Menuju konten utama

Benarkah Bitcoin Dimanfaatkan oleh Teroris?

Bitcoin sukar digunakan untuk bertransaksi, apalagi di negara-negara yang memiliki infrastruktur teknologi minim.

Benarkah Bitcoin Dimanfaatkan oleh Teroris?
Dalam file foto 7 Februari 2018 ini, sebuah lampu neon berbentuk logo bitcoin yang tergantung di jendela Healthy Harvest Indoor Gardening di Hillsboro, Ore, yang menerima bitcoin sebagai pembayaran.AP / Gillian Flaccus

tirto.id - Sejak 9 Januari 2009, dunia kedatangan mata uang baru: Bitcoin. Bitcoin merupakan versi peer-to-peer dari uang elektronik yang memungkinkan pembayaran online dilakukan secara langsung dari satu pihak ke pihak lain tanpa melalui institusi keuangan. Begitu yang tertulis dalam paper “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System” karya Satoshi Nakamoto, si pencipta Bitcoin yang hingga kini masih misterius.

Bitcoin, sebut Nakamoto, “merupakan sistem pembayaran elektronik berdasarkan bukti kriptografi, bukan kepercayaan kepada institusi keuangan.” Akibatnya, melalui Bitcoin, siapa pun yang melakukan transaksi keuangan tidak perlu berhubungan dengan institusi atau lembaga keuangan mana pun. Ia hanya bertransaksi via algoritma.

Secara teknis, Bitcoin memanfaatkan teknologi bernama Blockchain. Blockchain mendesentralisasikan basis data ke seluruh jaringan yang tergabung dengannya. Data yang disebarkan telah dienkripsi terlebih dahulu. Ketika data baru ditambah, seluruh komputer yang terlibat dalam jaringan berkewajiban memverifikasi data.

Karena tidak berhubungan dengan institusi atau lembaga keuangan dan transaksi dilakukan secara desentralisasi, Bitcoin dianggap lebih aman. Ia melindungi para penggunanya karena sistem uang digital ini menihilkan data pribadi.

Sialnya, atas keunggulan itu, Bitcoin laku digunakan untuk perkara ilegal. Dalam paper berjudul “Sex, Drugs, and Bitcoin: How Much Illegal Activity Is Financed Through Cryptocurrencies?” (2018) yang digagas tim peneliti dari University of Sydney, disebutkan bahwa “seperempat pengguna Bitcoin dan setengah dari total transaksi yang menggunakan Bitcoin berasosiasi dengan aktivitas ilegal.”

Tim peneliti tersebut juga memperkirakan Bitcoin senilai $72 miliar lalu-lalang tiap tahunnya untuk ragam transaksi ilegal.

Pada 2015, Interpol melakukan investigasi pada Bitcoin. Hasilnya, sekitar 40 persen lalu-lalang uang di Bitcoin diyakini terkait aksi kejahatan. Transaksi ilegal itu mencakup transaksi untuk jual-beli obat-obatan, peretasan, pornografi, pencucian uang, dan pembiayaan aksi terorisme.

Untuk transaksi yang disebut terakhir, benarkan Bitcoin digunakan digunakan untuk mendukung aksi terorisme?

Hawala: Sistem Kepercayaan

Zoobia Shahnaz, perempuan Pakistan-Amerika, ditangkap pada akhir 2017 dengan tuduhan “menyediakan dana untuk mendukung operasional ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).” Shahnaz mendukung ISIS dengan menyediakan Bitcoin senilai lebih dari $60.000. Seketika, publik tercengang mendapati bagaimana Bitcoin dimanfaatkan kelompok teroris membiayai operasionalnya.

Sayangnya, sebagaimana dilansir Quartz, Shahnaz tidak benar-benar mengirimkan pundi-pundi Bitcoin kepada ISIS. Sebelumnya, Shahnaz lebih dahulu menukar Bitcoin-nya dengan dolar. Kemudian, dolar itu dikirim ke ISIS dengan membaginya ke kelompok-kelompok kecil yang berada di Pakistan, Cina, dan Turki.

Secara sederhana, ISIS hanya menerima dolar dari Shahnaz, bukan Bitcoin. Alasannya sederhana. sebagaimana tertulis dalam “Are Terrorists Using Cryptocurrencies?”, Bitcoin bukanlah mata uang cair, sebagaimana dolar atau rupiah. Bitcoin sukar digunakan untuk bertransaksi, apalagi di negara-negara yang memiliki infrastruktur teknologi minim.

“Sulit untuk menggunakan dengan cepat Bitcoin. Selain itu, penerimaan uang digital sangat terbatas di kawasan seperti Timur Tengah dan Afrika Utara, kawasan di mana kelompok teroris bekerja paling aktif,” tulisan laporan itu.

Dalam laporan “Terror in the Dark” yang dipublikasikan Centre for the Response to Radicalisation and Terrorism, disebutkan bahwa “tidak ada indikasi penggunaan Bitcoin untuk mendukung aksi terorisme, khususnya dalam skala besar.” Laporan itu menyebut kelompok teroris lebih akrab dengan sistem transaksi bernama Hawala, alih-alih menggunakan Bitcoin.

Secara etimologi, Hawala berarti “transfer” dengan basis “kepercayaan.” Hawala adalah sistem transfer dana tradisional yang populer di Timur Tengah. Dalam sistem itu, uang dibayarkan ke agen dan agen menyalurkan ke penerima akhir. Selepas teknologi diperkenalkan, sistem ini menggunakan infrastruktur bank online yang modern.

Masih dalam laporan “Terror in the Dark,” Hawala sangat populer digunakan kelompok teroris bertransaksi, baik untuk membeli berbagai keperluan hingga melakukan pembayaran upah. Hawala dianggap aman karena fee yang tinggi.

Saban tahun, uang senilai £258,9 miliar lalu-lalang memanfaatkan sistem Hawala. Selain itu, orang-orang di luar negeri lebih senang mengirimkan uang ke Timur Tengah menggunakan sistem ini. Tiap tahunnya, remitansi senilai $500 miliar bersirkulasi dalam sistem Hawala.

Tidak Sebesar yang Dibayangkan

Untuk beroperasi, kelompok teroris seperti ISIS membutuhkan biaya tidak sedikit. Pada 2014, ISIS diyakini menggenggam uang senilai $2 miliar. Uang mereka meningkat tinggi karena penguasaan beragam sumber daya, misalnya minyak.

Namun, untuk melakukan aksi teror tidak dibutuhkan biaya besar. Khususnya bagi para pelaku teror berlabel “lone wolf” maupun kelompok-kelompok teroris kecil.

Pada 2006, misalnya. Di Jerman, dua orang pemuda menyerang kereta di kota Cologne. Dilansir NPR, aksi serangan dua pemuda itu hanya bermodal $500. Setahun sebelumnya, terjadi aksi serangan sistem transportasi di London yang menewaskan 57 orang, yang hanya membutuhkan biaya $14.000.

“Aksi-aksi teroris itu dibiayai sendiri, mereka berasal dari keluarga yang relatif mampu. Mereka membiayai [aksi teror itu] dengan gaji mereka sendiri,” kata Richard Barrett, petugas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

The Joint Improvised Explosive Device Defeat Organization, organisasi di bawah naungan Departemen Pertahanan Amerika Serikat, pernah menyebut biaya untuk melakukan serangan menggunakan bom yang dikendalikan remote control hanya perlu biaya $400. Lantas, untuk melakukan serangan bom bunuh diri, teroris hanya butuh uang senilai $1.200. Serangan bom mobil perlu dibayar sekitar $13.000 hingga $20.000, tergantung harga mobil yang digunakan.

Dengan tarif yang tidak terlalu besar itu, Bitcoin sebagai sarana transaksi teroris tampaknya kurang efisien.

Baca juga artikel terkait BITCOIN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani