tirto.id - Di Cina, ada budaya menyelipkan uang dalam amplop merah, sebagai hadiah kelulusan, pernikahan, atau kelahiran bayi. Para petinggi perusahaan bahkan juga memberikan hadiah itu pada hari pertama tiap tahun.
Tradisi itu bernama hongbao, dalam Bahasa Mandarin, karena umumnya berwarna merah, maka sering dialihbahasakan dalam bahasa Inggris menjadi red envelope atau red packet. Dalam bahasa Hokkien, ia disebut ang-pau, yang kemudian diserap Kamus Besar Bahasa Indonesia jadi angpau, tradisi yang juga ada di Indonesia.
Bedanya, di tanah asal usulnya, WeChat, layanan komunikasi digital yang dikembangkan Tencent Holdings melihat tradisi itu sebagai celah mengembangkan bisnis. Ketika layanan dompet digital yang diluncurkan sebagai fitur baru dalam aplikasi perpesanan itu kurang disambut pada 2013, langkah pemasaran berikutnya: memikirkan cara bagaimana 400 juta pengguna WeChat pada saat itu mengirim hongbao lewat dompet digital.
Lilian Huang, Senior Director WeChat Payment, bercerita tentang dari mana inspirasi itu datang pada Channel News Asia. “Pada hari pertama masuk kantor tiap tahunnya, kami di Tencent punya tradisi, mendatangi bos-bos kami untuk minta hongbao. Kami mengantre di luar kantornya untuk dapat hongbao,” katanya. Pada 2014, muncul gagasan untuk mengirim hongbao itu lewat ponsel saja.
“Lalu kami menguji cobanya di internal, dan ternyata berjalan baik. Jadi, kami mulai mengenalkannya ke publik.”
Lewat sebuah acara TV nasional, pada tahun yang sama, WeChat membagikan hongbao sejumlah 80 juta dolar Amerika Serikat, bagi mereka yang tertarik menggunakan fitur WeChat Pay. Untuk membentuk tabiat baru para konsumen mereka. Hasilnya, pengguna WeChat Pay berkembang dari 30 juta orang menjadi 100 juta hanya dalam sebulan.
Langkah pemasaran berikutnya adalah bagaimana tabiat itu tetap berlanjut. WeChat memutar otak, mereka menciptakan pemainan hongbao yang ternyata menarik minat warga Cina. Dalam sebuah grup percakapan, seseorang bisa menyebar uang elektroniknya dengan nominal tertentu, untuk diperebutkan anggota grup lainnya agar uang tersebut masuk ke dompet elektronik mereka.
“Itu membuat hongbao jadi semacam permainan; hiburan (kan) bukan justru membuatnya semata-mata tentang uang... Itu yang membuatnya menyenangkan. Begitulah caranya (jadi) populer,” kata Lilian.
Kini, WeChat Pay hadir sebagai kanal pembayaran mobile paling banyak dipakai nomor dua di Cina. Nomor satu masih dipegang oleh AliPay dari Alibaba Group, yang menguasai 54 persen pasar per kuartal I-2017. Sedangkan WeChat Pay membayanginya dengan 40 persen, dan sisanya dibagi pemain lain. Padahal hingga kuartal III-2014, Alipay masih menguasai 82,6 persen pasar pembayaran nontunai, sedangkan WeChat Pay masih mengambil porsi hanya 10 persen.
Baca juga:AliPay Merevolusi Sistem Pembayaran di Cina
Meski masih bertengger di nomor dua penguasa pasar, pertumbuhan pengguna WeChat Pay adalah yang paling pesat. Pada 2014, setiap delapan dari 10 orang menggunakan AliPay sebagai kanal transaksi pembayaran. Kini, hanya lima dari 10 orang yang menggunakannya, sebab tiga di antaranya sudah beralih ke WeChat Pay.
Artinya, usaha AliPay menguasai pasar kanal pembayaran uang elektronik selama 10 tahun, disalip WeChat hampir setengahnya hanya dalam 3 tahun. Perubahan tabiat menggunakan dompet elektronik semacam WeChat Pay, bahkan kini tak cuma terjadi demi memainkan permainan.
Sembilan dari 10 orang di China kini tak lagi membawa uang kartalnya, karena menggunakan uang elektronik di ponsel mereka dalam transaksi sehari-harinya. Mulai dari membeli pakaian hingga rumah, bahkan makanan di pinggir jalan sampai di restoran-restoran mahal. WeChat juga menyusupi transaksi pembayaran di sektor lainnya termasuk finansial dan rumah sakit.
