tirto.id - Sebanyak 85 persen wilayah Puerto Rico masih gelap gulita setelah dihantam bencana alam hebat, badai Maria pada September 2017 lalu. Rusaknya jaringan listrik di salah satu negara persemakmuran Amerika Serikat (AS) ini, membuat nyaris seluruh aktivitas warga lumpuh. Keadaan yang berlangsung selama berminggu-minggu ini, membuat warga Puerto Rico mengalami kesulitan uang tunai.
“Hanya uang tunai. Sistem sedang down, jadi kami tidak bisa memproses transaksi pembayaran dengan kartu,” ucap Abraham Lebron, Manajer Toko Supermax, supermarket di Plaza de las Armas, San Juan, Puerto Rico mengutip Bloomberg.
Kebutuhan uang tunai yang tinggi, membuat Gubernur The Federal Reserve dari negara bagian New York mengirimkan satu unit pesawat jet berisi penuh uang tunai. “Kami mencoba mengirimkan layanan mobil lapis baja untuk mendistribusi uang tunai dan mengisi ATM, tapi tidak semua bisa terlayani karena mati listrik masih menjadi kendala terbesar,” kata William C. Dudley melansir CNBC.
Bencana alam yang melanda kawasan AS seperti Puerto Rico maupun negara bagian lain seperti Texas dan Florida, menunjukkan apa yang terjadi ketika tenaga listrik padam. Imbasnya, jaringan ATM dan juga internet tidak bisa digunakan. Dengan begitu, akses untuk mendapatkan uang tunai maupun penggunaan uang elektronik dan digital, menjadi terputus.
Upaya memasok sejumlah besar uang tunai ke lembaga keuangan adalah hal pertama yang dilakukan oleh kantor cabang Bank Sentral Jepang atau Bank of Japan, pasca bencana gempa bumi dan tsunami melanda Tohoku, yang berada di timur laut Jepang. Sepekan pertama pasca gempa dan tsunami, kantor cabang BoJ dan juga kantor perbankan lokal di Tohoku mengucurkan pasokan uang tunai 310 miliar yen atau tiga kali jumlah yang biasa dipasok.
Masaaki Shirakawa, Gubernur BoJ bersama Menteri Keuangan Jepang mengizinkan penarikan deposito di perbankan, meski sertifikat deposito maupun buku tabungan telah hilang karena bencana. Untuk membantu mengamankan kesejahteraan rakyat paling rentan seperti lansia dan disabilitas, pemerintah Jepang menyediakan transfer uang tunai dengan jumlah sekitar 50 ribu-250 ribu yen setara $550-$26 ribu per bulan.
Dana itu didistribusikan secara individual ke sebagian orang yang rentan di seluruh Jepang. Laporan berjudul Learning From Megadisasters; Lesson From The Great East Japan Earthquake (PDF) menyebutkan uang tunai memiliki beberapa keunggulan sebagai insentif saat bencana.
Pertama, masyarakat dapat memilih barang kebutuhan yang mereka ingin beli. Upaya ini membantu memberdayakan masyarakat. “Uang tunai juga memiliki dampak pasar yang besar ketika dibelanjakan di tingkat domestik, sehingga membantu pemulihan dan perputaran uang secara nasional,” tulis Federica Ranghieri dan Mikio Ishiwatari dalam laporan Bank Dunia itu.
Laporan World Cash Report 2018 yang disusun oleh perusahaan jasa pengiriman uang G4S menyebutkan, AS adalah negara keenam dari 10 negara yang tidak tergantung pada penggunaan uang tunai. Peredaran uang tunai di AS terus mengalami penurunan. Rasio peredaran uang tunai di AS hanya sebesar 8,1 persen, berada di bawah rata-rata dunia yang sebesar 9,6 persen di 2016.
Manfaat keberadaan uang tunai saat kondisi darurat seperti bencana tak bisa dipungkiri, tapi pada kenyataannya dunia kini sedang berjalan menuju apa yang disebut sebagai cashless society atau masyarakat non-tunai.
Pembayaran tunai yang dilakukan warga AS hanya sebanyak 32 persen dari keseluruhan transaksi. Angka itu menurut laporan World Cash Report 2018, relatif lebih rendah dibanding kebanyakan negara lain. Penarikan uang dari ATM terhadap PDB di AS juga hanya sebesar 3,9 persen.
Warga AS menggantungkan diri kepada transaksi elektronik baik melalui ATM maupun mesin electronic data capture (EDC). Volume penggunaan kartu untuk transaksi pembayaran oleh warga AS sebanyak 304 kali terhadap PDB. Menjadikan AS sebagai salah satu negara dengan transaksi kartu tahunan tertinggi di dunia.
Penerbitan kartu yang dilakukan perbankan AS sekaligus terminal pembayaran kartu tumbuh sembilan persen. Jika dihitung secara rata-rata, maka setiap penduduk di AS memiliki 4,1 kartu. “Pertumbuhan tersebut memungkinkan pertumbuhan transaksi pembayaran dengan kartu di AS meningkat jadi 29 persen,” tulis laporan tersebut (PDF).
Laporan G4S juga menyebut negara yang mengadaptasi gerakan ekonomi non tunai tercepat di dunia adalah Swedia. Rasio peredaran uang tunai dan nominal penarikan uang melalui ATM di negara tersebut adalah terendah di dunia. Catatan bank sentral Swedia, Sveriges Riskbank menyebut stok mata uang yang beredar hanya 1,4 persen dari kebutuhan dan penarikan uang tunai melalui ATM hanya 5,5 persen terhadap PDB. Padahal, 99,7 persen penduduk Swedia berusia lebih dari 15 tahun, memiliki akses perbankan.
Survei terbaru yang dilakukan Bank Sentral Swedia menyebut, hanya 15,9 persen dari transaksi pembayaran dilakukan dengan uang tunai. Survei terbaru Sveriges Riskbank menyebut peredaran uang tunai Swedia secara absolut turun 38 persen sepanjang 2016. Periode yang sama, jumlah ATM juga terpangkas 20 persen dan hanya tersisa 2.850 ATM di seluruh negeri. Dengan begitu, ada 29 ATM untuk setiap 100 ribu warga Swedia.
Kantor cabang bank berkurang 11,9 persen. Jumlah kartu yang diterbitkan perbankan juga turun 9,6 persen. Total transaksi menggunakan kartu di Swedia hanya 47,2 persen dengan jumlah transaksi menggunakan kartu sebanyak 298,9 kali per kapita. Warga Swedia lebih menggantungkan diri dengan transaksi elektronik.
Terbukti dengan jumlah transaksi elektronik yang tumbuh signifikan sebesar 142 persen sepanjang 2016, menjadikan Swedia sebagai negara pengguna transaksi elektronik tertinggi di dunia. Inovasi terbesar bisa didapat di aplikasi ponsel yang dikenal dengan Swish, memungkinkan transfer rekening antar bank secara instan. Penduduk pun tak lagi diperbolehkan membayar angkutan umum menggunakan uang tunai sejak 2016.
Toko-toko di Swedia juga memasang tanda “No cash, please”, alias meminta konsumen melakukan pembayaran non tunai. Itu semua berkat aturan yang dikeluarkan pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Stefan Lofven, sehingga Swedia dinilai sebagai contoh negara terbaik dalam menerapkan cashless society.
Sistem keuangan yang bertransformasi menjadi elektronik dan digital memang menjadikan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran menjadi terpinggirkan. Bank sentral berbagai negara di dunia pun mendorong penggunaan non tunai dalam transaksi pembayaran sehari-hari. Sejak tahun 2014, Bank Indonesia juga mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai untuk mendorong peningkatan transaksi pembayaran berbasis elektronik.
Kenneth S. Rogoff dalam bukunya berjudul The Curse of Cash menyebutkan, terdapat ‘sisi gelap’ dari uang tunai. Ekonom Harvard ini merinci, nominal $100 saat ini banyak digunakan untuk penghindaran pajak, pencucian uang, alasan keamanan dan juga penyuapan. Pemerintah dan bank sentral di beberapa negara di dunia mendorong warganya untuk memindahkan transaksi dari tunai ke non tunai.
Klaimnya, transaksi elektronik maupun digital lebih aman, murah dan juga nyaman. Pemerintah Italia misalnya, memberikan batasan transaksi tunai maksimal setara $1.300. Pemerintah Spanyol dan Perancis pun memberlakukan batas transaksi tunai sebesar 1.000 Euro atas nama memerangi terorisme.
Namun hal itu dibantah oleh International Currency Association (ICA). Menurut lembaga nirlaba itu, pembayaran digital lebih berpeluang besar digunakan untuk tujuan terlarang termasuk terorisme. “Bukti menunjukkan bahwa para teroris menggunakan kartu prabayar anonim untuk memindahkan uang. Jadi menurut kami, itu adalah argumen yang salah. Kami tidak begitu senang dengan pembatasan uang tunai itu,” kata Guillaume Lepecq, Direktur Jenderal ICA.
Alasan keamanan lain yaitu cybersecurity atau keamanan siber juga menjadi pertimbangan para bankir dan regulator dalam praktik cashless society. Terlalu mengandalkan sistem pembayaran digital, membuat perbankan dapat menghadapi kegagalan besar jika terjadi kejahatan siber. Kegagalan IT, risiko peretasan data sistemik dan fakta bahwa masyarakat lebih rentan jika mengandalkan non tunai, menjadikan transaksi tunai tetap harus dipertahankan.
“Kami tidak meramalkan masyarakat akan benar-benar tanpa uang tunai. Jika ada pemadaman listrik, uang tunai adalah satu-satunya cara pembayaran yang bertahan,” kata Ewald Nowotny, Gubernur Bank Sentral Austria pada konferensi di Brussels, baru-baru ini.
Kejahatan siber bahkan menyerang Bank Sentral Belanda setiap harinya. Di luar kekhawatiran keamanan dunia maya, kebutuhan uang tunai datang dari kalangan rentan seperti lansia dan kaum disabilitas, membuat uang tunai masih diandalkan. “Uang tunai memberikan kepercayaan. Kami melihat masih banyak yang membutuhkannya,” jelas Direktur Pembayaran Bank Sentral Belanda, Petra Hielkema melansir Politico.
Kegagalan sistem yang menimpa perusahaan teknologi pembayaran global Visa pada Juni lalu, menyebabkan gagalnya transaksi pembayaran konsumen. “Sejumlah kecil pemegang kartu mungkin mengalami penundaan transaksi yang dapat membatasi nominal belanja konsumen. Kami bekerjasama dengan perbankan untuk menyelesaikan masalah ini,” tulis Al Kelly, Chief Executive Officer Visa Inc, di laman resminya.
Hal itu menurut Kevin Curran, meningkatkan risiko bagi pengguna. Sebab, pembayaran kartu menyumbang 77 persen dari total penjualan ritel Inggris pada Oktober 2017. Badan industri UK Finance juga menyebut, lebih dari 95 persen kartu debit di Inggris merupakan jaringan Visa. Menurut Curran, ketika konsumen di Uni Eropa tidak mampu membayar barang dan jasa menggunakan transaksi elektronik, maka “Satu-satunya orang yang bisa berbelanja adalah mereka yang memiliki uang tunai,” jelas Profesor Cybersecurity di Universitas Ulster di Londonderry, Irlandia Utara ini masih melansir Politico.
Health of Cash Study 2017 berjudul In A Digital World, Cash Is Resilient (PDF) menyebut uang tunai merupakan bentuk pembayaran paling penting dan banyak manfaat di kehidupan sehari-hari. Alasan di antaranya adalah kenyamanan, karena 68 persen konsumen lebih suka menggunakan uang tunai untuk pembelian barang lebih kecil di bawah $10. Uang tunai juga digunakan saat membayar layanan pengasuhan anak (67 persen), layanan pemotongan rumput (46 persen) dan membeli kopi serta makanan ringan (54 persen).
Dari segi keamanan, 85 persen dari 1.000 konsumen AS yang disurvei mengaku kepemilikan uang tunai membuat mereka merasa aman secara finansial. Tiga perempat dari konsumen mengatakan uang tunai membantu mengontrol dari ancaman pengeluaran berlebih. “Memiliki sejumlah uang tunai untuk kebutuhan mendesak sangat diperlukan,” ucap Tom Pierce, Chief Marketing Officer CardTronics melansir Business Insider.
Editor: Suhendra