk chatting alias berpindah dari WhatsApp atau Line.
Editor: Maulida Sri Handayani