Dengan fitur-fitur di dalamnya, seseorang di Cina bahkan bisa memilih dokter yang ingin ditemui saat memeriksakan diri ke rumah sakit, atau meminjam kredit. Disrupsi uang elektronik tumbuh di Cina, salah satunya karena pertumbuhan WeChat Pay yang pesat pula.
Agar lebih memperluas pasarnya dan menyusul posisi AliPay, per November ini, WeChat juga menyasar pasar transaksi jual-beli tiket kereta api di Cina. Pasar yang disediakan sektor ini cukup besar, dikutip dari South China Morning Post, tahun lalu saja penumpangnya tercatat sebanyak 2,81 miliar penumpang, naik 11 persen dari tahun sebelumnya.
Di dunia memang sedang ada tren disrupsi penggunaan uang elektronik, yang bahkan didukung oleh negara. Selain di Cina, India misalnya, masyarakatnya juga sudah terbiasa dengan tabiat membayar lewat uang elektronik, tanpa lagi perlu membawa dompet. Bila AliPay dan WeChat adalah cerita sukses di Cina, maka Paytm alias Pay Through Mobile, adalah dompet digital yang membuat India menyumbang 6 persen dari keseluruhan transaksi penggunaan uang elektronik dunia. Pengguna aplikasi itu mencapai 220 juta pengguna. India jadi tempat masyarakat non-tunai (cashless society) paling berkembang.
Baca juga: Pelajaran Transaksi Non-Tunai dari India
Namun, menurut studi terbaru KTH Royal Institute of Technology dan the Copenhagen School of Economics, kurang dari 10 tahun ke depan, Swedia akan jadi negara pertama yang benar-benar menerapkan masyarakat non-tunai di dunia. Niklas Arvidson dan Jonas Hedman, sang peneliti, menyebut mimpi itu akan terwujud pada pertengahan 2025 di Swedia. Hal ini diprediksi dari tingkat penggunaan transaksi tunai di Swedia yang terus turun tiap tahunnya.
“Saat ini, 97 persen pedagang (masih) menerima uang tunai, namun cuma 18 persen pembayaran konsumen yang dilakukan secara tunai. Jadi konsumen itulah yang menjadi pendorongnya,” ungkap Arvidson seperti dikutip dari Sputnik.
Baca juga: Masyarakat Non-Tunai yang Akan Dimulai di Swedia
Di Indonesia, gerakan cashless society alias masyarakat nontunai juga sudah digagas sejak satu dekade lalu, dan dicanangkan lebih luas pada 2014 silam. Program itu disebut Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Data Statista, pada 2017 ini, total nilai transaksi pembayaran digital di Indonesia adalah $18,6 miliar. Sementara nilai transaksi pembayaran digital atau digital payment di seluruh dunia sudah mencapai $786,11 miliar. Artinya, Indonesia baru menyumbang sekitar 2 persen dari nilai transaksi pembayaran digital global.
Ini adalah angka yang kecil, namun tren penggunaan uang elektronik di Indonesia justru terus meningkat. Dari data Bank Indonesia (BI), pada 2011, nilai transaksi uang elektronik mencapai lebih dari Rp981 triliun. Meroket tajam pada 2016 menjadi Rp7.063 triliun. Di awal kuartal pertama tahun ini saja sudah mencapai Rp2.858 triliun.
Selain angka tersebut, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, sekitar 260 juta orang adalah data yang menggiurkan bagi sejumlah perusahaan pengembang kanal pembayaran uang elektronik tersebut. Tencent Holdings, bahkan menyuntikkan dana sekitar 100 hingga 150 juta dolar AS ada Go-Jek, unicorn yang juga punya fitur Go-Pay, salah satu dompet elektronik paling banyak penggunanya di Indonesia.
Baca juga:Mewaspadai Oligopoli dari Gurita Bisnis Digital Global
Nama WeChat sebagai aplikasi pesan instan memang tidak terlalu besar di Indonesia. Namun, bukan berarti mereka setop berusaha melebarkan sayap bisnisnya di negeri dengan ceruk pasar besar ini. Justru melalui suntikan dananya pada Go-Jek dan sejumlah e-commerce lain yang bermain di Indonesia (seperti Shoopee dan JD.ID), Tencent tetap punya pengaruh untuk ikut mengembangkan disrupsi ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra