tirto.id - Empat sekawan sedang makan malam di sebuah mal, malam Minggu kemarin. Total tagihan dua piring ayam penyet, dua piring nasi goreng, dan empat gelas teh manis adalah Rp203 ribu.
Mereka sepakat membaginya rata. Masing-masing, Rp50 ribu saja. Tiga di antaranya langsung mengeluarkan selembar rupiah berwarna biru dari dompet masing-masing. Sementara orang terakhir bersedia membayar sisa tagihan, sekaligus membawa bon langsung ke kasir. Ini karena ia tak sama sekali tak membawa sepeser tunai pun. Saat kembali, salah satu kawan lain bertanya kepadanya, “Sudah berapa lama jadi cashless society?” Ia cuma membalas dengan senyuman.
Di Indonesia, gerakan cashless society alias masyarakat nontunai memang sudah digagas sejak satu dekade lalu, dan dicanangkan lebih luas pada 2014 silam. Program itu disebut Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Tujuannya memang demi mendorong warga Indonesia jadi cashless society, yang dalam transaksi ekonominya tak lagi memakai uang kartal, melainkan uang elektronik.
Manfaatnya memang positif. Uang elektronik membawa kemudahan transaksi dan efisiensi: tak perlu lagi bawa dompet, kalau sudah pegang ponsel. Selain ada berapa banyak waktu yang dihemat ketika tak perlu lagi lari sana-sini cari ATM demi uang tunai. Belum lagi perkara keamanan. Transaksi cashless lebih mudah dilacak, dan jauh dari ancaman korupsi. Lalu soal urusan menyelamatkan lingkungan: berapa banyak kertas yang bisa dihemat dengan berkurangnya uang kartal yang beredar di masyarakat.
Baca:Baik-Buruk Uang Elektronik
Data Statista, pada 2017 ini, menyebut total nilai transaksi pembayaran digital di Indonesia adalah $18,6 miliar. Sementara nilai transaksi pembayaran digital atau digital payment di seluruh dunia sudah mencapai $786,11 miliar. Artinya, Indonesia baru menyumbang sekitar 2 persen dari nilai transaksi pembayaran digital global.
Meski masih kecil di tingkat global, namun tren penggunaan uang elektronik di Indonesia memang terus meningkat. Dari data Bank Indonesia (BI), pada 2011, nilai transaksi uang elektronik mencapai lebih dari Rp981 triliun. Meroket tajam pada 2016 menjadi Rp7.063 triliun. Di awal kuartal pertama tahun ini saja sudah mencapai Rp2.858 triliun.
Tren ini bukan Cuma terjadi di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Di India, misalnya, melalui Paytm alias “Pay Through Mobile,” masyarakat negeri itu diubah tabiat belanjanya menjadi cashless society. Aplikasi itu adalah dompet digital terbesar di India dengan 220 juta pengguna. Bukan cuma digunakan kalangan terdidik dan menengah ke atas, pengalaman masyarakat nontunai juga terjadi di hampir setiap lapisan masyarakat India. Pertumbuhan penggunaan uang elektroniknya jadi salah satu yang tercepat di dunia. Bahkan menyumbang 6 persen dari nilai transaksi global.
Baca juga:Pelajaran Transaksi Nontunai dari India
Namun pertanyaannya, apakah ada negara yang benar-benar lepas dari uang kartal? Studi terbaru dari KTH Royal Institute of Technology dan the Copenhagen School of Economics punya jawabannya. Jika pertanyaan itu dilontarkan sekarang, jawabannya adalah tidak. Namun, tak lama lagi, kurang dari 10 tahun ke depan, studi ini menyebut Swedia akan jadi negara pertama yang benar-benar menerapkan masyarakat nontunai di dunia.
Niklas Arvidson dan Jonas Hedman, sang peneliti, menyebut mimpi itu akan terwujud pada pertengahan 2025 di Swedia. Hal ini diprediksi dari tingkat penggunaan transaksi tunai di Swedia yang terus turun tiap tahunnya. Menurut Arvidson, disrupsi dari uang kartal menuju uang elektronik di Swedia didorong oleh para konsumen.
“Saat ini, 97 persen pedagang (masih) menerima uang tunai, namun cuma 18 persen pembayaran konsumen yang dilakukan secara tunai. Jadi konsumen itulah yang menjadi pendorongnya,” ungkap Arvidson seperti dikutip dari Sputnik.
Tren penurunan penggunaan uang tunai ini juga diamini data dari Riskbank, bank sentral Swedia. Dikutip dari The Guardian, pada 2015, transaksi uang tunai hanya 2 persen dari total transaksi di Swedia. Selanjutnya diprediksi akan makin kecil menjadi 0,5 persen pada 2020.
Catatan dari Bank for International Settlements (BIS) bahkan menunjukkan rata-rata penurunan penggunaan uang kertas dan uang koin di Swedia selama 2011 sampai 2015 mencapai 6,9 persen. Ia angka penurunan transaksi tunai paling cepat di dunia.
Pada 2016, menurut catatan The Guardian, transaksi tunai di toko-toko bahkan cuma 20 persen. Bahkan, 900 dari 1.600 cabang bank di Swedia tak lagi menyimpan uang tunai atau menerima deposit uang tunai. Di banyak daerah, terutama perdesaan, mesin ATM sudah tak ada lagi. Sirkulasi volume Krona, mata uang Swedia, turun dari 106 miliar pada 2009, menjadi 80 miliar pada tahun 2015.
Medium penggunaan uang elektronik paling besar saat ini masih kartu. Menurut Visa, orang-orang Swedia menggunakan kartu tiga kali lebih sering dalam pembayaran ketimbang orang Eropa lainnya. Sekira 207 pembayaran per kartu pada 2015. Lumayan kontras dengan medium lain yaitu pembayaran lewat aplikasi di ponsel pintar yang hanya 0,4 persen dari nilai transaksi nasional mereka.
Namun, aplikasi Swish, yang mempermudah proses transfer antar-bank dalam secepat pesan terkirim lewat aplikasi perpesanan, turut menyumbang peran berubahnya tabiat belanja orang Swedia. “Swish telah membunuh uang tunai untuk banyak orang,” kata Arvidson. Penggunaannya yang mudah telah menggantikan peran uang kartal di Swedia.
Masih mengacu dari studi KTH Royal Institute of Technology, bila melihat perbandingan penggunaan uang tunai yang sangat rendah dibanding GDP di beberapa negara, selain Swedia, ada negara lain seperti Norwegia, Denmark, dan Inggris di peringkat setelahnya. Negara-negara berpotensi menyusul Swedia sebagai negara cashless society dengan segala kemudahannya.
Kemudahan yang tercipta karena transaksi nontunai ini memang tampaknya sangat canggih dan cocok untuk masyarakat maju di masa depan. Gagasan mengurangi keterlibatan kertas atau koin yang bahan baku utamanya mengorek dari alam memang terkesan sebagai solusi yang sulit dielakkan. Belum lagi tawaran keamanan yang diberikannya karena rekam jejak digital yang hampir mustahil hilang, tak seperti rekam jejak uang kartal yang memungkinkan celah korupsi di mana-mana.
Namun, Amit Varma, Kontributor dari Times of India, punya perspektif lain. Menurutnya, masyarakat nontunai justru bisa jadi malapetaka. Pertama, rekam jejak digital transaksi yang terlacak berarti tanda berakhirnya ruang privasi. Kedua, semua rekaman itu bisa dimanfaatkan negara untuk menjebak atau melanggar hak warga sipilnya. Data transaksi pembelian seseorang bisa dengan mudah diambil negara dan dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi senjata untuk menangkap warganya, tergantung suasana politik yang sedang terjadi.
“Pemerintah sekarang bisa saja mengelak dari dugaan ini, tapi meja berputar cepat, ketika mereka yang jadi oposisi, apakah mereka mau lawan mereka punya kuasa sebesar itu?” tulis Varma.
Ketiga, uang tunai menurutnya punya nilai pemberdayaan. “Bayangkan, seorang istri muda yang menyisihkan sejumlah uang belanja dari suaminya yang pemabuk,” tambah Varma. Menurutnya, tidak adanya uang tunai membawa ketidakberdayaan. Di banyak negara misoginis, yang belum peduli pada hak perempuan, ia mencontohkan India—atau Indonesia sendiri—tidak adanya uang tunai justru akan jadi bahaya besar bagi perempuan.
Baca juga:Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan
Hal ini masuk akal, karena regulasi transaksi nontunai biasanya lebih ketat. Negara mungkin saja membekukan akun seseorang lewat sela-sela konstitusi yang tak banyak dipahami orang awam. Namun, bukan berarti Varma melihat jalan buntu di masa depan pada negara-negara yang ingin bertransformasi jadi masyarakat nontunai, alias cashless society. Ia menyarankan untuk tidak terburu-buru mengejar ke arah sana.
“Masyarakat tanpa uang tunai hanya akan baik jika kita berevolusi ke arahnya, bukan dengan kita dipaksa masuk ke dalamnya,” ungkap Varma.
Baca juga:Menuju Jalan Tol Bebas Uang Tunai
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra