Menuju konten utama

Bitcoin Melejit usai Aksi Tesla dan Prospeknya di Indonesia

Harga bitcoin sedang tinggi-tingginya setelah aksi Tesla. Bagaimana prospek mata uang kripto ini di Indonesia?

Bitcoin Melejit usai Aksi Tesla dan Prospeknya di Indonesia
Suasana Ducatus Cafe, cafe pertama non tunai yang menerima 'cryptocurrency' seperti Bitcoin, di hari pembukaan di Singapura, Kamis (21/12/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Edgar Su

tirto.id - Harga satu bitcoin setara Rp705 juta atau 49.260 dolar AS per 16 Februari 2021. Ini adalah level tertinggi baru atau all time high (ATH) setelah cryptocurrency ini sempat menguat ke level Rp580 juta atau setara 40.784 dolar AS pada Januari lalu. Kenaikan ini melanjutkan tren selama 2020. Sebagai perbandingan, harga satu bitcoin per 16 Februari 2020 hanya 9.913,85 dolar AS.

CEO Indodax Oscar Darmawan menilai kenaikan drastis bitcoin dalam beberapa pekan terakhir dipicu oleh aksi pembelian oleh perusahaan besar, salah satunya Tesla yang membeli senilai 1,5 juta dolar AS. “Tentu permintaan sebanyak ini langsung berdampak kepada kenaikan harga. Karena salah satu faktor yang meningkatkan harga bitcoin adalah permintaan atau demand,” ucap Oscar dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).

Sederet perusahaan ternama juga ikut terjun dalam bitcoin seperti Mastercard dan BNY Mellon.

Tesla bahkan berencana menerima bitcoin sebagai alat transaksi. Sebelum itu sederet perusahaan seperti bank JP Morgan, Citibank, sampai Paypal juga menyediakan pembayaran dengan bitcoin.

Menurut Oscar, bukan tak mungkin di masa depan lebih banyak perusahaan yang akan membeli bitcoin. Jika pembelian dan permintaan masih terus terjadi, ia meyakini prediksi JP Morgan terkait rekor atau ATH bitcoin baru bisa kembali terbentuk. “Bitcoin bisa mencapai Rp2 miliar pada tahun ini atau tahun depan,” ucap Oscar.

Analis dari Central Capital Futures Wahyu Laksono juga sependapat. Menurutnya tren penguatan bitcoin masih akan terus terjadi. Bahkan tanpa kehadiran Tesla pun bitcoin memang sudah memiliki tren bullish atau menguat dalam jangka panjang. “100 ribu dolar AS/bitcoin bukan mustahil dicapai, medium or long term,” ucap Wahyu kepada reporter Tirto, Selasa.

Besarnya prospek bitcoin dipengaruhi oleh sejumlah faktor, kata Wahyu. Salah satunya ia dipandang sebagai safe haven baru. Maksudnya, jenis aset yang relatif tidak terpengaruh oleh gejolak geopolitik maupun ketidakpastian ekonomi global.

Dibanding emas, bitcoin juga dianggap memiliki kemampuan inflationary hedge atau lindung nilai uang terhadap inflasi. Bahkan sejumlah kalangan menilai bitcoin relatif lebih efisien karena bergantung pada teknologi daripada emas yang membutuhkan tempat penyimpanan fisik. Bitcoin juga memiliki keunikan karena secara suplai hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas dan tak bisa sembarang dicetak. Pasokan maksimalnya hanya tersedia 21 juta unit dan sekitar 18,5 juta unit sudah beredar saat ini.

Prospek di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan bitcoin masih relatif lamban dan tertinggal dari negara lain. Salah satu faktornya adalah kurangnya pengetahuan tentang itu. Lalu ada pula hambatan legal-formal karena otoritas moneter dan keuangan belum mengakuinya. Inisiator jual-beli dinar-dirham saja saat ini harus meringkuk ditahanan karena dianggap melanggar hukum.

Namun mata uang kripto seperti bitcoin sudah bisa diperdagangkan dalam bursa berjangka yang diatur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Meski belum diakui sebagai mata uang, bitcoin sementara telah dianggap sebagai komoditas. Meski harganya sudah kelewat tinggi seperti Rp705 juta per satu bitcoin, perdagangan masih dapat dilakukan karena ia dapat ditransaksikan dalam pecahan terkecil hingga Rp10 ribu.

Jika mau berinvestasi, Wahyu mengingatkan masyarakat perlu memahami risikonya lantaran volatilitasnya tergolong sangat tinggi. Mata uang kripto relatif tidak memiliki dasar fundamental sehingga masyarakat hanya dapat mengandalkan faktor teknikal dan sentimen pasar.

Pada 1 November 2020 lalu saja, nilai bitcoin sempat turun 7.000 dolar AS dari 38.000-an dolar AS menjadi 31.000-an dolar AS. Pada akhir 2017, bitcoin sempat menyentuh 19.000-an dolar AS dan jatuh 15.000-an dolar AS ke level 4.000-an dolar AS pada 2018. Penurunan nilai itu tentu sangat besar. Bahkan dapat mudah menyedot dana pemodal skala kecil.

Bitcoin seolah dapat memberi keuntungan lebih besar dalam jangka pendek. Namun hal itu sangat bergantung pada ketersediaan dana yang cukup besar untuk melakukan averaging position atau membeli setiap terjadi kejatuhan harga. Tanpa itu, perdagangan Bitcoin jangka pendek sulit dilakukan apalagi untuk spekulasi.

Melihat tingginya risiko itu, Wahyu menyarankan investasi bitcoin dilakukan dengan prospek jangka panjang atau terkait aset yang bisa ditransaksikan secara efisien. “Jika untuk investasi, mungkin ini masuk akal,” ucap Wahyu.

Melansir CNBC, tingginya risiko berinvestasi di bitcoin juga sempat menarik perhatian sejumlah investor global. Mayoritas dari 627 pelaku pasar global yang disurvei Deutsche Bank, misalnya, sempat berpikir bitcoin masuk ke dalam salah satu produk pasar keuangan yang berpotensi membentuk gelembung.

Gelembung biasa digambarkan sebagai kondisi ketika penilaian produk atau aset mengalami kenaikan di luar kewajaran. Bila dugaan ini benar, maka biasanya kenaikan yang drastis dapat diikuti dengan kejatuhan nilai atau yang biasa disebut sebagai fenomena pecahnya gelembung. Sayangnya, para pelaku pasar yang disurvei Deutsche Bank belum dapat memprediksi kapan gelembung ini akan pecah.

Baca juga artikel terkait BITCOIN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino