Menuju konten utama

Bitcoin: Sekuat Dolar Amerika Serikat, Selabil Dolar Zimbabwe

Bitcoin sangat mungkin bernilai melebihi dolar Amerika, tetapi Bitcoin juga dapat bernilai tak lebih berharga dibandingkan dolar Zimbabwe.

Bitcoin: Sekuat Dolar Amerika Serikat, Selabil Dolar Zimbabwe
Ilustrasi hacker bitcoin. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jauh sebelum era internet lahir, pemerintah telah berusaha mengumpulkan segala catatan tentang warganya. Masalahnya, laku hidup orang-orang di era tersebut tidak memungkinkan bagi pemerintah menjaring informasi sebanyak mungkin tentang rakyatnya. Ketika akhirnya internet muncul, Cypherpunks--kelompok yang menggaungkan penggunaan kriptografi demi menjaga privasi--mendeteksi sinyal berbahaya. Saat itu, pada 1993, Facebook dan segala layanan internet yang memudahkan pemerintah mengintip kehidupan masyarakat belum tersedia.

Kehadiran internet, klaim Cypherpunks, mengancam privasi. Maka, diinisiasi oleh ahli Matematika University of California Berkeley bernama Eric Hughes, Cypherpunks merilis "The Cypherpunk Manifesto" pada 1993, yang dengan tegas menyatakan bahwa "privasi sangat diperlukan bagi masyarakat di era elektronik."

Hal ini bikin takjub Hal Finney, teknisi konsol video game lulusan California Institute of Technology yang sempat belajar kriptografi dari David Chaum--salah seorang pionir di bidang kriptografi digital--pada 1991. Finney akhirnya pindah haluan. Ia Mendatangi Phil Zimmerman, ahli komputer lulusan Florida Atlantic University pencipta Pretty Good Privacy (PGP)--software otentikasi berbasis enkripsi untuk email--untuk menjadi karyawan pertama perusahaan tersebut. Tak lama kemudian, Chaum, Hughes, dan Finney menginisiasi uang versi digital pertama. Mereka menciptakan DigiCash alias CRASH sebagai alternatif paling aman bagi transaksi keuangan di bank.

"Tidak ada catatan transaksi keuangan yang disimpan. Semua bank yang menerima transaksi menggunakan CRASH hanya tahu berapa banyak uang yang ditarik nasabahnya," tutur Finney.

Masalahnya, meskipun bank tidak mengetahui transaksi keuangan nasabahnya jika si nasabah memilih menggunakan CRASH, CRASH tahu betul transaksi yang digunakan penggunanya. CRASH, singkat kata, tak berbeda jauh dengan PayPal ataupun Gopay. Segala transaksi yang dilakukan memang tidak diketahui bank, tetapi tercatat rapi di sistem PayPal atau Gopay. CRASH tak lain merupakan entitas penengah transaksi keuangan. Ia tidak benar-benar menghilangkan rekam jejak transaksi keuangan nasabah. Karena pada 1990-an komputer dan internet belum digunakan secara masif, CRASH benar-benar menjadi "crash", hancur lebur. DigiCash bangkrut pada 1998.

Sepuluh tahun usai CRASH bangkrut, sebagaimana ditulis Nathaniel Popper dalam buku berjudul Digital Gold: Bitcoin and The Inside Story of The Misfits and Millionaires Trying To Reinvent Money (2015), seseorang bernama Satoshi Nakamoto mengirim email berantai di mailing list (milis) kelompok-kelompok pecinta kriptografi digital (awalnya Nakamoto hanya mengirimkan email pada Adam Back, pencipta teknologi serupa CRASH, Hashcash. Sayangnya, email itu tak berbalas.

Finney adalah salah satu pihak yang menerima email tersebut. "Saya sedang bekerja untuk menciptakan sistem uang elektronik baru yang benar-benar peer-to-peer tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga," tulis Nakamoto di email.

Mayoritas anggota kelompok pecinta kriptografi abai dengan email kiriman Nakamoto. Tapi Finney tidak. Meskipun dirundung rasa skeptis, Finney kemudian meminta Nakamoto mengiriminya contoh awal apa yang dimaksud olehnya di email tersebut. Tak berselang lama, Nakamoto mengirim link www.bitcoin.org, lengkap dengan software pendukung.

Finney takjub. Ia akhirnya tertarik bergabung dan bersedia bekerja via online dengan Nakamoto untuk menciptakan versi sempurna Bitcoin. Dalam email yang dikirim balik ke Nakamoto, Finney berangan-angan: "Seandainya Bitcoin sukses, Bitcoin akan menjadi sistem transaksi keuangan utama di seluruh dunia."

Sial bagi Finney (dan Nakamoto). Meskipun kini Bitcoin terdengar di mana-mana, sistem keuangan ini gagal menggantikan cara lama manusia bertransaksi. Bukan hanya karena Bitcoin diharamkan oleh banyak negara di dunia, tetapi juga karena nilai Bitcoin yang sangat fluktuatif.

Tak Dijamin Negara

"Uang tunai--dalam bentuk fisik--sangat indah dipandang," tulis Antony Lewis dalam buku berjudul The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to Cryptocurrencies and The Technology That Powers Them (2018). Menurut Lewis, dengan uang tunai, seseorang dapat menggunakan jenis uang ini untuk memenuhi kebutuhan transaksi apapun, dengan catatan penting: tanpa ada pihak ketiga yang dapat mengintip atau otoritas tertinggi yang dapat mencegah transaksi terjadi. Dengan uang tunai, transaksi keuangan hanya diketahui oleh si pemilik uang dan si penerima uang.

Masalahnya, ada satu kekurangan yang dimiliki uang tunai: tidak dapat digunakan untuk transaksi jarak jauh.

Bank adalah jawaban untuk mengatasi kelemahan uang tunai ini. Menggunakan bank, transaksi jarak jauh tidak jadi soal. Namun, pengguna harus rela menyerahkan "keindahan" uang tunai, yakni bersedia agar segala transaksi keuangan direkam bank. Ketika perkembangan teknologi akhirnya melahirkan PayPal, Gopay, dan Ovo, bank memang tidak dapat melihat transaksi keuangan di dompet digital, tetapi perusahaan di balik dompet digital bisa melakukannya.

Privasi dalam bertransaksi keuangan terancam dalam sistem transaksi keuangan ala bank dan dompet digital. Maka, selain muncul untuk merespons kekecewaan terhadap krisis ekonomi global 2007-2008, Bitcoin lahir untuk mengatasi masalah ini. Bitcoin tidak sebatas menihilkan pihak ketiga yang menjadi jembatan transaksi elektronik, tetapi juga menghilangkan ketergantungan masyarakat pada uang ala negara. Lalu lahirlah Bitcoin dan teknologi di baliknya, Blockchain.

Infografik lahirnya bitcoin

Infografik lahirnya bitcoin

Dalam white-paper yang mengiringi kelahiran Bitcoin, "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System", Satoshi Nakamoto menyebut Bitcoin sebagai uang elektronik yang berbeda dari dolar atau bahkan rupiah. Dalam sistem transaksi keuangan ala Bitcoin (yang menggunakan teknologi bernama Blockchain), Nakamoto menjiplak cara kerja uang tunai: tanpa pihak ketiga, entah bank atau Gojek.

Kok bisa?

Sederhananya, dalam transaksi keuangan, bank (dan dompet digital) memiliki segala data terkait rekening (username, PIN, dll) milik nasabah serta catatan transaksi keuangan yang dilakukan rekening tersebut. Bitcoin menghilangkan ini semua.

Ketika seseorang menggunakan Bitcoin--melalui sistem yang kode pemrogramannya disebarkan secara open source--ia akan mendapatkan private key dan public key. Private key berungsi selayaknya kartu ATM/Debit atau PIN atau username dan pasword, alias rahasia. Hanya si pemilik yang mengetahuinya. Public key bertindak selayaknya nomor rekening. Siapapun, boleh mengetahui. Yang menarik, private key dan public key ini diciptakan melalui teknologi enkripsi dan saling terikat satu sama lain.

Sebagai contoh, dengan menggunakan enkripsi jadul "+1", jika Anda memiliki private key "tirto", Anda akan memiliki public key "ujsup" karena pada tiap huruf dalam "tirto" diganti dengan satu huruf berikutnya. Ketika enkripsi dibuka (decrypt) "ujsup" jelas hanya memiliki satu jawaban: "tirto". Tentu, Bitcoin tidak menggunakan enkripsi jadul ini.

Karena public key terikat dengan private key, hanya jumlah uang yang dkirim/diterima dan public key yang dicatat di tiap transaksi keuangan ala Bitcoin. Ini berbeda dengan transaksi ala bank, yang juga mencatat identitas nasabah. Walhasil, menghilanglah peran pihak ketiga. Lalu, Nakamoto menyebarkan catatan transaksi pada komputer-komputer yang bergabung pada Bitcoin. Untuk mengetahui jumlah uang yang dimiliki, si pemilik Bitcoin harus melakukan audit sendiri, melihat jumlah yang diterima/ditransfer. Untuk memudahkan kerja ini, banyak dompet Bitcoin yang dapat digunakan.

Ya, cara kerja Bitcoin memang menarik. Masalahnya, kembali ke atas, Bitcoin adalah uang. Bitcoin serupa dolar dan rupiah. Bukan semata sistem transaksi keuangan yang berbeda. Dan karena Bitcoin adalah uang, Bitcoin sukar diandalkan tanpa ada entitas sekuat negara.

Kembali merujuk buku yang ditulis Antony Lewis, nilai uang USD 1 adalah USD 1 atau Rp1.000 adalah Rp1.000 tercipta bukan karena fenomena alam, melainkan karenaentitas raksasa bernama negara meyakinkan masyarakatnya bahwa Rp1.000 adalah Rp1.000. Sebelum dekade 1970-an muncul, usaha negara meyakinkan rakyatnya bahwa $1 adalah $1 dilakukan melalui emas. Artinya, untuk menciptakan lembaran-lembaran baru uang, negara wajib menyimpan emas dalam jumlah tertentu. Di Amerika Serikat, pada 1792 hingga 1834, $1 didasarkan pada berat emas dengan rasio 15 banding 1. Pada 1834 hingga 1862, rasio dolar ke emas berubah, menjadi 16 banding 1. Dan karena Perang Sipil terjadi pada pertengahan dekade 1860-an, nilai dolar jatuh. Kala itu, 23,22 grain (1 grain setara dengan 0.065 gram) jauh lebih bernilai dibandingkan $1. Kemudian, semenjak 1973, 1 troy ons emas setara dengan $35.

Artinya, jika pemerintah AS ingin mencetak uang senilai $70, Paman Sam wajib memiliki tambahan emas seberat 2 troy ons. Namun, sejak 1976, pengendalian dolar melalui emas dihapus. Sejak saat itu, nilai $1 adalah $1 benar-benar bersumber dari janji pemerintah.

Negara tentu punya kuasa untuk menaikkan atau menurunkan nilai mata uangnya. Kevin Honglin Zhang, dalam bukunya berjudul China as the World Factory (2006), menyebut bahwa semenjak akhir dekade 1970-an Cina melakukan reformasi besar-besaran untuk merealisasikan "Cina baru". Salah satu strategi Beijing ialah melakukan devaluasi pada mata uangnya, yuan. Pada 1978, 1 dolar memiliki kesamaan nilai dengan 1,7 yuan. Pada 1989, nilainya turun menjadi 3,8 yuan per 1 dolar. Bahkan, lima tahun kemudian, yuan hanya berharga 8,6 dibandingkan 1 dolar.

Aksi devaluasi Beijing terhadap yuan dilakukan untuk menarik hati investor asing agar menanam modal di Cina demi menggairahkan ekonomi. Ketika mata uang suatu negara nilainya terlalu rendah, negara dapat melakukan kebijakan fiskal, misalnya menaikan suku bunga.

Bitcoin tidak dapat melakukan ini. Nilai 1 Bitcoin (BTC)--sebagaimana yang dipaparkan studi Jacob Smith berjudul "An Analysis of Bitcoin Exchange Rates" (2014), atau studi David Yermack berjudul "Is Bitcoin a Real Currency? An Economic Appraisal" (2015) dan Pavel Caiaian berjudul "The Economics of Bitcoin price Formation" (2015)--hanya bersumber dari permintaan dan penawaran.

Permintaan dan penawaran itu lagi-lagi dipengaruhi oleh sentimen.

Bitcoin tidak memiliki entitas sekuat negara sebagai pendukungnya. Juga tidak memiliki cadangan emas sebagai pengamannya. Nilai Bitcoin mirip seperti batu akik di Indonesia. Sekali waktu, ia bisa dicari banyak orang. Di lain waktu, ia tak berharga. Didukung pengaruh selebritas atau peristiwa tertentu, Bitcoin dapat berharga sangat mahal. Artinya, Bitcoin sangat mungkin bernilai melebihi dolar Amerika, tetapi Bitcoin juga dapat bernilai tak lebih berharga dibandingkan dolar Zimbabwe.

Bitcoin memang populer saat ini. Namun, merujuk kembali Antony Lewis, kepopuleran hanya berkutat pada orang-orang yang memang gila Bitcoin alias berinvestasi besar-besaran pada Bitcoin. Kenyataannya, lebih dari 90 persen public key yang tercatat di sistem Bitcoin hanya memiliki uang senilai $1.

Baca juga artikel terkait BITCOIN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf