Menuju konten utama

Alipay Merevolusi Sistem Pembayaran Cina

Sistem pembayaran digital sudah menjadi sesuatu yang penting dalam urat nadi perekonomian Cina.

Sebuah kasir yang menerima pembayaran menggunakan Alipay di Shanghai, Cina. REUTERS/Ali Song

tirto.id - Lebih baik kehilangan dompet daripada kehilangan handphone. Kalimat itu sangat tepat untuk warga Cina. Di negara tersebut, ponsel adalah segala-galanya. Selain untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, ponsel juga merupakan alat penting untuk pembayaran. Mulai dari membeli martabak, sembako, membayar taksi, hingga menyewa sepeda, semua bisa dilakukan melalui alat pembayaran ponsel pintar.

Cukup scan barcode yang tersedia di masing-masing counter atau barang, masukkan harga barang atau jasa yang akan dibeli, dan pencet tombol "save". Transaksi tuntas, tanpa repot mengeluarkan uang dan menanti kembalian uang yang sangat atau menggesek kartu yang membutuhkan waktu.

Hebatnya lagi, sistem tersebut bahkan bisa digunakan untuk pembayaran tips. Paul Mozur, wartawan New York Times, menceritakan di beberapa kota di Tiongkok, memberikan tip kepada pemusik jalanan tak perlu menggunakan uang tunai. Pejalan kaki yang berlalu-lalang bisa langsung memberikan tanda apresiasi melalui QR code akun pembayaran mobile sang musisi. Tak hanya itu, makan mie di warung pinggir jalan juga sudah tak perlu mengeluarkan dompet, pembayaran dapat diselesaikan dengan scan and play akun Alipay.

“Ya kamu bisa bayar apapun mulai dari makan di pinggir jalan sampai ke hotel bintang lima. Tinggal scan and pay. Tidak perlu repot-repot uang tunai. Makanya, disini juga kartu debit dan kredit tidak terlalu populer,” jelas Eva, seorang warga Beijing, saat berbincang dengan Tirto.

Adalah Alipay, milik Alibaba yang menjadi "penguasa" sekaligus menjadi perintis perubahan sistem pembayaran di Cina itu. Ia memang bukan satu-satunya pemain sistem pembayaran di Cina saat ini. Pesaing-pesaing baru seperti WeChat Pay muncul dan menggerus pangsa pasar Alipay. Namun, Alipay masih merupakan pemain terbesar. Saat ini, Alipay mengklaim memiliki setidaknya 520 juta pengguna yang memanfaatkan fitur pembayaran online dan pembayaran mobile (online atau offline) untuk membeli barang atau jasa. Pada 2015, setidaknya 80 persen penggunaan Alipay dilakukan melalui smartphone. Kira-kira, apa yang menjadi mantra sukses Alipay dalam membuat konsumen lupa akan uang Tunai?

Baca juga: Masyarakat Nontunai yang akan Dimulai di Swedia

Kekuatan Jaringan Alipay

Sukses Alibaba, sukses Alipay. Alipay bisa besar berkat posisi Alibaba menjadi raja e-commerce. Sangat mudah bagi Alipay yang merupakan afiliasi finansial dari Alibaba Group, untuk diprioritaskan menjadi metode pembayaran utama dan termudah bagi Taobao dan Tmall yang menguasai pasar e-commerce di Tiongkok. Apalagi, Alibaba tidak memberikan kesempatan kepada kompetitor Alipay, seperti WeChat Pay untuk digunakan ketika berbelanja di Taobao maupun Tmall.

Alipay memang bukan satu-satunya cara untuk melakukan pembayaran, ada banyak alternatif pembayaran. Namun, menggunakan Alipay berarti bisa menikmati beragam promo. Dengan menggunakan Alipay, konsumen bisa menikmati berbagai program promosi yang ditawarkan oleh setidaknya 130 ribu tempat makan, 5000 restoran KFC, maupun 2800 outlet Starbucks di Tiongkok.

Alipay juga sukses karena berhasil bekerja sama dengan pedagang kecil dan menengah yang modalnya tidak begitu besar. Infrastruktur teknologi pembayaran yang murah dan sederhana (pedagang hanya perlu untuk mencetak QR code akun Alipay) memudahkan proses migrasi para pedagang ke Alipay. Tak berhenti di situ, para pedagang juga langsung menerima uang ke akun Alipay mereka dengan potongan biaya komisi yang lebih kecil dibandingkan ketika konsumen menggunakan kartu debit/kredit.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/19/Masyarakat-Tanpa-Kelas-Masyarakat-Tanpa-Uang-Kertas-NADYAQUTErev.jpg" width="860" alt="Infografik Masyarakat Tanpa Kelas Tanpa Uang Kertas" /

Riset yang dilakukan oleh Guo dan Bouwman pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kesuksesan Alipay juga dapat diatribusikan kepada kemampuannya dalam menjalin kerja sama dengan bank tempat konsumen menyimpan dana mereka. Pengguna dapat langsung menghubungkan akun bank dengan akun Alipay tanpa harus repot-repot melakukan top-up terlebih dahulu. Melalui sistem ini, secara tidak langsung Alipay telah menguasai dana konsumen tanpa harus repot-repot menjadi bank. Basis konsumen yang besar yang dimiliki oleh ekosistem bisnis Alibaba Group inilah yang harus diwaspadai oleh bank-bank di Tiongkok.

Bank juga mengalami kesulitan untuk mengalahkan ekosistem bisnis dan basis konsumen yang telah dicapai oleh Alibaba Group, walaupun sebenarnya dapat mengembangkan dan mempromosikan sistem pembayaran digital mereka sendiri. Sebagai sebuah reaksi, strategi if you can’t beat them, join them” mau tak mau harus dilakukan untuk meningkatkan loyalitas nasabah maupun menarik nasabah baru.

Baca juga: Pelajaran Transaksi Non Tunai dari India

Manuel Castell dalam bukunya A Network Theory of Power (2011) beragumentasi bahwa kemampuan membuat jaringan adalah bentuk kekuasaan di zaman digitalisasi. Dalam kasus Alipay, keberhasilan dalam membangun jaringan bisnis antara pedagang e-commerce, pedagang offline (seperti vendor street food), konsumen, dan bank berkontribusi terhadap kesuksesan dari Alipay dalam membentuk efek jaringan yang kuat. Akibatnya, pedagang yang memutuskan untuk berada di luar ekosistem Taobao, Tmall, dan Alipay akan kalah bersaing dengan kompetitor bisnis yang memutuskan untuk bergabung. Tak hanya keuntungan untuk menjual barang ke basis konsumen besar dari Alibaba Group, para pedagang juga dapat memajang iklan promosi sebagai salah satu strategi jitu memenangkan kompetisi.

Ekspansi Bisnis dan Kebangkitan WeChat Pay

Alipay kini mulai melakukan ekspansi pembayaran mobile di luar Tiongkok seperti Malaysia, Indonesia, beberapa negara Uni Eropa hingga ke Amerika Serikat. Ekspansi ini dilakukan untuk memfasilitasi konsumsi turis-turis Tiongkok yang sedang berlibur.

Ekspansi terus dilakukan seiring posisi Alipay secara perlahan mulai tergerus oleh pesaingnya, WeChat Pay. Saat ini, WeChat Pay menjadi pemain terbesar kedua setelah Alipay. WeChat Pay yang baru lahir pada 2014, itu secara perlahan mengambil pangsa pasar Alipay yang sudah lahir 10 tahun lebih dulu. Hingga kuartal III tahun 2014, Alipay masih menguasai 82,6 persen pasar pembayaran online, sedangkan WeChat Pay berada pada angka hanya 10 persen.

Namun, pada kuartal 1 tahun 2017, menurut Mary Meekers 2017 Internet Trends Report, pangsa pasar Alipay turun hingga 54 persen sedangkan WeChat meroket mencapai 40 persen. Ini disebabkan peluncuran fitur WeChat Red Wallet yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transfer uang kepada pengguna lain yang ada pada daftar pertemanan. Lebih dari itu, pedagang yang bekerja sama dengan Alipay memiliki kecenderungan untuk juga bekerja sama dengan WeChat pay.

Baca juga: Dapat Suntikan $2 Miliar, Grab Menantang Gojek di Fintech

Selain ekspansi ke luar Cina, Alipay juga terus memperbarui teknologinya dengan membidik generasi milenial. Yang terbaru, Alipay mengembangkan sistem pengenalan wajah. Teknologi "Smile and Pay" ini menggunakan kamera 3D yang bisa memfilter wajah pemilik akun untuk kemudian bisa dilakukan pembayaran.

Alipay sendiri sudah mulai merambah Indonesia. Saat ini di Indonesia, jasa pembayaran non-tunai sudah banyak tersedia dengan variasi yang berbeda. Mulai dari contactless payment seperti Mandiri e-money dan kartu Flazz yang fungsinya difokuskan sebagai metode pembayaran tol dan commuter line sampai ke pembayaran mobile seperti Go-Pay, Line Pay, maupun Doku Wallet. Walau sudah bisa digunakan untuk membeli martabak secara online, melunasi tagihan listrik, ataupun belanja di situs e-commerce belum ada yang bisa digunakan sebagai metode pembayaran ketika selesai menyantap makan siang di warung mie ayam kesayangan.

Baca juga artikel terkait ALIBABA atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Bisnis
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti