tirto.id - Mudah, cepat dan praktis. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Cory Ruth Manurung (32 tahun) ketika mencicipi kehidupan tanpa harus membawa banyak uang tunai selama 1,5 tahun tinggal di Sydney, Australia.
Baginya, membawa uang tunai identik dengan kerepotan mengelola keuangan pribadi. Terlebih lagi, ekosistem pembayaran non-tunai di Sydney sudah matang sehingga membuatnya lebih menyukai transaksi elektronik.
“Kebetulan semua tempat di Sydney support transaksi apapun pakai kartu,” jelas Cory kepada Tirto, Rabu (7/11).
Namun, ia juga mengaku bahwa hidup tanpa uang tunai tidak semerta-merta membuat pengeluarannya membludak. Pasalnya, layanan perbankan di Australia menyediakan segudang fasilitas yang memudahkan Cory mengawasi pengeluarannya. Salah satu fasilitas itu membuatnya bisa mematok kuota uang belanja dalam kartu pembayaran. “Sudah ada jatah mingguan,” ucap wanita yang bekerja sebagai analis di Garuda Indonesia tersebut.
Kemudahan selama hidup di Australia itu tak ia jumpai di Indonesia. Cory merasa was-was ketika tak tahu sisa uang yang ia miliki.
“Kalau di [Indonesia] pakai debit jadi gampang gesek. Sering kecolongan juga, 'Lho, kok uang gue sudah segini?',” katanya tertawa sembari menambahkan bahwa situasi itu kerap terjadi karena ia merasa tidak memiliki faktor ‘penghalang’ yang mampu membuatnya menahan pengeluaran.
Bagi Dibya Pranata (24 tahun), situasinya agak berbeda. Mahasiswa S2 itu justru takut kesulitan mencatat pengeluaran saking mudahnya menggunakan perangkat pembayaran non-tunai elektronik.
“Kadang boros karena enggak kerasa bayarnya. Gampang, tinggal tap aja,” jelas Dibya kepada Tirto. “Intinya boros sih [karena] enggak dihitung.”
Untungnya, sistem perbankan online yang ia gunakan sudah dilengkapi sistem notifikasi. Walhasil, tiap kali bertransaksi, ia mendapatkan semacam peringatan. “Jadi lebih ngingetin, jadi lebih irit,” sebutnya.
Keterbatasan toko yang tidak menyediakan alat pembayaran elektronik non-tunai, ia akui, juga menjadi faktor lain yang secara tidak langsung dapat menekan pengeluarannya. “Karena ga semua terima kartu, jadi kadang ga bisa beli beberapa makanan atau barang,” kata Dibya.
Cashless yang Menggoda
Bank Indonesia mencatat bahwa jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia terus naik. Pada 2011, tercatat nominal transaksi uang elektronik mencapai Rp981 milyar. Pada 2017 lalu, jumlahnya mencapai Rp12,375 triliun. Pada 2018, angka transaksi hingga bulan September kembali naik hingga Rp31,6 triliun.
Pertumbuhan ini jelas mengindikasikan bahwa uang elektronik semakin lazim digunakan masyarakat. Fenomena ini tak lepas dari gencarnya promosi perusahaan-perusahaan fintech baru seperti PT Visionet Internasional (anak perusahaan Lippo Group) dengan produk andalan OVO. Visionet meluncurkan promosi 1 rupiah per perjalanan jika pengguna memakai aplikasi jasa kendaraan online Grab. Saat ini Grab memang telah terintegrasi dengan layanan OVO.
OVO juga gencar memperluas jangkauan layanannya. Pada Minggu (4/11), misalnya, layanan uang elektronik dari Lippo tersebut secara resmi terintegrasi dengan layanan e-commerce Tokopedia, menggantikan layanan uang elektronik TokoCash yang diinisiasi oleh Tokopedia sendiri.
Tak hanya itu, sejumlah sales point OVO pun dapat dengan mudah ditemui di pusat-pusat perbelanjaan milik Lippo misalnya.
Sementara itu, PT Dompet Anak Bangsa (anak usaha Go-Jek) juga tak kalah kencang mendorong penggunaan uang elektronik Go-Pay. Selain terintegrasi dengan Go-Jek yang merupakan salah satu aplikasi layanan transportasi terpopuler di Indonesia, Go-Pay juga kerap memberikan promosi layaknya OVO.
Beberapa waktu lalu, Go-Jek memberikan diskon besar-besaran untuk pembelian produk restoran seperti seperti CFC (Calfornia Fried Chicken), Wingstop, dan Hoka-Hoka Bento. Go-Jek juga menawarkan poin bagi pengemudi Go-Jek yang turut mempromosikan Go-Pay kepada pelanggan.
Per Oktober 2017, pengguna aktif Go-Pay diklaim mencapai 11 juta orang, sementara OVO diklaim telah diunduh oleh lebih dari 60 juta ponsel pintar.
Promo-promo ini rupanya sukses menarik perhatian konsumen. Seorang pengguna OVO dan Go-Pay bernama Indriani Pratiwi (25 tahun), misalnya, akan mengalihkan pembeliannya pada barang-barang yang masuk dalam promo kedua sistem pembayaran tersebut.
“Kalau makan malam biasanya beli di tempat A. Tapi karena ada promo kalau pakai OVO/Go-Pay di tempat B, berarti malam ini aku belinya di tempat B,” jelas Indri.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa metode pembayaran menggunakan OVO ataupun Go-Pay masih cukup rumit karena harus membuka aplikasi atau memindai QR Code, tak seperti kartu elektronik yang hanya butuh tap pada alat khusus saja.
Masih dari data Bank Indonesia, pada periode Januari hingga Agustus 2018, jumlah transaksi pembayaran digital naik 3 kali lipat mencapai 1,78 miliar transaksi, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 (480 juta transaksi).
Menurut peneliti LIPI Wasis Raharjo Jati dalam penelitiannya berjudul Less Cash Sociey: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia (PDF) pada 2015, teknologi berperan besar mendorong kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif melalui kehadiran alat pembayaran elektronik non-tunai.
Di negara-negara maju, tulis Wasis, kehidupan tanpa uang tunai turut membentuk karakter belanja impulsif (impulsive buying) kelas menengah, di mana orang membeli barang tanpa direncanakan. Untuk memenuhi kebiasaan tersebut, saldo dalam jumlah besar pun menjadi suatu keharusan.
Indonesia nampaknya tengah mengarah ke sana. Dalam survei yang dilakukan DailySocial.id dengan JakPat Mobile Survey Platform pada 2017, disebutkan sebanyak 73,79 persen responden menyisihkan Rp250.000 atau kurang per bulannya, untuk transaksi uang elektronik.
Hanya sekitar 42 persen yang merasa uang elektronik telah mempermudah pengendalian pengeluaran. Namun perlu dicatat, pada 2017, promosi penggunaan uang elektronik yang dilakukan oleh layanan macam OVO dan Go-Pay belum segencar 2018.
Menurut laporan CNBC, penggunaan kartu kredit telah membuat konsumen mengeluarkan uang antara 12 hingga 18 persen lebih banyak dibandingkan ketika mereka menggunakan uang tunai. Hal yang sama juga berlaku pada sistem pembayaran via ponsel pintar.
Ross Steinman, profesor jurusan psikologi di Widener University, mengatakan bahwa penggunaan uang tunai sebenarnya tak membantu orang mengontrol pengeluaran. Sebaliknya, belanja dengan uang fisik membuat konsumen selalu teringat bahwa mereka benar-benar sedang mengeluarkan uang.
“Jika Anda benar-benar menyerahkan uang fisik, Anda dapat merenungkan apa yang telah Anda lakukan untuk mendapatkan uang itu,” kata Steinman.
Editor: Windu Jusuf